SECARA etimologis, pondok pesantren adalah gabungan dari dua kata, pondok dan pesantren. Pondok, berasal dari bahasa Arab funduk yang berarti hotel, yang dalam khazanah Indonesia lebih disamakan dengan lingkungan padepokan yang dipetak-petak dalam bentuk kamar sebagai asrama bagi para santri. Sedangkan pesantren merupakan gabungan dari kata pe-santri-an yang berarti tempat santri. (Nasir:2005:80)
Pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri, Profesor Jhons berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji, sedangkan C.C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. ( Zamakhsyari Dhofier,1983:18).
”Santri itu berasal dari perkataan ”sastri” sebuah kata dari Sansekerta, yang artinya melek huruf, dikonotasikan dengan kelas literary bagi orang jawa yang disebabkan karena pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab yang bertuliskan dengan bahasa Arab. Kemudian diasumsikan bahwa santri berarti orang yang tahu tentang agama melalui kitab-kitab berbahasa Arab dan atau paling tidak santri bisa membaca al-Qur’an, sehingga membawa kepada sikap lebih serius dalam memandang agama.
Juga perkataan santri berasal dari bahasa Jawa ”cantrik” yang berarti orang yang selalu mengikuti guru kemana guru pergi menetap (istilah pewayangan) tentunya dengan tujuan agar dapat belajar darinya mengenai keahlian tertentu. (Madjid:1977:19-20)
Pengertian Pondok pesantren secara terminologis menurut para ahli :
1. Mahfudh (1991:1) mengidentifikan bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan lembaga sosial keagamaan di mana pengasuhnya juga menjadi “pimpinan” dan menjadi “sumber rujukan umat”
2. Dhofier (1982: 84) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
3. Nasir (2005: 80) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam.
4. Team Penulis Departemen Agama (2003: 3) dalam buku Pola Pembelajaran Pesantren mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah pendidikan dan pengajaran Islam di mana di dalamnya terjadi interaksi antara kiai dan ustdaz sebagai guru dan para santri sebagai murid dengan mengambil tempat di masjid atau di halaman-halaman asrama (pondok) untuk mengkaji dan membahas buku-buku teks keagamaan karya ulama masa lalu.
5. Rabithah Ma‟ahid Islamiyah (RMI) mendefinisikan pesantren sebagai lembaga tafaqquh fi al-dîn yang mengemban misi meneruskan risalah Muhammad SAW sekaligus melestarikan ajaran Islam yang berhaluan Ahlu al-sunnah wa al- Jamã’ah ‘alã Tharîqah al-Maz|ãhib al-‘Arba’ah.
6. Mastuhu (1994: 6) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah lembaga tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fi al-dîn) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.
7. Arifin (1995: 240) mendefinisikan pondok pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus) di mana menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari kepemimpinan (leadership) seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal.
Lima Elemen Utama Pondok Pesantren
Keberadaaan dan kelangsungan hidup Pondok Pesantren setidaknya terdiri atas beberapa faktor pendukung atau elemen elemen yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan dan saling keterkaitan yang mempengaruhi satu sama lainnya yang berada didalamnya
Menurut Zamaksyari Dhofier ada 5 elemen utama Pondok Pesantren yaitu :
1. Pondok
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seseorang (atau lebih) guru yang lebih di kenal dengan sebutan ” kyai”.
Asrama untuk para santri biasanya berada di lingkungan komplek pesantren di mana kyai bertempat tinggal yang menyediakan sebuah tempat ibadah dan ruang untuk belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini biasanya dikelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi keluar dan masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Baca Juga : Santri Milenial
2. Masjid
Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan di anggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik santri, terutama dalam praktek-praktek keberagaamaan misalnya, shalat lima waktu, khotbah, dan pengajaran kitab-kitab klasik. Kedudukan masjid yang sangat penting sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren yang merukan manivestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional.
Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam dan mereka selalu menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan, dan sebagainya. Bahkan di zaman sekarang seringkali kita temukan para ulama penuh pengabdian menggunakan masjid sebagai tempat mengajar murid-muridnya, memberikan nasehat dan apa saja yang berhubungan dengan ilmu pendidikan.
3. Pengajaran Kitab-kitab Islam Klasik
Pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik terutama di kalangan-kalangan ulama yang mengandung paham syafi’iyah merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Pengajaran ini sering diterapkan bagi para santri yang tinggal di pesantren dalam jangka waktu pendek (kurang dari satu tahun) yang bertujuan untuk mencari pengalaman dalam hal pengalaman perasaan keagamaan.
Adapun santri yang ingin mengembangkan keahliannya dalam berbahasa Arab melalui sistem sorogan dalam pengajian sebelum pergi ke pesantren mengikuti sistem bandongan.
Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di sebuah pesantren biasanya dapat digolongkan menjadi 8 macam meliputi: nahwu dan saraf, fiqh, usul fiqh, hadits, tafsir, tauhid, tasawuf dan etika, dan cabang-cabang lain seperti balaghah dan tarikh.
Kesamaan kitab yang diajarkandan sistem pengajarannya akan menghasilkan homogenitas pandangan hidup, kultural, dan praktik kaberagamaan di kalangan para santri.
4. Santri
Sesuai dengan pengertian yang dipakai oleh lingkungan orang-orang pesantren, seorang kyai apabila memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren dan mempelajari kitab-kitab Islam klasik, maka dari itu santri merupakan elemen penting dalam lembaga pesantren.
Dengan demikian sesuai tradisi pesantren, santri dapat dikelompok menjadi 2 macam; pertama santri mukim yaitu murid-murid yang berasal dari daerah jauh dan menetap dalam kelompok pesantren, dan santri yang telah lama bermukim atau tinggal di pesantren biasanya memegang tanggung jawab dan mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari.
Kedua santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren yang biasanya tidak menetap dalam pesantren dan hanyamengikuti proses pembelajarannya saja, mereka bolak balik (nglaju) dari rumahnya sendiri.
5. Kyai
Kyai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren, sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu pesantren sangat bergantung kepada kemampuan pribadi kyainya. Kebanyakan orang beranggapan bahwa suatu pesantren diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil di mana kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan lingkungan pesantren.
Masyarakat biasanya mengharapkan seorang kyai dapat menyelesaikan persoalan-persoalan keagamaan praktis sesuai dengan kedalaman pengetahuan yang dimilikinya. Semakin tinggi kitab-kitab yang di pelajari dan diajarkan, maka ia akan semakin dikagumi juga dapat diharapkan dapat menunjukkan kepemimpinannnya, kepercayaannya dan kemampuannya karena banyak orang yang datang meminta nasehat serta bimbingan dalam berbagai hal.
Ia juga diharapkan untuk rendah hati, menghormati semua orang tanpa memandang tinggi rendahnya kelas sosial, kekayaan dan pendidikannya dan penuh pengabdian kepada Tuhan. Serta tidak berhenti memberikan kepemimpinannya dalam hal keagamaan seperti memimpin sholat lima waktu, memberikan khutbah dan menerima undangan perkawinan, kematian. (Dhofier:1983:44-45)