Perbedaan Konteks sebagai Pertimbangan dalam Memilih Pendapat Ulama

Dr. Akhmad Sulaiman*

Sebagai seorang Muslim yang berusaha tetap taat kepada agama, sudah seharusnya kita mematuhi segala perintah dan larangan agama. Namun, sebab kemampuan kita tidak semumpuni para ulama dalam memahami dua sumber pokok agama (baca: al-Qur’an dan sunah), mengikuti ulama kemudian menjadi keharusan berikutnya.

Akan tetapi dalam praktiknya, mengikuti para ulama kemudian menyisakan persoalan baru berupa kebimbangan sebab mereka tidak jarang saling berbeda pendapat. Dalam lingkungan Islam Suni misalnya terdapat empat mazhab besar yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali yang memiliki pendapat dan pemahaman sendiri. Lebih jauh lagi, di dalam satu mazhab ternyata terdapat perbedaan lagi.

Sebagai contoh, imam al-Syafi’i (w. 204/820) memiliki pendapat lama (al-qaul al-qadim) dan pendapat baru (al-qaul al-jadid) sementara imam Abu Yusuf (w. 182/798) selaku murid langsung dari Abu Hanifah (w. 150/767) sering mengeluarkan pendapat yang berbeda dengan gurunya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah “Bagaimana cara kita mempertimbangkan pendapat para ulama?” “Apa acuan yang kita pakai dalam memilih pendapat satu ulama atas ulama lain?” Di luar persoalan ibadah yang mana kita sudah mantap dengan tuntunan yang imam yang kita anut, melihat pendapat berbagai ulama menurut saya penting sebab di situ terdapat rahmat yang memang merupakan anugerah agama Islam bagi umatnya.

Syekh Yusuf al-Qaradawi (l. 1926) dalam buku berjudul al-Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah ma’a Nadzarat Tahliliyyah fi al-Ijtihad al-Mu’ashir (hlm. 121) menyebutkan bahwa salah satu acuan dalam menimbang pendapat para ulama yang berbeda-beda adalah memperhatikan perubahan sosial dan politik yang telah terjadi. Ini dilakukan guna menimbang relevansi pendapat ulama yang lahir di masa dan tempatnya sendiri dengan masa dan tempat di mana kita hidup.

Syekh al-Qaradawi mencontohkan bahwa pernikahan paksa wali terhadap anak gadisnya (ijbar al-nikah) merupakan persoalan yang diperselisihkan oleh para ulama. Mazhab Syafi’i, Maliki, dan sebagian besar ulama Hambali melegalkan pernikahan semacam ini.

Mereka berpendapat bahwa termasuk dari hak ayah adalah memaksa anak perempuan dewasanya menikah dengan lelaki yang dia kehendaki. Hak ini bisa tetap dijalankan sungguhpun ayah tidak meminta izin kepada anaknya dan langsung menikahkan walaupun anaknya tidak rela dan menolak.

Dalil yang mereka gunakan adalah hadis:
الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ وَإِذْنُهَا سُكُوْتُهَا
“Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya sementara gadis dimintai persetujuannya. Adapun persetujuannya berupa sikap diamnya.”

Menurut Wardah Nuroniyah dalam disertasi berjudul Pembaharuan Hukum Perkawinan di Indonesia (124-125), logika yang digunakan mazhab Syafi’i dan ulama-ulama yang sejalan dengannya adalah logika pemahaman terbalik (mafhum al-mukhalafah).

Maksudnya, ketika Rasulullah mengatakan bahwa “Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya”, itu berarti mengisyaratkan bahwa gadis tidak lebih berhak atas dirinya daripada walinya sehingga permintaan persetujuan wali terhadap gadis menurut mereka hanya bersifat anjuran atau sunah.

Menurut Syekh al-Qaradawi dalam buku yang sama, pendapat ini keluar atas pertimbangan bahwa ayah lebih mengetahui kemaslahatan anaknya. Pendapat ini boleh jadi bisa diterima di masa di mana anak perempuan sama sekali tidak tahu siapa yang datang melamarnya. Anak perempuan tidak mengetahui siapa yang melamarnya kecuali dari informasi ayahnya. Hal ini bagi penulis wajar mengingat pada masa klasik, perempuan cenderung menjadi insan domestik yang kurang tahu dunia luar.

Sementara itu, mazhab Hanafi dan para ulama yang menyepakatinya berpendapat bahwa urusan pernikahan diserahkan pada anak, bukan pada walinya. Mereka menyaratkan kerelaan hati dan izin anak atas pernikahan.

Pendapat ini, menurut Syekh al-Qaradhawi, disandarkan pada riwayat yang menjelaskan bahwa Khansa binti Khidam al-Anshari, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Nasai, mengadukan keberatan kepada Rasulullah karena ayahnya telah menikahkannya dengan sepupunya. Rasulullah kemudian menyerahkan urusan ini kepada Khansa sendiri apakah mau melanjutkan pernikahannya atau tidak.

Khansa kemudian menjawab,
يَا رَسُوْلَ اللهِ قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ َيَعْلَمَ الْأَبَاءُ أَنْ لَيْسَ لَهُمْ مِنْ هَذَا الْأَمْرِ شَيْءٌ
“Wahai Rasulullah, Aku telah memperbolehkan apa yang telah ayahku lakukan tetapi aku ingin agar para ayah tahu bahwa mereka dari urusan ini tidak tidak memiliki hak (untuk sewenang-wenang).”

Dengan melihat konteks lingkungan masyarakat modern yang memfasilitasi perempuan untuk belajar, sekolah, bekerja, dan berperan langsung dalam berbagai urusan kehidupan dan kemasyarakatan, ahli fikih kontemporer menurut Syekh al-Qaradawi memilih pendapat mazhab Hanafi.

Jika kita melihat masyarakat kita sekarang, kebiasaan justru menunjukan bahwa perempuan muda lebih banyak mengenalkan teman laki-lakinya kepada orang tuanya daripada sebaliknya. Ini menunjukan bahwa banyak perempuan yang jauh lebih mengenal calon suaminya daripada ayahnya. Dengan demikian, pertimbangan “ayah lebih mengetahui kemaslahatan anaknya” tidak bijak dijadikan argumen untuk memaksa anaknya menikah dengan seoraang lelaki yang ayah pilihkan.
Apa yang Syekh al-Qaradawi sampaikan sebenarnya merupakan pengembangan dari kaidah “fatwa berubah sebab perubahan tempat dan waktu”. Apa yang dikehendaki dari perubahan ini tidak lain merupakan kemaslahatan.

Dalam kasus perjohohan di atas, ketika tadisi di suatu tempat masih memberikan akses yang sedikit bagi anak perempuan untuk mengetahui siapa yang melamarnya, maka pendapat mazhab Syafi’i lebih maslahat untuk dipilih.

Namun jika sebaliknya, pendapat mazhab Hanafi akan lebih membawa kemaslahatan.
Sebagai catatan penutup, pendapat yang kita pilih haruslah pendapat yang relevan dengan konteks sosial yang kita hadapi sekarang sehingga pendapat tersebut membawa kemaslahatan. Sebab pada masa pendapat tersebut dirumuskan, apa yang dikehendaki oleh para ulama adalah mencari kemaslahatan. Ketika pendapat yang kita amalkan justru membawa pada kerusakan, kita justru mengesampingkan tujuan awal perumusan pendapat tersebut.

*Dr. Akhmad Sulaiman
Dosen Prodi PAI UNU Purwokerto

Tulisan sebelumnya1 SYAWAL 1444 H : Awal Kalender Islam antara Rukyat Hilal (Penampakan) atau Wujud Hilal
Tulisan berikutnyaDoa dengan Teknik LoA (Law of Attraction) dalam Perspektif Islam

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini