SEWAKTU aku masih bocah, pada usia lima atau enam tahun, bila waktu asar tiba, aku selalu bersiap diri menuju langgar di desaku. Kebiasaan ini tak lepas dari teman-teman seusiaku yang juga pergi ke langgar pada saat asar. Bermodalkan pakaian koko serta tak lupa menenteng sebuah kitab klasik yang karib disapa iqra, aku bersama teman-temanku pergi ke langgar.
Selepas sembahyang usai, aku dan teman seusiaku mengaji kitab iqra di langgar. Bagiku yang pernah belajar buku iqra, setiap lembar yang pernah dilahap adalah isyarat terselubung adanya peningkatan dalam membaca huruf arab. Tak ayal memang, kitab yang disusun oleh Kyai As’ad Humam ini menjadi metode yang mudah dan praktis dalam membaca al-Quran.
Tak hanya terkenal di seantero Nusantara, kitab iqro ternyata sudah menyebar ke penjuru negara muslim dunia. Ada 6 eksemplar buku iqra yang ku khatamkan selama aku ngaji di langgar.
Setelah dirasa memiliki kecakapan membaca al-Qur’an, tibalah ayah menyantrikanku ke Madrasah Al Ittihad Pasir Kidul Kecamatan Karanglewas. Di tempat ini aku memulai tafaquh fi din dengan berkenalan berbagai kitab-kitab klasik.
Yeah, pertama kali aku nyantri di Madrasah tahun 2008. Pada saat itu, aku masih menyandang status sebagai pelajar di sekolah dasar yang ingin memperdalam ilmu agama.
Melalui madrasah, kutemukan berbagai ilmu agama yang tak kudapatkan selama di sekolah dasar. Bagiku, madrasah menjadi ladang yang subur untuk menyemai nilai-nilai agama pada jiwa-jiwa yang gersang sepertiku.
Berkat Madrasah Al Ittihad, aku banyak bersinggungan dengan ilmu-ilmu yang lazim di pelajari di sebuah pesantren seperti tajwid, akhlaq, fiqih, tauhid, nahwu, shorof, hadits, tarikh, dan bahasa arab.
Ya, Madrasah Al-Ittihad memang bukanlah sebuah pesantren. Akan tetapi, kurikulum yang ada di Madrasah berasal dari khazanah ilmu pesantren. Hal ini tak lepas dari pendiri Madrasah Al-Ittihad, yakni Kyai Sa’dulloh Majdi.
Kyai Sa’dulloh yang karib disapa Mbah Sa’dulloh merupakan salah satu ulama karismatik asal desa Pasir Kidul, kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas. Semasa muda, ia banyak mennghabiskan waktunya untuk memperdalam agama. Kehausan akan ilmu agama menuntut Sa’dulloh muda berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Ilmu sudah menjadi semacam candu bagi Sa’dulloh yang terus membuat ketagihan untuk lagi dan lagi.
“Mbah Sa’dulloh sangat bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Hal ini bisa di lihat dari beliau pernah mondok di berbagai pondok pesantren seperti Pesantren Leler (Banyumas), Pesantren Al-Hikam (Bendo), Pesantren Sarang (Rembang), Pesantren Termas, dan bahkan ke Pesantren Tebuireng.” Tutur seorang yang dulu menjadi murid kinasih Mbah Sa’dulloh.
Baca Juga : Baru 400.000 Jemaah NU Banyumas yang Terhubung di SISNU
“Berdirinya Madrasah merupakan hasil perenungan yang mendalam dari Mbah Sa’dulloh untuk mengembangkan ilmu pesantren.” Lanjut dia. Berbekal pengembaraan ilmu di berbagai pesantren, tak ayal Sa’dulloh muda diliputi oleh cakrawala pemikiran yang kritis dan kreatif.
Cakrawala pemikirannya mengantarkan pada sebuah idealisme untuk memulai perjuangan menegakan panji Islam yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Sa’dulloh sebagai ulama muda tidak hanya memposisikan dirinya sebagai pewaris ilmu agama yang pasif. Sebagai generasi muda yang sudah mengenal literasi, keberaksaraan, keorganisasian dan kesusteraan, ia memiliki sebuah inovasi (ijtihad) dalam tafaquh fi din.
Dari proses pengembaran ilmu di berbagai pesantren, ia mencoba merefleksikannya melalui pendirian sebuah Madrasah. Pada eranya, tren ngaji keagamaan begitu menggeliat. Para kyai setempat mengandalkan langgar-langgar sebagai basis tempat mengaji. Namun, dalam perjalananya, tempat ngaji ini lambat laun sepi dari peminat, dan berakhir bubar.
Madrasah yang dicetuskan oleh Sa’dulloh merupakan kreativitasnya dalam penyegaran praktik keagamaan yang selama ini berjalan. Sebagai kaum muda yang kreatif ia lebih didasari oleh kebebasan jiwa dan pikiran yang dimiliki. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Kleden (2004; 360) bahwa kreativitas adalah reproduksi individual dan personal dari semua faktor sosial yang diterima oleh seorang individu.
Pemaknaan realitas lebih tergantung pada kaum muda yang tercerahkan, bukan pada kaum tua yang kolot dalam beragama. Gagasan untuk mendirikan madrasah mendapatkan angin segar dari masyarakat di sekitarnya. Maka, Pada tanggal 18 November 1959, Madrasah Al-Ittihad resmi berdiri. Sampai saat ini (2020) Madrasah Al-Itiihad masih eksis dan banyak santri yang belajar disana. Bahkan, Madrasah ini sudah menyebar di berbagai wilayah di Kabupaten Banyumas. (*)
[…] Baca Juga : Nyantri di MAdrasah Al Ittihad […]