Modal Sosial Petani Menghadapi Pandemi

Regenerasi Petani di masa Pandemi

DAMPAK paling dirasakan petani yang mayoritas adalah Nahdliyin dalam kondisi pandemi adalah berkurangnya akses terhadap pasar sehingga berpengaruh pada fluktuasi harga komoditas pertanian.

Disparitas harga antara petani produsen dan masyarakat konsumen menjadi lebar. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat di sejumlah wilayah berimplikasi terhambatnya distribusi dari sentra produksi ke wilayah perkotaan sebagai sentra konsumsi dan pemasaran.

Hal ini juga berimbas pada masalah ketahanan pangan secara umum dalam jangka panjang di masyarakat. Ketahanan pangan mengindikasikan pada ketersediaan akses terhadap sumber pangan sebagai pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.

Namun, mayoritas masyarakat kita yang merupakan petani juga telah lama memiliki Social Capital yang begitu mengakar baik berupa semangat kegotong-royongan, ketekunan, tepo sliro dan juga selalu mengedepankan musyawarah dalam mengambil keputusan apalagi dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini.

Namun, bila berkiblat pada konsepsi demokrasi ekonomi, petani dengan social capital yang besar belum mendapat proporsi terbesar pembagian “kue” kesejahteraan dalam struktur ekonomi.

Upaya mengelola modal sosial yang dimiliki petani merupakan strategi pembangunan pertanian dalam meningkatkan harkat, martabat, dan posisi tawar hingga kesejahteraan petani.

Dalam berbagai kesempatan, KH. Said Aqil Siroj (Ketua Umum PBNU) sering menyampaikan bahwa tahlilan, sebagai pengejawantah kultur nahdliyin, merupakan modal sosial untuk menjaga masyarakat dari berbagai persoalan yang dihadapi termasuk pandemic ini. Orang-orang yang tertutup dan jarang bergaul dengan masyarakat akan lebih mudah “roboh” menghadapi situasi pandemic yang serba sulit ini. Mereka jarang terlibat dalam urusan ubudiyah muamalah seperti tahlilan, manaqiban, berjanjenan (barzanji), ataupun upacara keagamaan yang berbalut dengan budaya walaupun di era pembatasan kegiatan akan lebih baik dilakukan secara virtual online saja.

Fakta empiris menunjukkan harga produk pertanian mengalami tekanan, gangguan distribusi akibat penetapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di beberapa kab/kota, penurunan daya beli, dan pelemahan sektor ekonomi yang terkait dengan sektor pertanian, utamanya hotel, restoran, dan katering (Horeka). Padahal, jumlah petani di Indonesia hingga saat ini sebanyak 39,68 juta orang atau 31,86 persen dari jumlah penduduk bekerja yang jumlahnya 124,54 juta orang (Sensus Pertanian, 2013) dan menyebutkan sektor pertanian secara nasional rata-rata menyumbang pendapatan rumah tangga petani 46,74%. Pendapatan petani per tahun hanya Rp 12,41 juta per rumah tangga petani (RTP).

World Bank pernah merelease hasil penelitiannya di Indonesia bahwa modal sosial mempunyai kontribusi dan berpengaruh positif terhadap peningkatan kesejahteraan rumah tangga (Grootaert, 1999).

Penelitian ini menunjukkan hubungan positif antara modal sosial dengan kesejahteraan rumah tangga, dimana rumah tangga yang memiliki modal sosial yang tinggi juga mempunyai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi, peningkatan aset, peningkatan saving, dan akses lebih ke kredit.

Modal sosial pada intinya adalah serangkaian nilai dan norma yang merupakan wujud nyata dari suatu institusi yang bersifat dinamis. Wujud nyata dari modal sosial kelompok tani diwujudkan dalam bentuk kepercayaan, jaringan sosial, tanggung jawab dan kerjasama. Modal sosial yang tumbuh pada suatu komunitas yang didasarkan atas norma-norma bersama akan sangat membantu dalam memperkuat entitas masyarakat tersebut. Modal sosial berbeda dengan bentuk modal-modal yang lain, salah satunya adalah kemampuan untuk menciptakan dan mentransfer ide, pemikiran, dan sejenisnya

Pengembangan kelompok tani juga menjadi wahana dan proses tukar menukar informasi serta menjadi jaringan sosial di antara mereka. Selain pengembangan kelembagaan petani (kelompok tani diharapkan akan membawa perubahan prilaku bagi mereka dalam meningkatkan usahanya).

Kelembagaan petani (kelompok tani) mempunyai fungsi: sebagai wadah proses pembelajaran, wahana kerja sama, unit penyedia sarana dan prasarana produksi, unit produksi, unit pengolahan dan pemasaran, serta unit jasa penunjang. Selain itu kelembagaan petani (kelompok tani) juga menjadi salah satu wahana modal sosial bagi para petani secara berkesinambungan.

Data Bappenas Tahun 2013 menyebutkan jumlah Kelembagaan Petani/ Kelompok Tani di Indonesia sebanyak 307.309 dengan anggota sebanyak 10.056.241 petani. Data tersebut menunjukkan masih banyak petani yang belum tergabung dalam kelompok tani sehingga akan berdampak pada belum optimalnya pendayagunaan social capital yang menjadi pondasi dasar kedaulatan petani.

Fukuyama (2002) berpendapat bahwa unsur terpenting dalam modal sosial adalah kepercayaan yang merupakan perekat bagi langgengnya kerjasama dalam kelompok masyarakat. Dengan kepercayaan orang-orang akan bisa bekerjasama secara lebih efektif. Elemen modal sosial yang menjadi pusat kajian adalah kepercayaan karena menurutnya sangat erat kaitannya antara modal sosial dengan kepercayaan. Dengan demikian kepercayaan bagi kelompok tani adalah menjadi sebuah aset dalam peningkatan aktivitas kelompok.

PETANI MENJAGA IMUN
Petani, sebagai produsen pangan dituntut untuk mampu menjaga “imunitas” di tengah pandemi COVID-19 walau harus berhadapan dengan adanya penurunan harga komoditas pangan di tingkat petani.

Diperkirakan sekitar 80% konsumen di negara berkembang terutama perkotaan mengandalkan pasar ataupun supermarket untuk pemenuhan kebutuhan pangan, sehingga dengan diterapkannya pembatasan sosial dan transportasi akan mengganggu proses pendistribusian pangan tersebut ke konsumen.

Food and Agriculture Organization (FAO) juga menyampaikan prediksi yang mengkhawatirkan yakni adanya ancaman kelangkaan pangan di masa pandemi COVID-19 sehingga perlu disusun strategi untuk menghadapi tantangan ketahanan pangan di tengah pandemi corona ini. Kondisi wabah suatu penyakit yang terjadi di dunia akan berpengaruh pada meningkatkannya jumlah penduduk yang mengalami kekurangan pangan dan malnutrisi.

Kondisi modal sosial di daerah pedesaan yang mayoritas petani berbeda dengan modal sosial di daerah perkotaan. Perbedaan tersebut dicirikan dengan masyarakat pedesaan yang sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan berbeda dengan mayarakat perkotaan yang pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung kepada orang lain.

Sulitnya akses petani terhadap permodalan, semisal kredit perbankan, lebih disebabkan sektor pertanian dianggap beresiko tinggi untuk merugi. Selain itu kurangnya akses informasi pasar, kerap merugikan petani karena mendapat harga lebih mahal di atas harga pasar. Kelembagaan ekonomi petani yang digadang-gadang mampu menyediakan sarana produksi, ternyata hanya bersifat pragmatis akibat pendekatan top down. Kelompok tani dibentuk hanya untuk memeroleh program dan fasilitas dari pemerintah.

Persoalan inilah yang memerlukan strategi penyuluhan yang bersifat dialogis untuk menyelesaikannya.
Akhirnya, banyak persoalan dan tantangan yang dihadapi petani terkait peningkatan kesejahteraan hidup. Kebijakan dan regulasi diperlukan bukan sekadar bertujuan meningkatkan produksi pertanian, namun turut melindungi dan memberdayakan petani menuju kemandirian ekonomi dan kedaulatan petani dengan social capital yang dimilikinya. (*)

Tulisan sebelumnya10 Keistimewaan Hajar Aswad
Tulisan berikutnyaGenah JIG-e! NU Sokaraja Bantu Warga Isoman. Begini Ceritanya…

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini