Melibatkan Hati Dalam Mencari Ilmu Untuk Meraih Pengalaman Profetik

MESKI baru berjalan dua kali, saya menantang diri saya sendiri untuk konsisten membuat ringkasan singkat mengenai ngaji Misykatul Anwar yang diampu secara Online oleh Gus Ulil Abshar Abdalla.

Biasanya saya akan menulisnya di Rabu pagi sambil mendengarkan ulang video ngaji di Facebook atau Youtube. Namun saat saya baru mau menulis satu kalimat, ternyata Gus Ulil yang kini akrab dipanggil Lurah Pondok oleh para santri online, memposting catatan kecil mengenai ngaji tadi malam.

Catatan yang diberi judul dari “khabar” ke “jadzwah” ini menceritakan tentang tahapan pengetahuan yang ketika kita pertama kali mendengar sebuah pengetahuan baru maka kita baru ada pada level “khabar” atau mendengar sebuah kabar.

Pengetahuan ini kemudian harus dipelajari secara menyeluruh hingga kita mencapai tahap yang disebut “jadzwah”, atau tahap pemahaman hingga pengetahuan tersebut menyala dalam diri kita.

Membaca catatan yang ringkas namun berbobot itu kemudian membuat saya agak “kendo” untuk turut membuat ringkasan ngaji Misykat. Jangan-jangan ini semacam pepeling (reminder, pengingat) bahwa saya ini belum maqamnya untuk turut membuat ringkasan, meski hanya catatan kecil, tentang ngaji Misykat.

Namun karena saya sudah kadung menantang diri saya sendiri untuk bisa konsisten, maka saya mencatat beberapa hal yang belum termaktub dalam penyampaian Gus Lurah Pondok.

Catatan ini melanjutkan penjelasan mengenai tahapan seseorang yang sudah “jadzwah”, yaitu cahaya pengetahuan menerangi diri mereka. Kemudian pengetahuan yang terang ini mampu memberikan kehangatan atau manfaat bagi orang di sekitar mereka bahkan hingga ratusan generasi kemudian.

Seperti contoh pengetahuan yang dimiliki oleh Al-Ghazali kemudian ditulis dalam kitab Ihya’ Ulumuddin atau Misykatul Anwar. Cahaya pengetahuan ini bahkan bisa kita rasakan hingga sekarang, ini menunjukkan betapa terang cahaya pengetahuan dalam diri Al-Ghazali ketika itu.

Seseorang yang memahami pengetahuan hingga merasuk dalam dirinya, disebut juga dengan Shahibul Dzauq, orang yang mempunyai rasa. Artinya bahwa hati seseorang ini sudah menyatu dengan pengetahuan.

Misal jika kalian sedang belajar tentang sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Kalian tidak hanya hapal mengenai runtutan peristiwa, tanggal dan tokoh pejuang kemerdekaan. Tetapi juga kalian turut serta membayangkan kondisi masyarakat waktu itu, jantung yang berdegup lebih kencang ketika membayangkan Soekarno-Hatta diculik oleh kelompok pemuda ke Rengasdengklok dan membicarakan percepatan proklamasi kemerdekaan.

Maka dengan melibatkan hati dan perasaan dalam memahami sebuah pengetahuan, kita secara bertahap bisa mencapai apa yang disebut oleh Al-Ghazali sebagai Shahibul Dzauq.

Begitu pula dalam memahami ajaran agama, bahwa belajar agama tidak cukup hanya membaca dan menghapal ayat atau hadits. Tetapi juga harus melibatkan hati dalam meresapi pengetahuan agama.

Misal jika kita sedang membaca sebuah hadits Rasulullah tentang mengasihani fakir miskin. Maka pengetahuan ini jangan hanya sebagai hapalan semata. Namun kita harus melibatkan hati kita dengan membayangkan sifat Rasulullah yang pemurah dan suka berbagi.

Tentu kita sudah sering mendengar kisah tentang Rasulullah yang suka memberi makan fakir miskin baik itu yang beragama Islam maupun yang beragama lain.

Bagi orang yang sudah mampu melibatkan hati mereka dalam memahami ajaran Rasulullah, maka mereka akan mengalami apa yang disebut dengan pengalaman kenabian. Bahasa kerennya sekarang ya pengalaman profetik.

Tentu ini tidak akan menjadikan seseorang menjadi nabi, namun pengalaman kenabian ini penting untuk diupayakan. Agar ilmu yang ada dalam diri Anda bisa terang benderang dan bermanfaat bagi orang di sekitar Anda.

Al-Ghazali menyebut orang yang mampu mengalami pengalaman profetik atau kenabian ini sebagai al-Istila’, sebuah proses berpijarnya nyala api.

Setiap manusia mempunyai potensi untuk mengalami pengalaman profetik, meski dengan kadar tingkatan yang berbeda.

Maka penting menurut Al-Ghazali bagi seseorang yang sedang menuntut ilmu untuk melakukan riyadloh membersihkan rohani dan mengamalkan ilmu yang sedang dipelajari.

Ada banyak cara riyadloh yang pernah dicontohkan para kyai dan ulama kepada kita, misalnya dengan berpuasa senin-kamis, puasa daud, rutin sholat tahajud, dan sebagainya.

Sedangkan tingkat riyadloh paling tinggi yaitu tingkat riyadlohnya para nabi. Dalam kitab Misykatul Anwar, Al-Ghazali menulis bahwa ada beberapa tingkatan riyadloh yang dilakukan oleh para nabi.

Tingkatan pertama adalah melepaskan diri dari hal yang bersifat keduniawian. Kemudian mengarahkan hati untuk bisa meraih al-Wadi al-Muqoddas, lembah yang suci.

Memposisikan hati yang suci ini tentu barang yang sulit bagi orang awam macam kita. Kebanyakan dari orang awam seperti kita ini, mencari ilmu bukan untuk menerangi hati apalagi bercita-cita menggapai lembah yang suci.

Lha wong kita ini mencari ilmu atau yang kini disebut dengan sekolah atau kuliah itu untuk mendapat ijazah, mencari kerja, atau sukur-sukur bisa diterima sebagai ASN agar hidupnya terjamin. (*)

Tulisan sebelumnyaPemakzulan Gus Dur, Konstitusional atau Rebutan Kursi?
Tulisan berikutnyaSukseskan Vaksinasi, Relawan Muslimat Patikraja Beraksi

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini