Lirboyo Mengajarkan Bangsa: Saat Ulama Memilih Islah, Bukan Adu Ego

Oleh Prof. Dr. Kholid Mawardi, M.Hum
Guru Besar UIN Saizu Purwokerto

Peristiwa tabayun di Pesantren Lirboyo antara Rais Aam dan Ketua Umum PBNU bukanlah sekadar babak penutup konflik organisasi. Ia adalah peristiwa kebudayaan—bahkan peristiwa keilmuan—yang memperlihatkan cara Nahdlatul Ulama mengelola perbedaan: tenang, berlapis makna, dan berakar kuat pada tradisi kitab kuning.

Dalam tradisi NU, tabayun tidak dipahami sebagai klarifikasi administratif apalagi manuver politik. Ia adalah laku etik yang bersumber dari Al-Qur’an, diwariskan ulama klasik, dan dipraktikkan melalui pesantren serta majelis musyawarah para kiai sepuh. Prinsip fatabayyanū dalam QS. al-Ḥujurāt ayat 6 tidak berhenti sebagai teks, tetapi hidup sebagai kebiasaan intelektual dan spiritual.

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din mengingatkan bahwa konflik jarang lahir dari perbedaan gagasan semata. Ia lebih sering bersumber dari penyakit batin: cinta pada kehormatan diri, hasrat ingin menang, dan kegemaran membuka aib. Karena itu, menahan lisan dan mengklarifikasi dengan hati yang bersih jauh lebih utama daripada membela diri di ruang publik.

Spirit inilah yang tampak jelas di Lirboyo. Ketika perbedaan muncul di pucuk kepemimpinan NU, para kiai tidak memilih mikrofon dan panggung media sosial. Mereka memilih majelis, duduk bersama, saling mendengar, dan menimbang maslahat. Tidak ada adu narasi, tidak ada mobilisasi emosi jamaah—yang ada adalah tradisi diam yang bekerja.

Panduan ini sejalan dengan Imam an-Nawawi dalam Al-Adzkar, bahwa pihak yang berselisih wajib memenuhi undangan ishlah, mendengarkan lawan bicara, dan tidak menolak perdamaian tanpa alasan syar‘i. Dalam perspektif ini, mengalah demi persatuan justru lebih terhormat daripada menang dalam perdebatan.

Lebih jauh, sikap mengedepankan islah berakar pada kaidah fiqh yang dijelaskan Imam as-Suyuthi dalam Al-Asybah wa an-Nazhair: dar’ul mafāsid muqaddam ‘alā jalbil maṣāliḥ—mencegah kerusakan harus didahulukan daripada mengejar manfaat. Bagi NU, kerusakan terbesar bukanlah kalah argumentasi, melainkan retaknya persatuan jamaah.

Kitab Bughyat al-Mustarsyidin, yang sangat hidup di pesantren NU, bahkan menegaskan bahwa kesalahan elite berpotensi menjadi fitnah sosial yang menjalar ke bawah. Karena itu, konflik elite harus diselesaikan dengan cepat, tertutup, dan bermartabat—sebelum menjadi beban umat.

Islah Lirboyo menunjukkan bahwa wibawa ulama tidak lahir dari kerasnya pernyataan, melainkan dari kemampuannya menundukkan ego. Di tengah budaya digital yang mendorong reaksi cepat dan polarisasi, NU justru mempraktikkan “kelambatan yang bermakna”—tabayun yang memberi ruang bagi akal, nurani, dan tradisi.

Barangkali inilah pelajaran besar dari Lirboyo bagi publik luas:
tidak semua konflik harus diumumkan,
tidak semua perbedaan harus dipertajam,
dan tidak semua kebenaran harus dimenangkan.

Dalam tradisi kitab kuning, kebenaran tertinggi adalah yang melahirkan ishlah, bukan sorak-sorai. Dan di situlah tabayun NU menemukan martabatnya.

Tulisan sebelumnyaIstighotsah Malam Sabtu Pahing, MWC NU Purwokerto Selatan Perkuat Spirit Keumatan
Tulisan berikutnyaBahtsul Masail PCNU Banyumas Bakal Bahas Soal MBG

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini