Kritik Terhadap Pemikiran Liberal dalam Hukum Islam: Apakah Masih Relevan di Indonesia?

Oleh : Dr. Agus Sunaryo
Dosen Fakultas Syariah UIN Saizu Purwokerto

Gagasan Islam liberal yang mengusung kebebasan berpikir dalam hukum Islam sedang ramai diperbincangkan. Kelompok ini menawarkan pendekatan baru dengan mengutamakan “kepentingan publik” di atas teks-teks agama.

Namun, banyak ulama tradisional menolak ide ini, menganggapnya terlalu jauh dari ajaran Islam yang sudah mapan. Di Indonesia, pemikiran liberal ini banyak dikembangkan oleh kalangan akademisi dan aktivis.

Mereka berargumen bahwa hukum Islam harus dinamis, menyesuaikan dengan zaman. Misalnya, aturan waris yang memberi bagian lebih besar kepada laki-laki dianggap tidak lagi relevan di era kesetaraan gender.

Namun, kritik tajam datang Agus Sunaryo dan Ahmad Hadidul Fahmi, peneliti dari UIN Saizu Purwokerto, bahwa pendekatan liberal sering mengabaikan teks-teks agama yang spesifik, seperti ayat Al-Qur’an atau Hadis, demi mengejar “kemaslahatan” yang subjektif.

Contoh kasus yang sering diperdebatkan adalah hukum hijab. Kelompok liberal berpendapat bahwa berhijab tidak harus mengikuti standar Arab, tapi bisa disesuaikan dengan budaya lokal.

Sementara ulama tradisional bersikeras bahwa hijab memiliki aturan jelas dalam teks agama. Masalah pernikahan beda agama juga jadi sorotan.

Liberal Muslim di Indonesia mendukung kebolehan pernikahan lintas agama, sementara ulama tradisional menolaknya berdasarkan dalil-dalil spesifik. Perdebatan ini sering memicu ketegangan di media sosial.

Menurut penelitian, pendekatan liberal dianggap berbahaya karena bisa mengikis otoritas teks agama. Jika setiap orang bebas menafsirkan hukum berdasarkan “kepentingan”, maka ajaran Islam bisa kehilangan bentuk aslinya.

Ini seperti membangun rumah tanpa pondasi. Di Purwokerto, salah satu pusat kajian Islam tradisional, banyak santri dan mahasiswa menolak pemikiran liberal.

Mereka lebih memilih metode ulama klasik seperti Imam Syafi’i atau Imam Ghazali, yang tetap mengedepankan teks sebagai panduan utama.
Namun, kaum liberal tidak tinggal diam.

Mereka beralasan bahwa zaman sudah berubah, dan hukum Islam harus bisa menjawab masalah kontemporer. Misalnya, aturan potong tangan untuk pencuri dianggap terlalu keras dan tidak sesuai dengan nilai hak asasi manusia modern.

Lalu, siapa yang benar?

Sebagian masyarakat Indonesia masih bimbang. Di satu sisi, mereka ingin memegang teguh ajaran agama. Di sisi lain, mereka juga ingin hidup harmonis dalam masyarakat yang plural.

Yang jelas, perdebatan ini belum akan selesai, yang terpenting adalah umat Islam bisa bijak menyikapi perbedaan pendapat, tanpa saling menyalahkan.

Bagaimanapun, tujuan akhirnya adalah mencari kemaslahatan bersama, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar agama. ***

Tulisan sebelumnya2.462 Siswa SD dan SMP Banyumas Terima Bantuan Kartu Banyumas Pintar
Tulisan berikutnyaNU dan Indonesia : Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan, Merawat Cita-cita, Menjaga Rumah Bersama

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini