Perubahan yang terjadi di dalam organisasi bukanlah semata-mata perubahan dari organisasinya, melainkan termasuk orang-orang di dalamnya. Hal fisik seperti gedung, teknologi, dan produk memang dapat diubah, meskipun demikian, ketika organisasi benar- benar ingin berubah, maka orang-orang di dalamnya juga harus mengubah cara mereka berperilaku (Balogun & Hailey, 2008).
NU, sebagai sebuah organisasi yang umurnya menjelang satu abad, sebagaimana organisasi pada umumnya tentu tidak pernah lepas dari term perubahan. Prinsip al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah
sebagai salah satu kaidah sapu jagatnya NU adalah keniscayaan tentang ikhtiar perubahan yang senantiasa dilakukan NU.
Perhelatan Konferensi Cabang NU (Konfercab NU) Kabupaten Banyumas yang akan dilaksanakan Ahad Manis, 11 Desember 2022, di Ponpes Mamba’ul Ushulil Hikmah, Bakung, Desa Linggasari, Kembaran tentunya menjadi momentum lima tahunan yang dinanti-nanti bukan hanya oleh para kandidat Ketua beserta Tim Pemenangannya, tetapi tentunya oleh warga NU Banyumas dan berbagai elemen masyarakat di Banyumas.
Dengan tema ‘Tradisi, Transformasi, dan Kolaborasi menuju 1 Abad Nahdlatul Ulama’ yang diusung dalam Konfercab NU ini, sudah semestinya semua peserta dan para calon AHWA, Rois, dan Ketua PCNU sudah sangu bahan untuk menemukan format dan parameter yang jelas dalam merumuskan hasil Keputusan Konfercab NU tersebut.
Berbagai rancangan keputusan yang dipersiapkan panitia dipastikan sudah menggambarkan tiga kata kunci dalam tema itu sebagai pondasi dalam upaya mewujudkan kondisi NU dalam usia satu abad yang ideal dan menggembirakan NU di Kabupaten Banyumas.
Tulisan ini bermaksud membuka ruang diskusi dan eksplorasi lebih jauh terkait term kolaborasi yang menjadi salah satu unsur tema Konfercab NU Tahun 2022 ini.
Bagaimana Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Banyumas Masa Khidmat 2018-2022 melaksanakan agenda kolaborasi pada realisasi berbagai program kerjanya yang nantinya akan dipertanggungjawabkan dalam Sidang Pleno Laporan Pertanggungjawaban. Atau paling tidak keputusan yang diambil di Komisi Masail Diniyah, Program Kerja, Organisasi, dan Rekomendasi menggambarkan bagaimana strategi kolaborasi itu diterapkan.
Kolaborasi salah satunya didefinisikan sebagai adanya pola dan bentuk hubungan yang dilakukan antarindividu ataupun organisasi untuk saling berbagi, berpartisipasi, dan bersepakat untuk melakukan tindakan bersama dengan kesediaan saling membagi informasi, sumber daya, manfaat, dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan demi tujuan bersama ataupun untuk menyelesaikan berbagai masalah.
Pengertian tersebut menggambarkan semangat egalitarian, nonelitis, mufakat, dan tanggung jawab kolektif, sehingga memperkecil dominasi salah satu atau beberapa orang saja pada setiap proses di tubuh suatu organisasi.
Pada saat suatu program atau kegiatan telah dijalankan maka akan meminimalisir klaim perseorangan atas keberhasilannya dan sebaliknya tidak akan ada yang dikambinghitamkan apabila menemui
kegagalan.
Penerapan prinsip kolaborasi ini juga sangat berpotensi untuk melahirkan banyak sekali kader yang memiliki kemampuan manajerial berimbang dalam satu organisasi.
Organisasi yang dijalankan oleh atau hanya sekehendak elitnya saja akan kelimpungan untuk menemukan kader yang mumpuni untuk melanjutkan pengelolaan organisasi ke depannya.
Pada banyak momentum pergantian periodik kepemimpinan di berbagai organisasi dijumpai keadaan langkanya figur pengganti akibat para elit atau pimpinan bermain sendiri (one man
show), sehingga probem 4L (Loe Lagi Loe Lagi) menjadi sesuatu yang lumrah.
Sebagai sebuah organisasi yang tumbuh sangat subur di kalangan bawah dan pedesaan, prinsip pengelolaan manajemen organisasi NU tentunya harus terus ditata secara lebih modern dengan tetap mempertahankan tradisi pesantren yang menjunjung tinggi adab dan keilmuan.
Beberapa prinsip kolaborasi yang mesti dipahami dan dijalankan bersama oleh seluruh komponen NU, baik pengurus maupun warganya di antaranya:
1. Kolaborasi internal
Kolaborasi internal dalam tubuh NU bukan hanya menyukseskan program kerja secara
bersama oleh pengurus dan anggotanya, melainkan juga upaya sungguh-sungguh
membangun koordinasi antarlembaga yang ada di NU agar tidak bergerak sendiri dan juga tidak ‘sejahtera’ sendiri.
Sebagai contoh dalam bidang dakwah, persepsi orang-orang NU bidang ini adalah garapannya Lembaga Dakwah NU saja sehingga sampai saat ini salah satunya NU masih memiliki PR besar kurang semaraknya warna ke-NU-an pada unit kerohanian islam dan lembaga dakwah di seantero sekolah menengah dan perguruan tinggi.
Baca Juga : Tok! Konfercab NU Banyumas, Digelar Desember di Ponpes Mamba’ul Ushulil Hikmah Bakung
Masih terdapatnya kader NU di jenjang sekolah dan PT yang gamang dan gagap mendakwahkan prinsip keislaman Aswaja NU, bahkan sebagian di antaranya terseret keluar dari ajaran NU dan lebih tertarik menjadi bagian dari kelompok kajian yang sangat minhum la ya’lamun.
Ormas pelajar NU, organisasi kemahasiswaan yang aroma NU-nya kental, ISNU, LDNU, LP Ma’aarif NU, PERGUNU, LTMNU, Badan Otonom NU lainnya dan bahkan JRQ NU yang fokus pada aktifitas ruqyah di kalangan NU pada suatu kesempatan harus duduk bersama merumuskan upaya kolaboratif agar para siswa serta mahasiswa NU mampu mengembangkan dakwah Aswaja ala NU di sekolah dan kampus perguruan tinggi.
Tentu saja dengan format yang mengasyikkan sehingga menarik seluruh elemen NU yang ada di Lembaga sekolah atau PT tersebut ikut aktif dalam berbagai aktifitas keagamaan yang dilaksanakan dengan warna dan misi NU yang kental.
Lebih jauh lagi pola dakwah yang dilahirkan dan dikembangkan secara kolaboratif ini akan menarik siswa, mahasiswa, guru, dosen, dan civitas academika yang non-NU untuk bergabung. Sehingga apabila ada kendala dalam upaya mewujudkan kegiatan dakwah ini yang mungkin muncul akibat keterbatasan dana, bisa dikolaborasikan dengan Laziznu, Muslimat, atau LP Ma’arif NU, yang memiliki potensi penggalian sumber dana signifikan. Inilah yang dimaksud kolaborasi cross-departmental dalam konteks kolaborasi internal.
Contoh lain perlunya aksi kolaboratif yang massif adalah penguatan UNU, realisasi
lembaga perekonomian/ koperasi dan perbankan NU agar performa NU menjelang satu abad usianya ini semakin profesional dan mandiri, tidak silau dengan kandidasi pada masa Pemilu untuk sekedar memperoleh remahan transaksional yang sering mencederai marwah NU dan menjadikan kekuatan komunal hanya dibidik dukungan suaranya.
2. Kolaborasi eksternal
Kolaborasi eksternal adalah upaya NU membangun kerja sama yang mutualistik dengan seluruh stakeholder dalam upaya berbagi pengetahuan dan mengoptimalkan irisan kebijakan yang memungkinkan NU duduk bersama secara berwibawa karena hubungannya bukan patron-klien.
Kolaborasi eksternal ini juga menyangkut kerja sama dengan organisasi kompetitor agar NU lebih memahami strategi kompetitornya, menumbuhkan sikap yang tidak underestimate atau overestimate, serta mengurangi friksi-friksi yang sering muncul baik di kalangan bawah maupun kalangan elite.
Kolaborasi eksternal ini banyak menempatkan NU untuk melakukan tindakan politik, namun bukan partisan melainkan kebangsaan atau kemaslahatan.
Menurut Ketua Umum PBNU, Gus Yahya, menjadikan NU sebagai basis konsolidasi politik untuk merebut kekuasaan, itu tidak adil bagi bangsa Indonesia ini. Apalagi hanya sekedar menjadi vote getter bagi orang-orang tertentu yang bermaksud meraih jabatan politik.
Sekali lagi, kolaborasi eksternal ini tidak boleh hanya dimainkan sekelompok elit pengurusnya saja, melainkan kehendak warga NU pada umumnya. Termasuk dalam kolaborasi eksternal ini adalah strategic alliance, yaitu NU melakukan upaya kolaborasi berjangka dengan pihak lain untuk mewujudkan program tertentu.
Jadi bukan hanya kolaborasi NU dengan vendor penyedia seragam NU saja, tetapi misalnya bagaimana NU bekerja sama dengan pihak lain untuk mengadakan pelatihan pendirian usaha konveksi sejak dari pelatihan, pengadaan sarana dan prasarana, sampai dengan produksi serta marketingnya.
3. Virtual and cloud collaboration
Pada era Society 5.0 dengan konsep masyarakat yang berpusat pada manusia dan berbasis teknologi di tengah perkembangan revolusi industry 4.0, sudah semestinya penguasaan teknologi digital menjadi hal yang menyeluruh baik secara individual maupun organisatoris di kalangan NU.
Banyaknya generasi millennial NU yang aktif berkecimpung dalam dunia digital dan menguasai berbagai platform media baru hendaknya menjadi bidikan para penyusun calon Pengurus PCNU nanti untuk benar-benar membuka potensi bangunan kolaborasi yang bersifat virtual ini.
Kerja sama pada masa ini tidak hanya dibayangkan dengan sekumpulan orang yang mengobrol bersama dalam satu majelis dengan gelas-gelas kopi dan aneka punting rokok yang berserakan.
Ruang-ruang virtual yang borderless dan sangat terbuka ini adalah media untuk berkolaborasi secara lebih leluasa dan sangat kekinian dan tidak terhindarkan. Kolaborasi virtual ini juga memungkinkan warga NU Banyumas yang tersebar di berbagai wilayah akan tetap bisa berkontribusi secara aktif dengan kerja sama yang berbasis virtual ini.
Untuk mewujudkan kolaborasi ideal tersebut salah satu di antaranya adalah dengan peningkatan penguasaan strategi komunikasi. Prinsip psikologi komunikasi yang berusaha menguraikan, meramalkan dan mengendalikan peristiwa mental dan behavioral dalam komunikasi harus benar-benar dijalankan dengan bijak dan adil.
Peristiwa mental adalah internal mediation of stimuli sebagai akibat berlangsungnya komunikasi (Fisher), sementara peristiwa behavioral adalah apa yang nampak ketika orang berkomunikasi.
Penerapan psikologi komunikasi ini adalah dalam upaya memahami dan mengaktualisasikan perubahan perilaku, termasuk di dalamnya perilaku organisasi sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya yaitu dengan pewujudan semangat kolaborasi.
Tanpa upaya serius menemukan aspek psikologis damlam proses komunikasi yang baik guna penerapan dan pencapaian maksud kerja-kerja kolaboratif, maka dominasi dan suboordinasi akan selalu muncul.
Konfercab NU tahun 2022 ini diharapkan memunculkan figur yang mengedepankan
visi dan misi organisasi sebagai alur gerak berkhidmah secara kolaboratif, tidak lagi individual yang memiskinkan potensi sumber daya kader NU yang sebenarnya sangat banyak tersebar di tengah masyarakat.
Selamat mewujudkan ‘Tradisi, Transformasi, dan Kolaborasi menuju 1 Abad Nahdlatul Ulama’ dalam arena konferensi dan pascakonferensi. Semoga semua peserta Konfercab NU mendapatkan berkah, bukan brekat.
*)Penulis adalah warga NU Tinggarjaya dan mahasiswa Program Magister KPI UIN Saizu Purwokerto