Kisah Yusuf Qardhawi Masuk Al Azhar

Yusuf Qardhawi berasal dari keluarga miskin. Ia menceritakan perjalanannya memasuki al-Azhar:

Setelah menamatkan al-Qur’an, Qardhawi harus menunggu 5 tahun lagi agar bisa melanjutkan di al-Azhar. Ia sudah teramat jatuh cinta pada al-Azhar, dan tak menemukan pengganti lagi selain al-Azhar. Akan tetapi pamannya, Ahmad Jakfar, mencegahnya. “Anakku, al-Azhar jalannya panjang. Engkau cuma akan menghabiskan waktu 15 tahun bahkan lebih dengan sia-sia, dan lulus dari sana tanpa pekerjaan,” tutur pamannya.

Yusuf al-Qardhawi bercerita, “memang benar, pada masa itu, alumni al-Azhar kebanyakan bingung dengan pekerjaannya, terkecuali jika diberi pekerjaan oleh al-Azhar sendiri. Beberapa sarjana yang lulus mentok ditampung sebatas menjadi tukang khutbah atau guru, kemudian di Wizarat al-Awqaf. Masjid yang dikelola oleh Wizarat al-Awqaf pun sangat sedikit. Itupun gaji yang diterima perbulan hanya 3 pound. Setelah bekerja 3 atau 4 tahun, gajinya ditambah 1 pound: menjadi 4 pound.”

“Oleh karena itu, paman ingin agar aku mempunyai penghasilan lebih. Sebab keluarga kami sangat miskin pada saat itu. Pamanku mencontohkan agar seperi Fulan, atau Fulan atau Fulan yang bisnisnya berkembang dari hari ke hari. Aku sebetulnya tidak sepakat dengan pandangan pamanku ini,” tutur Qardhawi

Umur Yusuf Qardhawi menginjak 13 tahun. Ketika itu, Yusuf Qardhawi, paman dan sepupunya sedang berada di ladang. Mereka duduk-duduk di siang hari, selepas Dzuhur, di bawah sebuah pohon besar. Kemudian datang seorang lelaki tua dari desa sebelah (el-Hayyateem). Ia datang hendak berziarah ke makam salah seorang shahabat, Abdullah bin Harits yang kebetulan berada di kampung Yusuf Qardhawi. Lelaki tadi menghampiri mereka untuk meminta air.

Yusuf Qardhawi bercerita lagi, “pamanku meminta lelaki tersebut untuk menguji pengetahuan al-Qur’anku. Ayat demi ayat diujikan padaku. Alhamdulillah aku selalu bisa menjawab dengan baik.”

Ia kemudian bertanya pada paman Qardhawi, “ini anakmu?”, “Benar,” jawabnya. “Kenapa engkau tak sekolahkan di al-Azhar?” tanyanya.

Paman Qardhawi menjawab, “ya syaikh, kami orang miskin. Dan sekolah di al-Azhar sama sekali tidak menjanjikan untuk masa depan kami. Banyak sarjana-sarjana al-Azhar berakhir jadi pengangguran.” Lelaki tua itu menyahut, “ya syaikh, tidak ada yang bisa menjamin apa yang nanti terjadi. Apakah Anda bisa menjamin apa yang akan terjadi 15 tahun ke depan? Bukankah Anda sedang menghakimi peristiwa yang akan terjadi 15 tahun ke depan–dan itu di luar pengetahuan Anda? ”

Lelaki itu mengalihkan pandangannya, dan bertanya pada Qardhawi, “apakah 10 piasters cukup untuk hidupmu setiap bulan?”

“Sangat cukup, bahkan jika tanpa uang sekalipun. Aku bisa hidup walaupun hanya dengan roti dan garam. Aku hanya ingin pergi ke al-Azhar,” jawab Qardhawi.

Laki-laki tua inilah yang meluluhkan hati paman Qardhawi. Laki-laki tersebut tak diketahui namanya, dari mana asalnya, dan tak pernah dijumpai lagi setelahnya. Selepas itu Qardhawi mendaftarkan namanya di Ma’had al-Azhar di Thanta.

Ia, terlepas dari kontroversi pendapatnya, kini menjadi ulama besar dan disegani di dunia Islam. (*)

SUMBERfacebook
Tulisan sebelumnyaTabarukan di Pesantren
Tulisan berikutnyaKetua Kwarcab Banyumas: Pramuka itu Perpaduan Pesantren dengan Militer

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini