Kisah Seorang Sufi Yang Gagal Ibadah Haji

Kisah Sufi yang gagal haji Abu Yazid Al Busthami

NAMA Abu Yazid Al Bushtami tentu tidak asing di telinga para pelaku tarekat dan tasawuf. Beliau merupakan seorang Sufi Besar abad ke 3 Hijriah yang lahir di kota Bastam, Iran.

Beliau mendapatkan julukan Akbar Masyayikh dan Sulthan al-Arifin dari para sufi lain yang pernah berguru kepada beliau. Ini merupakan pengakuan atas kedalaman ilmu makrifat beliau.

Ada sebuah riwayat menarik saat beliau sedang melakukan perjalanan menuju Makkah untuk berhaji. Setiap singgah di suatu kota, ia mencari seorang alim untuk mereguk hikmah dan kebijaksanaan.

Setelah melewati beberapa kota, Abu Yazid menjumpai seorang kakek tunanetra. Abu Yazid meyakini beliau adalah seorang wali karena merasakan pancaran cahaya yang kuat dari badan kakek ini.

Kakek itu bertanya kepada Abu Yazid “Kau hendak pergi kemana? Bekal apa yang kau siapkan?.

Abu Yazid menjelaskan bahwa ia akan menunaikan ibadah haji dan membawa 200 dirham perak. Sang kakek kemudian menjawab “Berikan bekalmu kepadaku dan bertawaflah tujuh kali mengeliliku. Jika Ka’bah adalah rumah Tuhan, maka dalam hatiku Tuhan juga bersemayam”.

Abu Yazid menyerahkan uang tersebut kepada sang kakek, dan mengikuti perintahnya untuk mengelilingi sang kakek sebanyak tujuh kali. Konon kakek Tunanetra ini adalah Nabi Khidir A.S. yang ingin menguji kebersihan hati Abu Yazid.

Kisah Abu Yazid Al Bushtami ini didapatkan dari kitab Risalat al-Nur abad ke 5 Hijriah, juga dalam kitab Tadzkirat al-Auliya karya Syekh Fariduddin Athar Nishaburi.

Jalaludin Rumi juga mengabadikan kisah mengenai Abu Yazid Al Bushtami tersebut dalam Divan-e Syams ghazal ke 648. Jalaludin Rumi merupakan seorang penyair sufi yang lahir di Khurasan dan kemudian menetap di Konya. Pada masa remaja, beliau pernah belajar kepada Syekh Fariduddin Athar.

Wahai kafilah haji, kemana engkau akan pergi,
yang kau cinta ada di sini
Ia begitu dekat, melekat di dinding hatimu,
usah berpayah di gurun pasir
Jika kau mampu menangkap gambaran cinta,
engkaulah kakbah itu sendiri
Sepuluh kali telah kau kunjungi kakbah,
sekali ini saja kau ziarahi diri
Kakbah adalah rumah cinta-Nya, jika benar kau telah melihat,
tunjukkan jejak cinta ini
Mana bunga yang kau petik dari taman, mana permata dari lautan rahmat Ilahi
Dengan segala kepayahan yang kau lewati, harta karun itu masih saja terhalang takbir.

Puisi ini mengabadikan kisah Abu Yazid Al-Bushtami sekaligus memberikan pelajaran kepada kita semua. Satu hal yang perlu digarisbawahi, Jalaludin Rumi dan Abu Yazid Al-Bushtami bukan mengesampingkan ibadah haji yang merupakan bagian dari rukun Islam.
Bisa kita baca ada kalimat “Sepuluh kali telah kau kunjungi Kakbah”, ini menandakan bahwa beliau berdua setidaknya pernah melakukan ibadah haji. Hal ini juga tercatat pada beberapa kitab klasik bahwa kedua sufi ini pernah melakukan ibadah haji.

Lalu apa yang ingin disampaikan oleh Abu Yazid dalam kisahnya, dan Jalaludin Rumi dalam puisinya?

Yaitu mengenai pentingnya memperhatikan dimensi ruhaniah dalam memaknai setiap ritual ibadah. Karena kemampuan menyelami makna batin inilah yang membuat seorang pelaku ibadah akan mampu melakukan sebuah transformasi kepribadian.

Baca Juga : Iktiar dan Doa, Selanjutnya Terserah Sang Kuasa

Dalam perspektif tasawuf, tidak ada manfaatnya sebuah ritual ibadah tanpa mempelajari esensi dari ibadah tersebut. Rumi mengibaratkan ini seperti seorang petani yang rajin menyimpan gandum dalam karung, namun karung tersebut berlubang.

Ini seperti fenomena yang terjadi di Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dengan penduduk yang mayoritas muslim ini, kita masih sering menemui tindak kejahatan di mana-mana, korupsi merajalela, dan penyelenggara negara yang dzalim.

Karim Zamani, seorang penafsir asal Iran memberikan beberapa catatan atas kisah Abu Yazid yang tidak bisa melanjutkan perjalanan ibadah haji. Beliau menafsirkan bahwa kakek tunanetra tersebut merupakan simbol dari Mustadhafin yang perlu mendapat bantuan.

Bahwa ketika Abu Yazid memberikan semua uangnya kepada kakek tersebut berarti bahwa menghilangkan kesedihan seseorang dan membantu orang lain yang lebih membutuhkan adalah lebih utama daripada melakukan ibadah haji.

Fenomena ini tentu pernah kita temui, beberapa orang yang rajin menunaikan umrah atau haji dengan jalur ONH Plus. Namun mereka abai dengan tetangga yang membutuhkan pertolongan. Mereka merasa ibadah ke tanah suci lebih tinggi derajatnya daripada membantu tetangga yang kelaparan. Aspek ibadah sosial inilah yang diingatkan oleh Jalaludin Rumi.

Bahwa Tuhan tidak hanya bisa “dijumpai” di rumah Tuhan, Kakbah. Tuhan juga ada bersama kaum dhuafa dan fakir miskin di sekitar kita.

Konsep keshalehan sosial ini juga pernah dituliskan oleh K.H. Sahal Mahfudz, Rais Aam PBNU tahun 1999 – 2014. Menurut Mbah Sahal, manusia yang shaleh bukan hanya mereka yang rajin melakukan aktifitas ibadah mahdhah yang bersifat individual antara seorang hamba dengan Tuhannya. Namun juga harus turut berperan aktif, bermanfaat, dan terampil dalam kehidupan sosial. (*)

Tulisan sebelumnyaInnalillahi…! Mustasyar PBNU, KH Nawawi Abdul Jalil Berpulang
Tulisan berikutnya59 Kader IPNU-IPPNU Jatilawang Digembleng Selama Tiga Hari

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini