DINI hari tadi, tepatnya pukul 02:00 WIB babak final piala eropa (Euro 2020) digelar di stadion Wembley, London Inggris. Turnamen sepak bola empat tahunan yang paling bergengsi di benua Eropa itu tahun ini mempertemukan dua Negara raksasa sepak bola, Italia vs Inggris di final. Italia keluar sebgai juara setelah mengalahkan Inggris lewat drama adu penalti dengan skor 3-2.
Sepak bola adalah olahraga yang universal, tak memandang agama, suku, bangsa, bahasa dan ormas. Entah itu laki-laki atau perempuan. Kaya atau miskin. Pejabat atau rakyat. NU atau Muhammadiyah. Santri atau kiai. Dihadapan sepak bola, semua orang sama. Sama-sama merasa sedih jika tim yang didukung kalah dan sama-sama merasa senang jika tim yang didukung menang.
Pendek kata, jika kamu menonton bola, orang tidak akan bertanya apa agama mu? atau apa ormas mu?
Dahulu sekira tahun 1928-1929 di Kabupaten Banyumas, tepatnya di Kecamatan Sokaraja terdapat seorang kiai yang jago dalam bermain sepak bola. Bukan hanya jago, melainkan menjadi bintang di lapangan hijau. Dia adalah kiai Mursyid, guru ngaji KH Saifuddin Zuhri semasa kecil di Madrasah Diniyah Al-Huda Nahdlatul Ulama Sokaraja.
“Mula pertama orang di kampungku cuma mengenal namanya Mas Mursyid, pemuda tampan dari Solo yang diambil menantu seorang hartawan (saudagar batik) di kampungku. Orang cuma mengenalnya sebagai pemain sepak bola yang hebat. Dalam tiap pertandingan, klub mana saja Mas Mursyid berada, hampir bisa dipastikan mesti menang. Permainannya sportif, tenang, dan tangguh,” Tulis KH Saifudddin Zuhri dalam buku Guruku Orang-Orang Pesantren
Dia selalu bermain sebagai gelandang tengah, menjaga benteng di belakang dan membagi bola kepada penyerang. Jika gawang bisa diselamatkan dari serangan musuh adalah berkat ketangguhan Mas Mursyid, si palang pintu. Sebaliknya kalau saja bisa mencetak gol ini disebabkan karena operan yang diberikan Mas ini. Alhasil orang Solo satu ini merupakan favorit, kesayangan orang Sokaraja.
Tapi semenjak dia diminta untuk menjadi pendamping KH Akhmad Syatibi dalam forum pengajian khusus setap bulan untuk para kiai-kiai itu orang-orang di Sokaraja tak lagi memandang Mas Mursyid cuma sebagai pemain sepak bola, melainkan sebagai ulama atau kiai.
“Orang tidak lagi memanggilnya dengan Mas Mursyid, tetapi kiai Mursyid. Kadang-kadang kiai Mas Mursyid. Tapi di kalangan anak-anak muda terutama para muridnya, lebih senang memanggilnya Ustad Mursyid,” Lanjut KH Saifuddin Zuhri.
Baca Juga : NU dan Pesan Pelestarian Lingkungan Hidup
Dan sejak peristiwa tersebut, Ustadz Mursyid tidak lagi main sepak bola. Karena dia merasa dunianya telah berganti. Teman-teman bermain sepak bola juga menjadi segan jika bermain bola dengan seorang kiai. Kemudian masyarakat setempat juga banyak yang datang untuk membantu membuatkan gedung Madrasah.
Saat KH Saifuddin Zuhri diangkat menjadi ketua pemuda Ansor Jawa Tengah Bagian Selatan, kiai Mursyid tercatat ikut aktif di Pemuda Ansor, dia selalu ikut dalam kegiatan pelatihan atau kursus yang di adakan oleh KH Saifuddin Zuhri.
“Demikian pula dalam kursus-kursus Pemuda Ansor yang aku diserahi memimpinnya, Ustadz Mursyid ikut menjadi peserta yang jarang absen,” catat KH Saifuudin Zuhri.
KH Saifuddin Zuhri pun segan terhadap guru ngajinya itu. Suatu ketika dia meninta agar gurunya memberikan pelajaran atau fatwa-fatwa dalam kursus tersebut, tapi ditolak secara halus dengan alasan.
“Dahulu memang saudara murid saya, apa salahnya kini aku jadi murid Saudara?”
Kiai Mursyid wafat ditembak oleh Belanda dalam sebuah agresi militer di wilayah Banyumas tahun 1947. Dia gugur ketika menjadi pemimpin barisan Sabilillah untuk melawan para penjajah. Tidak ada bintang jasa disematkan di dadanya, juga tidak pada dada keluarganya.(*)