Sudah banyak pembahasan mengenai ulama dari Banyumas dan sekitarnya. Tapi kebanyakan pembahasan itu dalam rentang waktu abad ke 20. Padahal ada banyak ulama Banyumas yang kiprahnya pada abad-abad sebelumnya.
Salah satu ulama itu adalah Surya Muhammad atau yang lebih dikenal dengan Kiai Nurhakim. Ada beberapa versi mengenai waktu kelahiran Kiai Nurhakim ini. Dalam buku Sejarah Kota Purwakerta (Purwokerto) (1832-2018) karya Sugeng Priyadi, menyebutkan bahwa Kiai Nurhakim lahir di Pancasan, Ajibarang pada tahun 1818 M. Kiai Nurhakim merupakan menantu Demang Nurahman I dan saudara ipar Demang Nurahman II.
Versi yang lain disebutkan dalam buku Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda (1889-1936) karya Gobee dan Adriaanse. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa Kiai Nurhakim merupakan anak pangeran Mangkunegara (Pangeran Sambernyawa) dan datang dari Sala pada 1820 M.
Kiai Nurhakim menempuh Pendidikan agama di Cirebon. Dia berguru kepada Kiai Hasan Maulani Lengkong. Pencarian cahaya bernama Islam tak hanya berhenti di situ saja. Ia juga kemudian beralih ke Barat hingga sampai di Bogor dan Banten.
Dalam buku Pemberontakan Petani Banten 1888 karya Sartono Kartodirjo dijelaskan bahwa daerah tersebut merupakan daerah penganut Tarekat Rifa’iyah. Hingga Kiai Nurhakim pun menganut Tarekat tersebut pada saat beliau belajar di sana. Ada pula sumber yang mengatakan bahwa beliau menganut Tarekat Satariyah. Dan pada perkembangan berikutnya, Ia memimpin Tarekat Akmaliyah di Banyumas.
Baca Juga :Â KH Yusuf Azhary, Kiai Al-Quran dari Ajibarang
Setelah dirasa cukup dalam menuntut ilmu, Ia lalu mulai mengajarkan ilmu agama di Desa Pasir Wetan. Desa ini terletak di sebelah barat Kota Purwokerto. Pada saat itu Kiai Nurhakim memperoleh banyak murid atau santri karena memang beliau dikenal sebagai ulama yang karismatik.
Kiai Nurhakim juga dikenal sebagai orang yang kaya masa itu. Ini disebabkan karena banyaknya santri yang berguru kepadanya. Para santri dan pengikutnya ini, kerap kali memberikan hadiah atau bisyaroh kepada Sang Kiai.
Selain dari pada itu, Kiai Nurhakim juga merupakan seorang pedagang jimat atau benda keramat. Kebanyakan ulama nusantara yang hidup pada masa itu memang ajarannya berorientasi pada hal-hal mistik atau gaib. Bahkan beliau juga dikenal sebagai orang yang sakti dan banyak pula dari pengikutnya yang menganggap beliau sebagai Ratu Adil.
Bersama dengan Tarekat Akmaliyah yang ia pimpin, ia juga memperoleh banyak pengikut yang kemudian menimbulkan kontroversi dan kekhawatiran di kalangan pemerintah kolonial Belanda. Bahkan beberapa sumber menyebutkan bahwa Kiai Nurhakim sempat ditangkap oleh pemerintah kolonial pada saat itu.
Kiai Nurhakim meninggal pada hari Sabtu Pahing tanggal 27 Juni 1891 M dan bertepatan dengan tanggal 20 Dulkaidah 1308 H. Makam Kiai Nurhakim terletak di seberang Sungai Penasalan (anak Sungai Jengkok).
“Jangan tanya siapa saya dan dari mana” pesannya
(nanti ketauan belanda, kalo dia snipernya mas Mustohar)