KERENDAHAN HATI MENCIUM TANGAN

Oleh : Prof. Dr . Fauzi, M.Ag
Wakil Rektor I UIN Saizu Purwokerto

Pagi hari, saat saya membuka pesan masuk di whatsapp group kampus, salah satu kolega sejawat mengirimkan video singkat. Isinya suatu adegan akhir pidato K. H. D. Zawawi Imron yang disambut antusias oleh audiens termasuk Menteri Agama, Yaqut Cholil Quomas atau GusMen (selanjutnya ditulis GusMen). Usai berpidato, Gus Men menyalami dan mencium tangan K. H. D. Zawawi Imron dengan ekspresi bahagia.

Tidak hanya itu, dalam gerak tubuh Gus Men dan K. H. D. Zawawi Imron terbaca adegan K. H. D. Zawawi Imron berusaha mencium tangan Gus Men. Tapi, Gus Men menolak dan lebih dulu yang mencium tangan K.. H. D. Zawawi Imron. Tepuk tangan khidmat penuh rasa bangga dan bahgaia bergemuruh. Ekspresi bahagia terpancar dalam senyum Gus Men dan K. H. D. Zawawi Imron.

Usai menyaksikan video adegan tersebut, mendadak basah kelopak mata saya. Walapun tidak ada di ruang langsung kejadian tersebut. Tapi, saya merasakan marwah memuliakan guru dan ulama melalui ekspresi mencium tangan. Apalagi itu dilakukan oleh Gus Men, yang punya kedudukan tinggi sebagai menteri, pada guru dan tokoh ulama K. H. D. Zawawi Imron.

Saat itu juga, saya teringat pertanyaan sederhana yang diucapakan anak saya saat masih kecil. Usai anak saya mencium tangan ibunya, saat mau berangkat sekolah, anak saya bertanya, “Ayah, kenapa kita harus mencium tangan mama (ibu) dan ayah?” Saya sempat kaget dan tergagap dengan pertanyaan itu.

Akan tetapi, dengan menatap ketenangan anak, saya menemukan jawaban sederhana. Saya balik bertanya pada anak saya, “Nak, dulu waktu kamu masih bayi, mama (ibu) menyuapi makan pakai apa?” Secepat kilat anak saya menjawab, “Tangan!” “Waktu kamu kedinginan, mama (ibu) menyelimuti dan mengolesi tubuhmu dengan minyak kayu putih pakai apa?” “Tangan!” “mama (Ibu) memandikanmu pakai apa?” “Tangan!” “Mama (Ibu) mengajarimu menulis pakai apa?” “Tangan!” “Mama (Ibu) memberimu uang saku pakai apa?” “Tangan!” Lalu kami terdiam beberapa saat.

Setelah deretan pertanyaan saya dijawab. Saya kemudian mendekatkan wajah ke anak saya. Tampak ekspresi senang tergambar di wajah anak saya. Lalu saya berbisik padanya, “Nak, karena tangan mama (ibu), sekarang kamu bisa tumbuh besar. Karena tangan mama (Ibu) kamu bisa pintar dan sekolah. Karena tangan mama (ibu) kamu bisa sehat dan tersenyum bahagia.” Anak saya semakin berbinar ekspresinya dan berkata, “Oh, sekarang saya telah tahu.” Anak saya pun bergegas berlalu menuju sekolah.

Sementara saya dan istri saya bertatapan mata dengan kelopak mata yang basah. Kami teringat orang tua kami yang tak berhingga jasa dan kebaikannya. Kami teringat ulama dan para kyai yang luar biasa sabarnya dalam mendidik. Kami teringat segala kebaikan guru di madrasah dan sekolah yang selalu tercurah. Kami teringat pada tangan-tangan kebaikan yang tak pernah bosan merawat dan membesarkan kami hingga sekarang ini.

Inilah keistimewaan yang tak berkesudahan dalam tangan yang selalu dialirkan oleh orang-orang istimewa yang selalu menjaga dan merawat kehidupan. Bagi orang-orang istimewa seperti orang tua, ulama, kyai, dan guru tangan adalah perpanjangan keimanan dan perwujudan kebaikan. Dengan tangan keimanan dapat diaktualisasikan dalam bentuk kebaikan-kebaikan dalam mendidik, menyayangi, memberi, merawat, bersedekah, dan beribadah tanpa henti. Dengan tangan orang-orang istimewa ini kehidupan masih terawat dan terjaga dengan baik. Dengan tangan ulama negara kita bisa tegak bersatu.

Jadi, saat Gus Men mencium tangan K. H. D. Zawawi Imron dengan takzim dan khidmat, maka di situ ada kerendahan hati yang indah dan memesona. Kerendahan hati pejabat tinggi yang lebih mengutamakan akhlak daripada jabatan. Kerendahan hati yang lebih mengutamakan hormat pada ulama daripada kedudukan. Kerendahan hati yang mengakui jasa guru pada kehidupan daripada keakuan. Kerendahan hati yang mengakui jasa orang tua daripada kegagahan.

Kerendahan hati yang mengakui bahwa orang tua, ulama, kyai, dan guru adalah segalanya dalam kehidupan karena merekalah orang yang telah berjasa pada kita. Berjasa pada eksistensi keislaman kita. Berjasa atas tegaknya negara kita. Berjasa kita masih diberikan kesempatan untuk berjuang untuk menjadi manusia mulia. Inilah akhlaq yang harus senantiasa kita jaga. Salah satunya mencium tangan orang tua, ulama, kyai, dan guru.

Tulisan sebelumnyaRefleksi Hari Santri, Sebelum NU Lahir, Ada Tiga Fase yang Mendahuluinya…
Tulisan berikutnyaPCNU Gelar Acara Kolosal Peringatan HSN dan NU Java Expo 2023 di Menara Teratai Purwokerto

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini