Huru-hara Tarekat Akmaliyah di Banyumas

Tarekat Akmaliyah

Istilah tarekat di Indonesia tentu sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Tarekat yang secara harfiah diartikan sebagai jalan, dalam perkembangannya di Indonesia menuai sejarah yang berliku dan panjang. Ada pula dari lika-liku ini berkaitan dengan penguasa kolonial Belanda yang berkuasa berabad-abad lamanya.

Di Banyumas gerakan tarekat pernah mengalami perkembangan yang signifikan. Tentu ada berbagai faktor yang melatarbelakanginya, termasuk kegelisahan ekonomi dan sosial masyarakat pribumi pada masa kolonial.

Banyumas merupakan salah satu karesidenan besar yang berdiri pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Dapat dipastikan bahwa setiap karesidenan besar memiliki industri naungan Belanda, seperti pabrik gula dan berbagai macam industri pertanian yang berpotensi ekspor pada saat itu.

Setiap negara yang mengalami penjajahan jelas memiliki rasa gelisah dan geram akan perlakuan dari para penjajah. Akibat yang ditimbulkan dari berbagai keresahan dan kegelisahan ini bisa menimbulkan perubahan yang sangat besar. Hingga pada suatu saat, pasti akan terjadi apa yang dinamakan revolusi dan juga pemberontakan.

Dalam masa penjajahan, pribumi Indonesia pernah mengalami kerja dan tanam paksa. Akibat dari tanam paksa ini tidak hanya sampai pada penderitaan fisik saja, melainkan sampai pada bencana lain seperti kelaparan.

Terbayang bagaimana masyarakat pribumi saat itu melunturkan sebuah kepercayaan terhadap pemerintah kolonial. Pada saat-saat seperti itu, mereka cenderung beralih kepercayaan terhadap tokoh yang karismatik seperti para ulama.

Abad ke 19 memang sedang marak-maraknya gerakan pemberontakan petani yang disertai dengan sifat mesianisnya. Dalam buku Ratu Adil karya Sartono Kartodirjo dijelaskan bahwa gerakan mesianis merupakan gerakan yang didasari harapan akan datangnya tokoh panutan seperti Imam Mahdi.

Baca Juga : Kiai Nurhakim, Ulama Banyumas Masa Kolonial Belanda

Imam Mahdi dipercaya sebagai imam akhir zaman yang akan melawan segala kezaliman bahkan dipercaya sebagai tokoh yang akan mengalahkan Dajjal. Tentunya gerakan mesianis tak terlepas dari naiknya nilai religius masyarakat tradisional. Kepercayaan seperti ini juga terdapat dalam sebuah ramalan tokoh Jawa yang masyhur disebut Jayabaya.

Bersamaan dengan meningkatnya keresahan sosial dan revivalisme agama, Tarekat Akmaliyah yang dibawa oleh Kiai Nurhakim memasuki dataran Karesidenan Banyumas. Pribumi yang terdampak oleh kerja dan tanam paksa kemudian berangsur-angsur menjadi pengikut Kiai Nurhakim dan menganut Tarekat Akmaliyah. Pengikut awalnya kebanyakan berasal dari daerah pabrik gula di Banyumas. Bahkan mereka membentuk markas gerakan di sekitar pabrik gula tersebut.

Dalam buku Sejarah Kota Purwakerta (Purwokerto)(1832-2018) karya Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M.Hum, dijelaskan bahwa Kiai Nurhakim memiliki banyak santri dan pengikut. Hal ini dibuktikan pada saat Kiai Nurhakim mengkhitankan anak laki-lakinya tahun 1862 M. Ia mendapat banyak sekali tamu hingga kabar ini sampai terdengar oleh penguasa kolonial.

Pengikut Kiai Nurhakim tak hanya sebatas daerah Banyumas dan sekitarnya saja, tetapi juga sampai ke luar daerah tersebut. Bukti dari hal ini adalah tersebarnya buku ajaran “pasrah” karya Kiai Nurhakim di daerah pesisir selatan Pulau Jawa dan antara Bagelen dengan daerah Jawa Barat bagian timur atau Priangan Timur.

Saking banyaknya pengikut beliau ini, sampai menimbulkan kekhawatiran Pemerintah Hindia Belanda. Dalam jurnal yang berjudul Gerakan Tarekat Akmaliyah di Banyumas Jawa Tengah Abad XIX karya Tanto Sukardi dijelaskan bahwa Pemerintah Kolonial itu sangat takut dan khawatir dengan gerakan mesianis yang berlandaskan pada agama dan kepercayaan lokal di Jawa.

Bahkan sampai saat itu, ada larangan memakai dan mendagangkan benda keramat atau jimat. Dan perlu kita ketahui juga, gerakan tarekat pada saat itu tidak hanya sekadar berisi dzikir dan ibadah saja, melainkan ada sisipan lain seperti tirakat-tirakat mistik yang bisa menjadikan seseorang kebal.

Ritual mistik yang dijalankan ini, ada kaitannya dengan rencana pemberontakan. Dalam jurnal di atas, Tanto juga menjelaskan bahwa Pemerintah Kolonial mengidap Islamophobia dan Hajiphobia. Mereka meganggap gerakan-gerakan seperti Tarekat Akmaliyah di Banyumas ini berpotensi menimbulkan pemberontakan.

Dalam buku Pemberontakan Petani Banten 1888 karya Sartono Kartodirjo dijelaskan bahwa alasan pemerintah mengidap dua penyakit tersebut adalah karena ketakutan akan munculnya kekuatan Pan Islamisme yang ajarannya dibawa oleh para haji sepulang dari Mekah.

Tak sampai di situ saja, mereka juga trauma terhadap pengalaman Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang kemudian membuat pemerintah harus mengetatkan atau membatasi gerakan ini.

Karena dirasa mengganggu hegemoni kolonial, maka timbul pemikiran untuk mencegah atau menghalau kekuatan mesianis dan tarekat ini dengan berbagai cara. Tak terkecuali yang dialami oleh Kiai Nurhakim dan gerakan tarekat akmaliyahnya. Beliau dituduh menipu murid-muridnya di Kebumen pada tahun 1890 M. Versi lain menyebutkan hal ini terjadi pada tahun 1866 M.

Atas tuduhan tersebut, beliau lalu ditangkap dan dibawa ke pengadilan. Kiai Nurhakim divonis hukuman kerja paksa di Banyuwangi selama empat tahun. Namun tidak beliau selesaikan semua masa empat tahun itu. Tak hanya sampai di situ, Kiai Nurhakim juga diadili kembali lantaran menjual karya-karya primbonnya ke berbagai daerah.

Menurut Steenbrink, terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan tersebut, sebenarnya ada upaya pelemahan dari gerakan Tarekat Akmaliyah di Banyumas.

Sekembalinya Kiai Nurhakim dari semua masa hukumannya, ia diharuskan tinggal di Kauman Purwokerto oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan agar beliau dapat diawasi semua kegiatannya.

Ada versi yang mengatakan bahwa Kiai Nurhakim pulang ke Pasir Wetan dan ada juga yang mengatakan bahwa ia bersembunyi di Cikakak Banyumas.

Pembatasan ini jelas sangat berdampak pada gerakan Tarekat Akmaliyah di Banyumas. Hingga pada akhirnya, sudah senyap suara mengenai gerakan tarekat ini. Tanto menyebutkan bahwa gerakan sosial keagamaan ini merupakan satu-satunya gerakan mesianisme yang pernah terjadi di Karesidenan Banyumas.

Meskipun ada beberapa tarekat lain yang masuk ke daerah ini pada masa itu, akan tetapi yang paling mashyur dalam perlawanan adalah tarekat Akmaliyah.

Di luar itu semua, dalam buku Sejarah Mentalitas Banyumas karya Prof. Dr. Sugeng Priyadi dijelaskan bahwa memang tabiat orang Banyumas cenderung suka melakukan pemberontakan.

Orang Banyumas menurut Prof. Sugeng dinilai sangat kritis terhadap para penguasa. Dan hal ini bisa dilihat dan dibuktikan dari berbagai peristiwa sejarah yang pernah terjadi di Banyumas seperti kisah Banyak Thole dan narasi sejarah lainnya.

Tinggarjaya, 9 Februari 2022

Tulisan sebelumnyaGelar Doa Bersama Untuk Desa Wadas, PWNU Jateng Sesalkan Tindakan Represif Aparat
Tulisan berikutnyaSD NU Master, Perkuat Karakter Siswa Lewat Pramuka

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini