Buku Membaca Sejarah Nusantara ditulis oleh Gus Dur pasca dilengserkan MPR dan kroninya. Ini menandakan idealisme Gus Dur yang tidak pernah mati, apalagi hanya sekadar masalah politik belaka. Melalui tulisannya ini, Gus Dur menawarkan narasi sejarah alternatif dari narasi yang sudah umum dipahami sebelumnya. Mau tidak mau, Sejarawan mesti tergugah untuk melakukan penelitian lanjut dari apa yang disampaikan oleh Gus Dur.
Interpretasi Sejarah
Dalam ilmu sejarah terdapat setidaknya empat tahapan penelitian sejarah, yaitu heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (seleksi data), interpretasi (penafsiran), dan historiografi (penulisan sejarah). Tulisan dalam buku Membaca Sejarah Nusantara karya Gus Dur ini lebih menitikberatkan pada interpretasi/tafsiran atas sejarah Nusantara.
Layaknya seorang Sejarawan, interpretasi yang dilakukan Gus Dur ini juga didasarkan atas temuan data baru yang sebagian berasal dari sumber lisan, juga sumber material. Misalnya seperti Prabu Brawijaya V, salah satu raja Majapahit, yang menurut Gus Dur adalah seorang Muslim. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Romo Bayan Ampel.
Tafsiran sejarah Gus Dur ini cukup berbeda dari narasi sejarah yang selama ini beredar, bahwa Majapahit merupakan kerajaan yang menganut agama Hindu-Buddha (Bhairawa). Namun Gus Dur tidak menjelaskan secara detail atas tafsiran tersebut, karena ini merupakan tugas para Sejarawan. Gus Dur hanya menyalakan sumbunya, Sejarawanlah yang akan menentukan kapan meledak dan tidaknya narasi alternatif ini.
Kritik dalam Kolom
Dalam banyak hal, Gus Dur selalu menyampaikan masukan dan kritik, tak terkecuali dalam tulisan-tulisannya ini. Gus Dur menaruh kritik terhadap Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di zamannya, misalnya. Ada pertentangan antara kubu “PKB murni NU (Nahdlatul Ulama)”, dengan “PKB inklusif”. Jika PKB ingin berkembang, menurut Gus Dur, maka ia harus menjadi partai yang terbuka, tidak ekslusif yang anggotanya hanya dari kalangan NU saja. Persatuan dalam hal ini, sangat dijunjung tinggi oleh Gus Dur dalam upaya konsolidasi kekuatan.
Gus Dur mengambil hikmah dari Perang Bubad antara Majapahit dengan Pajajaran. Perang ini terjadi karena adanya ketidakinginan dari kelompok Hindu murni. Kelompok ini menganggap jika Majapahit-Pajajaran bersatu (lewat jalur perkawinan), nantinya akan berdampak pada perluasan Bhairawa. Merasa terancam, kelompok ini menyalakan sumbu peperangan. Padalah, menurut Gus Dur, jika kedua imperium ini bersatu, kekuatannya hampir tak terkalahkan.
Catatan Harapan
Kepada para Sejarawan, Gus Dur meminta sikap aktifnya dalam menggali lebih dalam penelitian tentang penafsiran sejarah yang ditulisnya. Selain itu, para Sejarawan harus memiliki integritas dan kredibilitas agar sejarah yang ia tulis, dapat dipercaya oleh masyarakat luas. Para Sejarawan yang merangkap menjadi politisi, disarankan oleh Gus Dur untuk tidak berspekulasi/menafsirkan sejarah dikarenakan partai politik di Indonesia, dinilai belum memiliki kredibilitas yang tinggi dan sering tidak dipercaya oleh masyarakat luas.
Kepada pemangku kebijakan, Gus Dur berharap dalam membuat kebijakan, haruslah didasarkan atas sejarah kita sendiri sebagai bangsa. Artinya, harus ada kontekstualisasi dalam segala bidang. Misalnya dalam bidang pendidikan, kebijakan yang disusun mestilah harus bersangkut dengan kebudayaan asli bangsa, jangan didominasi oleh sistem pendidikan asing.
Gus Dur juga mengharapkan persatuan yang harmonis dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Setiap kisah sejarah pastilah memiliki hikmah. Hikmah yang relevan dengan kondisi bangsa Indonesia adalah membangun persatuan dan kesatuan agar menjadi kekuatan yang utuh.
Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Non-Pemerintah (Ornop), janganlah ketergantungan terhadap asing baik dari keuangan maupun program. Gus Dur mengambil contoh kisah Jaka Tingkir yang ingin menguasai kembali kerajaan Pajang (kemudian menjadi Mataram Islam).
Sebelum Jaka Tingkir menyerang Sultan Agung, ia bermimpi ditemui gurunya agar tidak menyerang Sultan Agung. Jaka Tingkir menurut, dan ia mendirikan peradaban sendiri di daerah yang masih menjadi kekuasaannya Sultan Agung. Ini menjadi tolok ukur kita sebagai bangsa dalam mendirikan peradaban sendiri yang maju, tanpa harus melawan pemerintah yang sah. Visi kebangsaan seperti ini, sangat sama dengan visi orang-orang NU.
Judul Buku : Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur
Penulis : Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Penerbit : LKIS, Yogyakarta
Tahun Terbit : 2016 (Cet. I)
Jumlah Halaman : xx + 134 Halaman