Dalam ngaji Misykatul Anwar malam rabu kemarin, Gus Ulil masih melanjutkan pembahasan mengenai citraan manusia yang berasal dari citraan Tuhan.
“Ashuratulinsiyyah aala shuratil al-Rahmani” Begitu tulis Al-Ghazali pada kitab Misykatul Anwar. Bahwa citraan manusia seperti pada citraan Ar-Rahman.
Mengapa Al-Ghazali bukan mengatakan aala shuratillah, seperti citraan Allah. Namun spesifik pada satu sifat yaitu Ar-Rahman, maha pengasih.
Kita tahu bahwa Allah mempunyai 20 sifat wajib dan 99 nama yang juga mengandung sifat atau karakter yang wajib kita imani.
Namun Al-Ghazali merumuskan bahwa sifat paling mendasar dari Allah yang menjadi unsur pembentuk diri manusia adalah unsur cinta kasih.
Ini hampir serupa dengan doktrin dalam kristen yang mengatakan bahwa manusia merupakan Imago Dei, segambar dan serupa dengan Tuhan. Maka oleh karena itu manusia selalu dituntut untuk berlaku cinta kasih.
Bisa juga dikatakan bahwa cinta kasih Allah yang menjadi sebab alam semesta ini diciptakan. Alam semesta ini sendiri merupakan wujud dari sifat ar-Rahman dari Allah.
Jika alam semesta ini merupakan makro kosmos atau jagad gedhe yang bisa kita indera, maka manusia merupakan sebuah jagad kecil atau mikro kosmos.
Konsep makrokosmos dan mikrokosmos ini sebenarnya sudah disampaikan oleh Plato, filsuf Yunani kuno dalam bukunya Republic.
Plato menggambarkan pola pengulangan yang sama pada setiap tingkatan kosmos. Mulai dari ukuran terbesar (makrokosmos atau tingkat semesta) sampai ukuran terkecil (mikrokosmos atau tingkat sub-sub-atomik atau bahkan metafisik).
Dalam sistem ini, penengahnya adalah manusia yang meringkas seluruh kosmos dalam bentuk yang paling ringkas dari tatatanan makrokosmos alam semesta.
Mengapa manusia disebut mikrokosmos? Karena Al-Ghazali mengatakan bahwa manusia merupakan ciptaan Allah dalam bentuk yang ringkas, kompak dan menyertakan semua unsur dan cara kerja alam di dalam dirinya.
Jadi meskipun manusia ini berbadan kecil, namun sesungguhnya dia memiliki keluasan dan kebesaran alam semesta dalam dirinya.
Gus Ulil kemudian teringat dengan sebuah kisah dalam dunia pewayangan tentang Bima dan Dewa Ruci. Kisah ini menjadi salah satu favorit dari Syekh Ahmad Mutamakkin, seorang wali yang dimakamkan di desa Kajen kabupaten Pati.
Mbah Mutamakkin merupakan salah satu penyebar agama Islam pada abad ke 18 di daerah Pati yang lebih suka mengajarkan agama Islam dari perspektif batiniah atau tasawuf.
Baca Juga : Aku Melihat Tuhan di Dalam Dirimu!
Cerita lengkap mengenai Mbah Mutamakkin ini bisa Anda baca dalam sebuah buku karya Zainul Milal Bizawie “Syekh Mutamakkin, Perlawanan Kultural Agama Rakyat” 2014.
Gus Ulil menceritakan tentang kisah Bima dan Dewa Ruci yang menceritakan tentang perjalanan Bima yang mendapatkan perintah oleh Durna untuk mencari air kehidupan.
Konon Bima diperintah Durna untuk menuju Hutan, dia menyibak seluruh hutan dan bertemu dengan dua raksasa Rukmuka dan Rukmakala.
Namun setelah bertarung dengan dua raksasa itu, mereka mengatakan pada Bima bahwa air kehidupan tidak ada di hutan ini.
Bima kembali pada Durna, kemudian Durna mengatakan bahwa air kehidupan ada di dasar Samudera. Bima pun nyemplung ke dasar samudera dan diserang oleh naga raksasa Nemburnawa.
Kelelahan akibat bertempur dengan naga, Bima yang ada di dasar samudera duduk tertegun hampir kehabisan napas.
Pada saat itulah muncul wujud kecil yang persis dengan bentuk Bima sendiri. Wujud kecil ini memperkenalkan diri sebagai Dewa Ruci.
Dewa Ruci mengatakan bahwa jika Bima ingin mendapatkan air kehidupan, maka dia harus masuk ke dalam diri Dewa Ruci melalui lubang telinga sang Dewa.
Bima pun heran, bagaimana saya yang besar ini bisa masuk ke tubuh kecil apalagi lewat lubang telinga. Namun akhirnya Bima menuruti apa kata Dewa Ruci.
Dalam diri Dewa Ruci, Bima melihat matahari, tanah, gunung, dan laut. Bima juga melihat lima warna yang empat daripadanya melambangkan hawa nafsu yaitu kuning, merah, hijau, dan hitam.
Sedangkan satu warna lain melambangkan ketenangan hati atau nafsul muthmainnah yaitu warna putih.
Ketika itu bima menyadari bahwa air kehidupan yang dimaksud ternyata ada dalam dirinya sendiri. Bahwa dengan menyelami diri sendiri maka Bima mampu menemukan sebuah ilmu tentang kesejatia, ngelmu kasunyatan.
Bima juga menyaksikan bahwa dalam dirinya ada rupa penampakan alam. Sebagai perlambang dari wujud manusia yang mengemas kompleksitas alam semesta.
Cerita Bima dan Dewa Ruci ini, menurut Gus Ulil, merupakan contoh bagi kita bahwa penggunaan simbol dan perlambang juga digunakan oleh para Ulama Jawa dalam menyampaikan ajaran agama Islam. Bahkan Al-Qur’an sendiri merupakan kitab yang penuh kalimat simbolik, dan harus dikaji dengan komprehensif tidak hanya dari makna harfiah kata per kata saja. (*)