
Oleh : Rujito, M.Sos.
Di sebuah ruang tamu yang sejuk di Banyumas, Senin siang itu (7/7/2025), dua dunia yang selama ini ‘berjalan terpisah’ bertemu dalam dialog hangat. Di satu sisi, Gramedia sebagai raksasa ritel buku nasional yang tumbuh di tengah hiruk-pikuk kota. Di sisi lain, Pondok Pesantren At-Taujieh Al-Islamy 2 Andalusia, lembaga pendidikan Islam yang mekar di tengah suasana religius desa. Keduanya berbincang dengan hangat: tentang buku, tentang masa depan santri, dan tentang kerja sama panjang yang bisa dibangun.
Percakapan itu bukan hanya tentang bazar buku. Meski rencana terdekatnya memang penyelenggaraan Bazar Gramedia di lingkungan pesantren pada 8–10 Juli 2025, menyambut kembalinya para santri—baik yang baru maupun lama. Lebih dari itu, dialog itu membuka pintu kolaborasi untuk misi yang lebih luas: mendekatkan dunia literasi ke dalam ruang-ruang belajar para santri.
“Abah (KH Zuhrul Anam Hisyam) itu hobi membaca. Dan, senang sekali kalau ada santrinya yang pandai menulis. Maka kami menyambut baik Gramedia untuk hadir bukan hanya sebagai penjual buku, tapi mitra dalam membentuk generasi Andalusia,” ungkap Ny. Hj. Rodliyyah Ghorro MZ., disela-sela perbincangan.
Untuk diketahui, Ning Diyah -sapaan akrab Ny. Hj. Rodliyah Ghorro- mengasuh pesantren mendampingi suami, KH Zuhrul Anam Hisyam. Seorang tokoh agama, memiliki ilmu yang luas, alumnus luar negeri, dai terkenal sekaligus kharismatik yang juga karib disapa Gus Anam. Saat ini, tak kurang 3.000 santri diasuh Gus Anam dan Ning Diyah.
Di tengah tantangan digitalisasi dan banjir informasi, pesantren memang perlu mengadopsi pendekatan baru dalam menanamkan kecintaan terhadap ilmu. Kolaborasi dengan pihak luar seperti Gramedia menjadi pintu masuk yang strategis. Gramedia pun tampak sangat siap menyambut peluang ini.
“Kami tidak ingin hanya menjadi toko buku. Kami ingin menjadi mitra tumbuh kembang anak-anak muda di berbagai tempat, termasuk pesantren,” jelas Febi Julia, Manager Store Gramedia Gelora Indah Purwokerto.
Baginya, mengunjungi Andalusia adalah semacam napak tilas—menemukan ulang fungsi sejati buku: sebagai jembatan perubahan dan inspirasi. Feby datang disertai Riza Savita dan Aji Pamungkas (supervisor). Mereka datang khusus untuk slaturahmi dan berbincang dengan Ning Diyah.
Dalam pertemuan itu, dibahas pula kemungkinan menghadirkan kelas literasi, pelatihan menulis, bahkan pendampingan klub baca santri di masa mendatang. Bagi Andalusia yang dikenal sebagai pesantren progresif, tawaran semacam ini sangat mungkin direalisasikan.
Kehadiran bazar buku hanyalah awal. Tapi dari awal yang kecil inilah harapan besar ditanam. Harapan akan santri yang tak hanya paham kitab, tetapi juga kritis, cakap membaca realitas, dan mampu menulis kembali dunia dalam bahasa mereka sendiri.
Di pesantren seperti At Taujieh Al Islamy 2 Andalusia, cahaya pengetahuan memang tak hanya datang dari langgar dan kitab kuning. Ia juga bisa datang dari rak buku, dari lembar demi lembar literatur yang membuka cakrawala, dan dari kerja sama lintas batas seperti ini.
Seperti kata Ning Diyah dalam satu momen kepada santri : “Saya dan Abah, bikin pesantren salah satunya ingin dunia ini (semua sektor) dikuasai para santri”.
*) Penulis adalah Pengajar Jurnalistik di Ma’had Aly Andalusia Kebasen, Dosen di UIN Saizu Purwokerto dan khidmah di ‘pesantren besar’ Nahdlatul Ulama Banyumas.