Adab, Ilmu, dan Kesalahpahaman tentang Pesantren

Oleh: Prof. Dr. Kholid Mawardi*

Beberapa hari terakhir, ruang publik kita diramaikan oleh polemik tayangan salah satu stasiun televisi nasional yang menggambarkan kehidupan pesantren dengan cara yang menyesatkan. Tayangan itu menyoroti santri yang “ngesot” di hadapan kiai, lalu memaknainya sebagai bentuk feodalisme dan ketundukan sosial.

Narasi semacam itu tidak hanya keliru, tetapi juga mengaburkan hakikat pesantren sebagai lembaga adab, ilmu, dan keikhlasan. Bagi masyarakat luar pesantren, perilaku santri yang menunduk dan berjarak dari kiai mungkin tampak berlebihan. Namun bagi warga pesantren, itulah cara mereka menata hati agar ilmu yang diterima berbuah berkah.

Pesantren bukanlah ruang hierarki sosial antara yang kaya dan miskin, melainkan ruang spiritual antara yang mengajar dan yang belajar. Di dalamnya, hubungan antara kiai dan santri bukan relasi kuasa, tetapi relasi ilmu.

Adab Sebelum Ilmu

Kitab Ta‘limul Muta‘allim karya Burhanuddin al-Zarnuji, yang telah diajarkan selama berabad-abad di pesantren Nusantara, menegaskan bahwa adab adalah syarat utama keberhasilan menuntut ilmu. Santri tidak hanya diajarkan membaca kitab, tetapi juga membaca dirinya—belajar menundukkan nafsu, melatih kesabaran, dan menanamkan rasa hormat kepada ilmu.

KH. Hasyim Asy‘ari dalam Adabul ‘Alim wal Muta‘allim menegaskan bahwa guru wajib mengajar dengan kasih sayang dan keikhlasan, sedangkan murid wajib beradab sebelum berilmu. Sementara Ahmad Syakir dalam Washoya berpesan agar penuntut ilmu menjauh dari ambisi harta dan kedudukan. Belajar bukan untuk berkuasa, tetapi untuk memperbaiki diri dan masyarakat.

Kiai Sebagai Penjaga Nilai

Dalam pandangan pesantren, kiai bukanlah “raja kecil” yang memerintah santrinya, melainkan penjaga nilai-nilai adab dan keikhlasan. Ia disebut waratsatul anbiya’ — pewaris para nabi. Kiai menjalankan fungsi pendidikan bukan karena mengejar materi, tetapi karena panggilan batin untuk menyalurkan ilmu yang telah diamanahkan.

Sementara santri, dalam seluruh kepatuhan lahiriahnya, bukanlah budak spiritual. Ia adalah thalibul ‘ilm, pencari ilmu yang rela menanggalkan kesombongan dunia agar cahaya pengetahuan bisa menembus hati. Apa yang sering disalahpahami sebagai “ketundukan” sebenarnya adalah latihan batin untuk meredam ego. Karena itu, sikap santri yang menunduk atau mencium tangan kiai tidak bisa dibaca dengan kacamata sosiologis Barat yang menekankan relasi kuasa.

Kekeliruan Perspektif Media

Sayangnya, sebagian media masih sering membaca pesantren dengan lensa sensasi. Kamera merekam gerak tubuh, tetapi tidak mampu menangkap getar adab di baliknya. Narasi yang lahir akhirnya memelintir makna: pesantren dianggap kolot, kiai dituduh feodal, santri dilabeli tunduk membabi buta.

Framing seperti itu bukan sekadar kesalahan jurnalistik, melainkan kegagalan memahami kebudayaan spiritual bangsa sendiri. Dalam konteks ini, media seharusnya berperan sebagai penghubung pemahaman, bukan penebar prasangka. Kritik tentu sah, tetapi harus dilandasi pengetahuan dan penghormatan terhadap tradisi yang dikritik.

Pelajaran dari Pesantren

Di tengah dunia yang gemar berdebat namun miskin keteladanan, pesantren mengajarkan pelajaran yang justru sangat modern: adab sebelum ilmu. Bahwa kecerdasan tanpa kerendahan hati hanya akan melahirkan kesombongan, dan ilmu tanpa keikhlasan hanya akan menjadi alat perebutan kuasa.

Santri belajar setiap hari untuk menundukkan diri, bukan kepada manusia, melainkan kepada kebenaran. Mereka mengulang tradisi ribuan ulama yang menjadikan ilmu sebagai jalan ibadah, bukan karier. Pesantren bukan warisan masa lalu, melainkan pelita moral bangsa. Ia akan terus menyala, meski sebagian orang gagal memahaminya.

*) penulis adalah Guru Besar Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora UIN Saizu Purwokerto, Pengasuh Pondok Pesantren Aswaja An-Nahdliyah Panembahan Banteran, Sumbang, Banyumas.

 

Tulisan sebelumnyaLAZISNU Banyumas Salurkan Rp110 Juta untuk 188 Guru Ma’arif Non-PNS

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini