SEBAGAI salah satu pusat kegiatan pendidikan, pesantren dinilai dapat memainkan perannya dalam pengembangan pertanian. Santri-santri pesantren bisa belajar mengelola lahan di sekitar pesantren yang biasanya berlokasi di pedesaan dan saat kembali ke masyarakat dapat mengamalkan dan menularkan ilmu agama dan ketrampilan bertaninya.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki ciri kekhasan tersendiri dan secara historis merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Pesantren sudah lahir jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan sejak Islam masuk ke Indonesia, pesantren terus berkembang sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan pada umumnya.
Peran ekonomi banyak dilakukan pesantren dengan segala pola adaptasinya. Salah satunya sebagai pusat pengembangan ekonomi kerakyatan atau ekonomi umat melalui pemberdayaan pertanian. Pondok pesantren menurut Mahduri (2002) bukan hanya sebagai lembaga pendidikan yang bergerak di bidang agama, melainkan sebagai lembaga pendidikan yang responsif akan problematika ekonomi di Indonesia.
Peranan pondok pesantren sebagai lembaga dakwah dan pendidikan Islam menjadi sangat krusial. Sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia masih menganggap pondok pesantren dengan kiainya sebagai referensi utama dalam kehidupan keberagaman dan kemasyarakatan.
Dengan potensi dan integritas pondok pesantren yang tinggi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, maka tidak ada salahnya strategi pengembangan ekonomi bisa dimulai dari pemberdayaan pesantren yang secara kuantitas dan kualitas memiliki semua yang dibutuhkan dalam akselerasi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Dalam hal kuantitas, setidaknya jumlah pondok pesantren di Indonesia tersebar hampir disetiap penjuru Tanah Air. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, pada tahun 2016 terdapat 28,194 pesantren yang tersebar baik di wilayah kota maupun pedesaan dengan 4,290,626 santri. Data ini sangat potensial untuk dikembangkan konsep pertanian berbasis pesantren.
Hal ini tidak terlepas dari perubahan zaman yang begitu pesat, sehingga pondok pesantren harus melakukan transformasi dalam pendidikannya agar tetap aktif di masyarakat. Pondok pesantren tidak hanya membina para santri dengan bekal ilmu agama, namun keterampilan dan pelatihan wirausaha di bidang pertanian di pondok pesantren juga sudah mulai diterapkan.
Dengan tradisi yang kuat melekat dalam pola pendidikan pesantren, bubungan masyarakat perdesaan dengan tradisi pesantren dapat terjalin secara mesra, sehingga sangat logik bila sistem pendidikan pesantren dapat diterima oleh masyarakat. Kondisi demikian menjadikan peran pesantren menjadi amat penting dalam menumbuhkan nilai-nilai keagamaan tradisional dalam perilaku sosial dan moral masyarakat serta konten pendidikan ketrampilan seperti pertanian.
Saat ini telah terjadi perubahan paradigma dalam tubuh pesantren. Pondok pesantren berusaha mengubah masa depan pesantren, bukan hanya mampu memproduksi kyai, da’i, ahli hadis, dan pembaca kitab kuning, namun lebih dari itu, dengan perantara jalur pendidikan mampu menghasilkan sumber daya manusia yang berpengetahuan luas, menguasai segala bidang ilmu pengetahuan dan mampu menyatukan ilmu-ilmu agama dengan ilmu umum yang menyangkut kehidupan masyarakat.
Cara-cara pembelajaran yang menarik, kreatif, inovatif dan demokratis akan sangat efektif untuk membentuk watak dan karakter santri juga terkait dengan kecerdasan emosional serta ketrampilan yang menunjang. Dengan demikian, pada setiap program pembelajaran tujuannya tidak hanya untuk mencapai nilai dan prestasi akademik semata, melainkan juga diarahkan untuk mampu menguasai ketrampilan sesuai dengan problematika yang dihadapi masyarakat.
Baca Juga : Barangkali Kita Perlu Menyendiri dan Menyepi
Mengaji sambil belajar bertani
Alternatif yang sangat mungkin dilakukan diantaranya adalah peningkatan program pendidikan di pondok pesantren yang berdiri di sekitar areal pertanian dengan memasukkan agribisnis sebagai salah satu program pembelajaran bagi para santrinya.
Pembelajaran agribisnis ini dapat meliputi budidaya komoditas pertanian termasuk perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan, penanganan pasca panen termasuk pengolahan hasil panennya sehingga menghasilkan produk olahan, produksi peralatan pertanian, dan mengenai pemasaran serta kewirausahaan.
Setelah lulus, para santri diharapkan akan menjadi center of gravity dari masyarakatnya. Di samping pandai ilmu agama, dalam konteks hablumminannas, memiliki ilmu pengetahuan untuk di transfer knowledge tentang pemberdayaan pertanian sehingga regenerasi petani juga dapat berjalan.
Para santri perlu dibekali dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), agar dapat menjawab berbagai masalah yang terjadi di masyarakat seperti pemberdayaan masyarakat, pengentasan kemiskinan, pembangunan karakter yang jujur, berkhlak mulia, motivasi tinggi, tahan malang serta cerdas dan kreatif.
Menurut Kartasasmita (1995) memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat melalui dua tahap. Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya membengun daya itu, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering).
Memang, pesantren bukanlah lembaga yang membicarakan ekonomi khususnya pertanian agribisnis secara intensif, namun perubahan masyarakat yang menjadikan ekonomi sebagai aspek dominan ikut mempengaruhi dinamika kehidupan pesantren. Aspek ekonomi menjadi bagian penting dalam pesantren sebagai lembaga penggerak ekonomi desa, bukanlah suatu yang mustahil, namun perlu selektif dengan mempertimbangkan kondisi dan kemampuannya. Usaha ini dapat dipercepat melalui penetrasi pihak pemerintah dan swasta berupa kebijakan dan bantuan, pengkayaan kurikulum, pemberian keterampilan, pendampingan, bantuan dana.
*)Aktif di Forum Silaturahmi Mahasiswa PascaSarjana NU, UGM