Cerita ini terjadi sekitar tahun 2014, atau pada masa awal-awal PAC IPNU Kecamatan Cilongok diketuai oleh Yanuar Reza. Berlatar di kantor Majlis Wakil Cabang (MWC) NU Cilongok, yang juga digunakan sebagai sekretariat rekan-rekanita IPNU-IPPNU.
Saat itu selepas rapat membahas program kerja, kita masih ada empat anak yang memilih untuk ‘jagongan’ dan menghabiskan ‘medangan’ terlebih dahulu dari pada pulang seperti teman-teman lainnya.
Waktu masih belum sore, dan adzan asar belum juga berkumandang, empat anak tersebut masih menikmati sebatang kretek. Ada Kang Dedi, Kang Isro, Gus Fairus dan saya sendiri.
“Ada dang garam, dang goreng tapi kok gak ada dang kopi bro, serasa ada yang kurang,” celetuk saya kala itu.
“Iya ni, anta sekali,” sahut Gus Fairus.
“Gawe kopi lah gawe kopi,” icap Kang Dedi.
Mendengar kalimat perintah tersebut saya langsung bergegas ke ruang sebelah, dan tak lama kemudian kembali ke ruang kami ngobrol tadi.
“Aku sudah nyalain dispenser Kang Isro, giliran njenengan yang bikin kopi,” sambil mesem-mesem saya berkata seperti itu.
“Kampret, kenapa ngga sekalian,” sahut Kang Isro, diiringi gelak tawa teman-teman lain.
Baca Juga :Â Abah Kiai Wonten?
“Ya sudah sana Kang, masih ada kopi prau geni tadi di dekat dispenser,” sahut saya seraya melirik kepada Kang Isro.
Dengan muka agak kesalnya, Kang Isro berdiri dan melaksanakan tugas bikin kopi sebagai pelengkap ‘juguran’ kala itu.
Beberapa menit kemudian…
Kopi selesai dihidangkan dihadapan kita, masing-masing mendapat jatah satu gelas.
“Srupuuuuutttt,” suara kopi menyentuh bibir mereka.
Namun wajah mereka tampak tidak menikmati kopi bikinan Kang Isro.
“Kok aneh rasanya,” seru Kang Dedi.
“Hehehe… Iya itu kopi tiga saset, aku bagi empat,” celoteh Isro sambil cengengesan.
Usut punya usut, saking kreatif dan keluguannya, Isro menghitung jumlah kepala tidak melihat jumlah kopi yang tersedia, tidak hanya itu airnya pun satu gelas penuh semua.
Lantas mereka bergegas pulang meninggalkan gelas kopi yang masih penuh.
Penulis : Khafid Sya’bani