Tahun Baru Islam: Dari Pawai Obor ke Muhasabah

Tahun Baru Islam: Dari Pawai Obor ke Muhasabah

Di banyak sudut desa dan kota, malam 1 Muharam kini tak lagi gelap dan sepi. Obor dinyalakan, selawat dikumandangkan, dan langkah kaki anak-anak membentuk iring-iringan cahaya yang menyusuri jalan.

Pawai obor menjadi lambang semangat baru, bukan hanya menandai pergantian tahun dalam kalender Hijriah, tetapi juga menyalakan kesadaran umat Islam bahwa kita punya cara sendiri dalam merayakan waktu: dengan zikir, syukur, dan muhasabah.

Perlahan tapi pasti, Tahun Baru Islam mulai mendapatkan tempat di hati umat. Tidak lagi sekadar tanggal yang lewat begitu saja. Kini, 1 Muharam dirayakan dengan berbagai kegiatan bermakna, istighosah, pengajian, gebyar sholawat, hingga santunan. Momen ini menjadi ruang bersama untuk mempererat ukhuwah, meneguhkan iman, dan merenungkan kembali arah hidup.

Karena sejatinya, pergantian tahun bukan hanya soal angka. Ia adalah panggilan untuk berhenti sejenak, menoleh ke belakang, menghitung amal, dan menimbang laku. Apakah setahun terakhir kita lebih banyak mendekat atau justru menjauh dari Allah? Apakah langkah kita sudah benar, atau masih tertatih dalam keraguan dan kelalaian?

Rasulullah saw. pernah memberikan perumpamaan indah tentang pribadi mukmin:

“Sesungguhnya perumpamaan orang mukmin adalah seperti lebah; ia memakan yang baik, mengeluarkan yang baik, dan jika hinggap di ranting, ia tidak merusaknya.”
(HR Ahmad, Hakim, dan al-Baihaqi)

Seorang mukmin idealnya seperti lebah: selektif terhadap yang halal, lembut dalam bersikap, dan selalu memberi manfaat. Dalam konteks Tahun Baru Islam, ini menjadi pesan kuat bahwa pertambahan usia harus seiring dengan peningkatan kualitas diri, baik dalam akhlak, ibadah, maupun kontribusi sosial.

Namun, di tengah kesibukan dunia, sering kali kita terlena. Bekerja siang malam demi memenuhi kebutuhan hidup, tetapi melupakan panggilan langit. Kita mengejar dunia seolah-olah ia segalanya, padahal dunia ini fana, dan akhiratlah yang abadi. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah mengingatkan:

“Dunia itu ibarat bayangan. Jika kau kejar, ia akan lari. Tapi jika kau palingkan badanmu, maka ia akan mengikutimu.”

Maka, tempatkan dunia di tangan, bukan di hati. Jadikan ia alat, bukan tujuan. Fokuslah pada bekal akhirat: salat yang khusyuk, akhlak yang mulia, dan amal yang terus mengalir. Karena pada akhirnya, yang abadi bukanlah rumah, jabatan, atau harta, melainkan amal dan keikhlasan.

Syekh Hasan al-Bashri bahkan membagi dunia menjadi tiga hari:

“Kemarin telah berlalu dan tak bisa kembali, esok belum tentu kau temui, dan hari ini adalah kesempatanmu berbuat kebaikan.”

Maka, jangan tunda perubahan. Jangan tunggu waktu “yang tepat” untuk berhijrah. Waktu terbaik adalah sekarang, saat api obor masih menyala di hati, saat gema takbir masih terasa di udara. Gunakan momen ini untuk memperbaiki niat, menata langkah, dan memperkuat ikatan dengan Allah dan sesama.

Tahun Baru Islam adalah momentum, bukan hanya perayaan simbolik, tetapi juga titik balik spiritual. Ini adalah ruang untuk berhijrah: dari kelalaian menuju kesadaran, dari rutinitas menuju keikhlasan, dari keraguan menuju iman yang mantap.

Mari sambut 1 Muharam bukan sekadar dengan sorak-sorai, tetapi dengan hati yang terang. Bukan hanya dengan langkah kaki dalam pawai, tetapi juga dengan langkah batin dalam perenungan. Agar tahun yang baru benar-benar menjadi awal yang baru: penuh berkah, makna, dan keberanian untuk menjadi Muslim yang lebih baik.

Muhammad Shodiq Ma’mun, S.Sos.
Penyuluh Agama Islam Kecamatan Ajibarang

Tulisan sebelumnyaPERGUNU Banyumas Gelar Kajian Kitab Klasik untuk Tingkatkan Kompetensi Guru NU

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini