TUK tuk tuk tuk… Tidak ada yang asing dengan bunyi suara ketukan yang biasanya terdengar jelang subuh itu. Ya, itu adalah suara ketukan itu amat dikenali para santri di pondok pesantren perbatasan dua kabupaten itu.
“Ayo bangun, ada Abah Idrus,” begitulah kata seorang santri senior kepada santri baru. Namun bagi yang sudah lama, mereka akan langsung bangun ketika mendengar ketika tongkat tanda sang pengasuh pesantren itu berjalan. Meski sang abah tak sampai membangunkan mereka namun para santri yang sudah terbiasa, akan langsung bangun terlebih dulu usai mendengar itu.
Meski terbilang jarang sang pengasuh menggunakan tongkatnya, namun setiap santri pasti sangat ingat pada suara tongkat khas dari sang abah. Apalagi nasihat cerita dari para senior santri selalu turun menurun disampaikan.
“Dengarkan Kang itu suara tongkat Abah. Ayo cepat bangun. Waktu subuh sudah tiba, ” jelas santri ke santri yang enggan bangun.
Baca Juga : Sekawanan Sriti itu Terbang Mengitari Kubah Masjid….
Ingatan suara tongkat itupun sangat dikenang oleh Faiz. Meskipun hanya tiga setengah tahun ia mondok di pesantren itu. Namun kenangan itu tak akan pernah terlupakan. Ketika mendengar bunyi ketukan tongkat itu, ia akan terbayang wajah yang sejuk, namun punya sisi lain yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Kepada siapapun sang Abah akan menghormati tetapi juga tak takut pada siapapun.
Laa khoufun ‘alahim walaa hum yahzanuun…
***
Selama nyantri selama tiga tahun, Faiz memang terbilang biasa-biasa saja. Bahkan bisa dibilang santri yang jarang ngaji, tepatnya sering malas mengaji. Beberapa kali ia malah ngumpet di toilet. Namun karena merasa tak pandai mengaji makan ia memilih untuk sering berada di ‘ndalem’ untuk melayani keluarga sang Abah.
Di saat santri lain mengaji, ia rela untuk menanak nasi di dapur atau melakukan pekerjaan lainnya. Atau kalau tak melakukan pekerjaan rumah tangga, ia akan ikut momong para putra putri atau cucu sang Abah. Ah entahlah bisa begitu, pikirnya.
Ia pun salut dengan santri lainnya yang terbilang mahir menghafal nadzom, aurod, rotib hingga kitab yang diajarkan para ustadz di pesantren ini. Sebagai santri yang baru mondok saat usia Aliyah, ia merasa bukanlah siapa-siapa. Apalagi ia hidup di desa tempat pesantren ini berdiri. Ya, mondok tetapi merasa tak mondok, karena setiap saat bisa saja pulang ke rumah. Sang kakak dan adikku ternyata alumni pondok ini.
Baca Juga : Pesan Ke-tiga dari Sang Habib
Namun ia berkeyakinan dengan mondok ia tetap mendapatkan berkah dari sang guru. Kalau tak pintar mengaji waktu nyantri, ia yakin dengan mengabdi kepada sang guru dan keluarganya, ia bisa mendapatkan barokah dalam hidup.
***
Selama mondok di pesantren itulah ia mendapatkan berbagai cerita tentang keistimewaan sang guru. Abah begitu sang guru disapa selalu dinaungi banyak cerita yang luar biasa.
“Waktu di Lampung, ada sang murid yang menyaksikan sendiri Abah sedang wirid di atas batu. Dan anehnya pada saat air pasang, ombak itu yang datang itu menyibak sendiri tak mengenai tubuh sang guru yang sedang khusyuk berdzikir, ” kata Kang Santri yang entah lupa siapa namanya.
Baca Juga : Ternyata Sang Pemberi Nama Al Mudawamah itu…
Memang wilayah dakwah sang Abah tidak hanya di Jawa saja tetapi lintas pulau khususnya Sumatera. Di waktu muda gaya dakwah sang Abah terbilang cukup keras, blak blakan hingga menjadi sorotan rezim pemerintah. Apalagi ia juga menjadi aktivis partai politik Islam sewaktu orde Baru berkuasa. Terhadap kemunkaran atau ketidakadilan sang abah terbilang cukup tegas.
Jauh di masa yang digital telah merubah kehidupan, cerita-cerita istimewa dari sang abah juga diceritakan oleh para seniornya. Pernah diceritakan oleh santri dan orang lain, yang merasa heran karena di satu waktu, sang habib mengisi ceramah pengajian di tempat berbeda.
Entahlah banyak hal yang di luar nalar yang melingkupi sang guru, padahal sebagai santri yang belum lama ia hanya bisa berkesempatan menyaksikan sang guru selama satu setengah tahun saja.
Ia pun heran ketika saat teman santri yang berasal dari Bekasi mengalami kejadian yang misterius pada malam sehari sang abah meninggal dunia. Sang murid mendengar dengan jelas mendengar suara sang Abah sedang berdzikir di ndalem dekat asrama. Padahal siangnya sang guru baru saja dimakamkan. Ah entahlah. Yang penting sebagai santri, sepeninggal sang guru, ia akan mengabdi dan takdzim pada putra-putrinya.
Baca Juga : Lepasnya Burung Kesayangan Pak Lurah
***
Dua tahun sejak lulus Aliyah, kini Faiz berusaha untuk menuntut ilmu di pesantren Ma’had Ali di Cirebon. Kini iapun bersama dengan keluarga sang Abah tepatnya dengan salah satu syarifah putri Abah.
“Berkaca saat mondok dulu, makanya saya ingin cari pengalaman di pesantren di Cirebon ini. Sekaligus ngalap berkah pada keluarga Abah, ” katanya.
Dua bulan ini aktivitas pesantren dan kuliah di pesantren Cirebon sempat rehat sejenak. Semua dilaksanakan secara daring sehingga ia berkesempatan untuk pulang ke kamling halaman tempat pesantren sang Abah berdiri. Apalagi akhir Rajab ini, juga ada pengajian Isra Miraj sekaligus Haul Habib Ja’far Al Habsyi yang merupakan ayah dari sang Abah gurunya.
Ya, sebagai santri memang banyak pelajaran yang dia dapatkan sekaligus ia lupa. Namun ada hal yang masih berkesan di pikirannya. Ia masih ingat pesan dan wejangan dari sang Abah yang rutin memberikan tausiyah kepada santri.
“Santri itu harus bermanfaat, jadi apapun di manapun dan kapanpun, ” kata sang Abah sebagaimana ia selalu mengingat bunyi ketukan tongkat sang Abah menjelang waktu subuh. (Susanto-)
[…] Baca Juga : Suara Tongkat Abah […]