Mekkah, nubanyumas.com – Alhamdulillah, jemaah haji 2023 sudah menyelesaikan rangkaian puncak haji dengan beragam ujian.
Tenda Arafah yang sempit, jatah makan yang telat, penjemputan yang terlambat, dan jarak tenda Mina dengan Jamarat yang jauh.
Semua itu adalah bagian kecil dari ujian ibadah haji.
Meski persoalan mismanajemen tak bisa disebut ujian.
Karena seharusnya Arab Saudi bisa berbuat lebih baik jika mau.
Namun tampaknya Arab Saudi tak pernah belajar dari pelaksanaan haji sebelumnya karena mereka hanya ingin mengejar jumlah jemaah yang tinggi.
Baca Juga : Ini Alasan Mengapa Transportasi Selama Armuzna 2023 Banyak Terlambat!
Maklum, mereka butuh pemasukan negara karena stok minyak semakin menipis.
Perang dengan Yaman juga membuat APBN mereka kembang kempis.
Maka, menambah kuota jemaah haji tanpa meningkatkan kualitas pelayanan adalah solusi cepat.
Tapi bagaimanapun, atas ridha Allah SWT jemaah haji 2023 semua bisa mempunyai kekuatan untuk melampaui itu semua.
Namun stelah melampaui puncak haji, sebagian besar jemaah merasa dirinya sudah menyempurnakan rukun Islam.
Tapi apa iya? Ga bahaya ta?
Apa yang berbahaya dari merasa sempurna? Adalah memandang orang lain belum atau bahkan tidak sempurna.
Beberapa minggu kemudian kita akan melihat pemandangan baru berupa orang yang memakai peci putih atau mukena putih lebar berjalan menuju masjid.
Lalu ada serombongan orang bersilaturahmi sembari berharap berkah dan oleh-oleh pada mereka yang baru kembali dari menunaikan ibadah haji.
Selanjutnya adalah beberapa orang akan enggan menoleh apabila dipanggil namanya tanpa didahului oleh kata “haji”. Astaghfirullah.
Mengapa istighfar? Karena fenomena ini lazim ditemui di sekitar kita.
Baca Juga : Temu NU Sedunia ke 21 Kembali Digelar di Arab Saudi
Para haji baru ingin menampilkan pasca hajinya dengan peci putih di masjid dan duduk di shaf depan.
Kemudian orang-orang akan menyalaminya dan menyapa “Wah pak haji rajin sekali ke masjid!”
Sesungguhnya ini adalah awal dari ujian ibadah haji.
Karena menurut Ali Syariati, ibadah haji seharusnya memberikan dampak personal bagi setiap yang melakukannya.
Bukan malah mencari pujian, namun harus meleburkan egonya dalam permasalahan umat.
Sebagaimana meleburnya mereka bersama umat muslim lain dalam putaran thawaf.
Sebagaimana berbaurnya jemaah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina.
Tentu mengadakan pertemuan rutin ngaji bulanan dengan teman satu rombongan atau satu kloter itu bagus.
Namun apakah mampu memberikan dampak yang luas bagi umat muslim?
Atau jangan-jangan itu hanya cara untuk membentuk satu kelompok eksklusif baru.
Kelompok yang ingin tampil lebih sholeh dan lebih islam karena beranggotakan para haji.
Ingat, jika setelah sholat kita tidak memakai titel S. Mengapa setelah haji kita memakai titel H?