Baju lebaran untuk anak-anak kecil ini bukan hanya tradisi, tapi memang ada sanadnya. Sebagaimana dijelaskan oleh An-Naisaburi dalam kitabnya Al-Amali, yang diriwayatkan oleh Ibn Syahr dari al-Ridha. Jadi, dulu di zaman Nabi SAW, Sayiddina Hasan dan Husein pernah bertanya kepada ibunya, Sayiddatina Fatimah. Kenapa mereka tidak punya baju baru seperti teman-temannya saat mau lebaran.
Sebagai ibu, Fatimah tentu sedih hingga menitikkan air mata karena tidak ada uang untuk membelikannya. Fatimah terpaksa berbohong dan berucap bahwa baju mereka (Hasan dan Husein) masih di tukang jahit alias belum jadi.
Di tengah kesedihan sebagai seorang ibu yang tentu ingin membahagiakan anak-anaknya, tiba-tiba pintu rumah Fatimah diketuk oleh seorang tamu yang mengaku sebagai penjahit. Tamu itu kemudian memberinya sebungkus hadiah berupa baju baru untuk Hasan dan Husein. Layaknya anak-anak pada umumnya, Hasan dan Husein sangatlah senang karena punya baju baru untuk lebaran.
Tak lama berselang, Nabi SAW datang ke rumah putrinya, Fatimah. Fatimah bercerita akan kejadian yang barusan terjadi. Nabi mengatakan bahwa yang barusan datang adalah Malaikat Ridwan, malaikat penjaga pintu surga.
Baca Juga : Kuasa Tidak Pernah Puasa
Ada kisah lain. Saat lebaran, Nabi melihat ada anak kecil yang menangis. Lalu ditanya kenapa menangis. Anak kecil itu menjawab bahwa dirinya tidak punya ayah, sehingga tidak seperti teman-temannya saat lebaran bisa bermain bersama keluarganya. Ayahnya meninggal saat ikut perang bersama Nabi dan ibunya sudah menikah dengan pria lain. Saat itu juga, anak tersebut diangkat menjadi anak Nabi SAW dan diberi baju lebaran seperti teman-temannya.
Kisah-kisah di atas mengandung makna bahwa momen lebaran adalah momen paling ditunggu-tunggu anak kecil. Mereka memimpikan untuk bisa memakai baju baru. Siapa yang bisa memenuhi keinginan anak-anaknya atau anak yatim dengan membelikan baju baru, pasti akan mendapatkan pahala besar. Tentu sesuai dengan kemampuan dan jangan berlebihan.
Dan perlu diingat, jangan jadikan baju baru ketika hari raya sebagai alat kesombongan. Apalagi hanya untuk memamerken harta dan jabatan. Karena esensi dari Idul Fitri diri adalah hati kita kembali bersih, suci dan taatnya nafsu kepada Allah. Jadi jangan kotori dengan hal-hal yang sebaliknya. Sehingga kita bisa kembali ke fitri.(*)
Penulis : Farid Dimyati
Editor : Dini Rahmat Aziz