Remunerasi Tinggi, Kuorum Rapat Rendah: Paradoks DPRD Banyumas

Menguji Kewajaran Rp27 Miliar Setahun untuk DPRD Banyumas di Tengah Defisit Anggaran dan Krisis Kepercayaan Publik

Penulis: Muhammad Arief Albani

Secara ringkas dan mudah, analisis ini mengenai urgensi dan kewajaran hak keuangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Banyumas yang diidentifikasi mengalami disproporsionalitas penghasilan mereka yang mencapai kisaran 36 juta rupiah hingga 45 juta rupiah per bulan. Sebuah angka yang jauh melampaui Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan memicu kritik publik. Analisis ini menguji apakah besaran remunerasi tersebut sejalan dengan kinerja legislatif yang diharapkan dan kondisi keuangan daerah.

Paradoks yang Kompleks

Penghasilan anggota dewan tidak hanya berupa gaji pokok, melainkan akumulasi dari berbagai tunjangan yang besarnya ditetapkan berdasarkan regulasi. Terdapat perbedaan data yang mencolok dari berbagai sumber publik, mengindikasikan kurangnya transparansi dan konsistensi informasi. Di sisi lain, anggota dewan mengklaim bahwa penghasilan tersebut tidak mencukupi, terutama karena adanya kewajiban iuran wajib ke partai politik dan pengeluaran insidental yang tinggi untuk masyarakat.

Kita masyarakat Banyumas juga perlu obyektif melihat kinerja yang ambivalen dengan besaran anggaran yang mereka terima. Terdapat pencapaian formal yang patut diapresiasi, seperti penyelesaian 90% target Peraturan Daerah (Perda) pada tahun 2023 dan perolehan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama 14 tahun berturut-turut. Namun, capaian ini berbanding terbalik dengan masalah internal, seperti kuorum rapat yang sering tidak tercapai, serta kritik publik yang intens terkait kualitas pelayanan dan fungsi pengawasan.

Beban Fiskal yang Signifikan juga perlu kita perhatikan. Bahwa alokasi anggaran untuk remunerasi DPRD, yang diperkirakan mencapai 27 miliar per tahun, merupakan beban tetap yang substansial. Angka ini setara dengan hampir 3% dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Banyumas. Kondisi ini menciptakan ketidakseimbangan struktural, terutama di tengah realitas PAD yang belum optimal dan adanya defisit anggaran daerah.

Perlu adanya reformasi sistem remunerasi agar lebih berbasis kinerja dan akuntabilitas, serta peningkatan transparansi. Langkah strategis untuk mengoptimalisasi PAD dan memperkuat peran pengawasan publik juga dianggap krusial untuk memulihkan kepercayaan masyarakat dan menciptakan tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan berkelanjutan.

Hak Keuangan Legislatif dan Tuntutan Akuntabilitas Publik

Hak keuangan yang diterima oleh anggota legislatif, baik di tingkat nasional maupun daerah, secara konsisten menjadi topik perdebatan publik. Isu ini tidak hanya sebatas persoalan teknis alokasi anggaran, melainkan cerminan fundamental dari prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), yaitu akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi birokrasi. Dalam konteks otonomi daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki peran sentral sebagai perwakilan rakyat yang menjalankan tiga fungsi utama ; legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Oleh karena itu, penghasilan yang mereka terima harus proporsional dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik.

Pada sebuah portal media online di Purwokerto, masyarakat disuguhkan sebuah catatan bagus yang bisa menjadi informasi kepada masyarakat. Laporan pada portal media online itu secara spesifik mengkaji DPRD Kabupaten Banyumas, yang menjadi sorotan media dan masyarakat karena besarnya penghasilan yang jauh melebihi Upah Minimum Kabupaten (UMK). Kesenjangan finansial ini telah memicu pertanyaan mendasar tentang urgensi dan kewajaran remunerasi tersebut, terutama jika dibandingkan dengan kondisi sosial-ekonomi mayoritas warga Banyumas dan kinerja pelayanan yang diberikan oleh para wakil rakyat.

Penghasilan anggota DPRD memang diatur secara berjenjang. Secara nasional, acuan utama adalah Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tentang hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPRD. Besaran tunjangan kemudian ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan kemampuan keuangan daerah, yang dituangkan dalam Peraturan Bupati (Perbup). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa hak keuangan pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Banyumas mulanya diatur dalam Perbup Banyumas Nomor 66 Tahun 2017. Namun seiring berjalannya waktu, regulasi ini mengalami penyesuaian. Perbup Banyumas Nomor 9 Tahun 2024 merupakan Perubahan Kelima atas Perbup Nomor 66 Tahun 2017, sebuah fakta yang menunjukkan bahwa sistem remunerasi ini bersifat dinamis dan terus-menerus disesuaikan.

Secara umum, penghasilan anggota DPRD Kabupaten Banyumas terdiri dari berbagai komponen, termasuk gaji pokok dan beragam tunjangan. Terdapat variasi data yang signifikan mengenai besaran tunjangan, yang mungkin disebabkan oleh perbedaan waktu penetapan atau sumber informasi. Sebagai contoh, Tunjangan Komunikasi Intensif dilaporkan sebesar Rp14,7 juta di satu sumber, namun di sumber lain angkanya Rp10,5 juta. Demikian pula dengan Tunjangan Reses, yang disebut sebesar Rp14,7 juta per pelaksanaan reses , tetapi di sumber lain tercatat Rp2,625 juta per bulan.

Terlepas dari variasi detail, total penghasilan anggota DPRD Kabupaten Banyumas secara konsisten diperkirakan berada di kisaran 36 juta rupiah hingga 45 juta rupiah per bulan, sudah termasuk potongan pajak penghasilan. Angka ini hampir 19 kali lipat dari Upah Minimum Kabupaten (UMK) Banyumas, sebuah fakta yang menjadi titik utama kritik publik.

Ironisnya, di tengah sorotan publik atas besaran penghasilan ini, terdapat pernyataan dari seorang anggota DPRD yang mengklaim bahwa jumlah tersebut “kurang” atau “ora cukup, Mas”. Alasan di balik klaim ini bersifat struktural dan sosial, bukan sekadar kebutuhan personal. Dua faktor utama yang disebutkan adalah :

Iuran Wajib ke Partai Politik ; Anggota dewan memiliki kewajiban untuk menyetor iuran wajib kepada partai mereka. Nominal iuran ini bervariasi, namun beberapa partai dilaporkan menetapkan iuran minimal sebesar 20% dari penghasilan.

Pengeluaran Insidental di Masyarakat ; Para anggota dewan juga harus mengeluarkan dana besar untuk kegiatan di masyarakat, seperti sumbangan untuk acara keagamaan (Maulidan, Rajaban) dan kemasyarakatan (17 Agustusan, Syawalan), serta biaya operasional untuk tim pendukung mereka.

Klaim ini memunculkan pemahaman bahwa sistem politik dan tuntutan sosial menciptakan beban finansial yang signifikan, yang pada akhirnya digunakan untuk membenarkan tingginya gaji dan tunjangan. Jika remunerasi diturunkan tanpa mereformasi sistem iuran partai dan pola interaksi sosial-politik, anggota dewan mungkin akan mencari sumber pendanaan lain, yang berpotensi membuka celah korupsi.

Berikut adalah rincian perkiraan gaji dan tunjangan anggota DPRD Kabupaten Banyumas berdasarkan data yang tersedia, meskipun terdapat variasi antar-sumber.

Komponen Penghasilan Anggota DPRD (Perkiraan) :

  • Gaji Pokok | Rp2.100.000
  • Uang Representasi | Rp1.575.000
  • Tunjangan Jabatan | Rp2.283.750
  • Tunjangan Keluarga | Rp220.000
  • Tunjangan Beras | Rp289.000
  • Uang Paket | Rp157.000
  • Tunjangan Alat Kelengkapan Dewan | Rp91.350
  • Tunjangan Perumahan | Rp8.500.000 – Rp12.000.000
  • Tunjangan Transportasi | Rp8.500.000 – Rp12.000.000
  • Tunjangan Komunikasi Intensif | Rp10.500.000 – Rp14.700.000
  • Tunjangan Reses | Rp2.625.000 – Rp14.700.000
  • Total Estimasi (bulanan) | Rp36.000.000 – Rp45.000.000

Adanya konflik data dan regulasi yang terus berubah menunjukkan bahwa informasi publik mengenai hak keuangan dewan tidak sepenuhnya transparan dan mudah diakses. Ketidakjelasan ini berpotensi merusak kepercayaan publik dan memperkuat stigma negatif. Tanpa kejelasan yang obyektif, masyarakat tidak dapat menilai secara adil apakah penghasilan yang diberikan sepadan dengan tanggung jawab yang diemban. Fenomena ini juga menunjukkan bahwa remunerasi tinggi, meskipun sah secara hukum, tidak serta-merta menjamin kepuasan finansial bagi anggota dewan itu sendiri karena adanya beban non-legislatif yang harus mereka tanggung.

Sepanjang tahun 2023, dewan mengklaim telah menyelesaikan 90% dari target Peraturan Daerah (Perda), sebuah produktivitas yang patut diapresiasi, terutama di tengah tahun politik yang sibuk. Namun, capaian ini juga diwarnai oleh tantangan, seperti pembahasan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang masih menjadi “PR” karena kompleksitasnya, yang melibatkan kepentingan banyak pihak dan risiko hukum yang berat. Selain itu, laporan internal juga menyoroti masalah kuorum yang seringkali sulit tercapai dalam beberapa rapat paripurna , sebuah fakta yang menjadi kontradiksi langsung terhadap klaim kinerja tinggi dan menandakan potensi masalah dalam efektivitas proses legislasi.

Dalam fungsi pengawasan dan anggaran, terdapat indikator kinerja yang sangat kuat. Pemerintah Kabupaten Banyumas, dengan dukungan DPRD, telah berhasil meraih Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI selama 14 kali berturut-turut, hingga Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran 2024. Pencapaian ini merupakan bukti formal bahwa pengelolaan keuangan daerah telah dilakukan secara transparan, akuntabel, dan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku.

Selain itu, dalam evaluasi Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Tahun 2024, DPRD menunjukkan perannya dalam pengawasan dengan menyoroti beberapa poin penting, termasuk perlunya peningkatan kinerja pemerintah daerah, optimalisasi penambahan pendapatan, dan penanganan defisit anggaran yang terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa secara formal, DPRD menjalankan fungsi pengawasannya terhadap eksekutif.

Meskipun capaian formal tersebut ada, DPRD Kabupaten Banyumas tetap menghadapi kritik keras dari publik dan kalangan akademisi. Analisis ini memperlihatkan adanya paradoks mendalam antara kinerja formal dan legitimasi sosial. Kinerja formal yang baik, seperti opini WTP dari BPK dan produktivitas Perda, seringkali tidak sejalan dengan persepsi dan kepercayaan publik.

Masyarakat tidak hanya menilai dewan dari laporan keuangan atau jumlah regulasi yang dihasilkan, tetapi dari seberapa besar mereka merasa terwakili dan dilayani secara nyata. Kesenjangan gaji yang jauh dari realitas ekonomi masyarakat menjadi simbol nyata dari keterputusan ini, terlepas dari seberapa baik laporan keuangan mereka. Hal ini menyoroti perlunya dewan memiliki “moral imagination” (kemampuan untuk membayangkan dampak keputusan mereka terhadap kelompok masyarakat lain).

Selain itu, fakta bahwa kuorum rapat seringkali tidak tercapai meskipun target legislasi selesai, menunjukkan adanya potensi kinerja “di atas kertas”. Produk hukum mungkin dibuat dengan cepat, tetapi tidak melalui proses diskusi yang mendalam dan partisipatif, yang pada akhirnya dapat mengkompromikan kualitas dan efektivitas Perda yang dihasilkan bagi masyarakat.

Remunerasi Legislatif vs Kapasitas Fiskal Daerah

Untuk memahami konteks fiskal, penting untuk melihat kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Banyumas. Laporan menunjukkan adanya pertumbuhan anggaran. APBD Perubahan Tahun 2021 tercatat sebesar 3,43 triliun rupiah, sementara APBD Perubahan Tahun 2024 mencapai 4,12 triliun rupiah.

Meskipun demikian, pendapatan daerah, khususnya PAD sebagai indikator kemandirian fiskal, menunjukkan tantangan. Realisasi PAD Tahun 2022 hanya mencapai 822,68 miliar rupiah, atau 95,20% dari target yang ditetapkan. Dalam evaluasi LKPJ Bupati 2024, DPRD sendiri menyoroti adanya defisit anggaran dan merekomendasikan pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan dan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan.

Untuk mengukur dampak beban remunerasi DPRD terhadap keuangan daerah, dapat dilakukan perhitungan rasio. Dengan asumsi 50 anggota dewan dan estimasi penghasilan rata-rata 45 juta rupiah per bulan, total biaya remunerasi tahunan mencapai sekitar 27 miliar rupiah.

{Total Biaya Remunerasi Tahunan} = {(Rp45.000.000/anggota/bulan)}

{(50 anggota)} {(12 bulan)} = {Rp27.000.000.000}

Rasio disproporsionalitas :

Rasio terhadap PAD : 27 miliar / 947,20 miliar = 2,85%

Rasio terhadap APBD : 27 miliar / 4,12 triliun = 0,65%

Analisis ini memperlihatkan adanya ketidakseimbangan struktural yang perlu dipertimbangkan. Beban remunerasi tahunan sebesar Rp27 miliar adalah pengeluaran tetap yang signifikan, sementara pendapatan daerah, khususnya dari PAD, menunjukkan fluktuasi dan belum mencapai target optimal. Besaran remunerasi ini memakan hampir 3% dari PAD, yang seharusnya dapat dialokasikan untuk sektor-sektor produktif atau pelayanan publik yang lebih mendesak, seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur.

Adanya kontradiksi antara rekomendasi DPRD sendiri untuk “meningkatkan pendapatan daerah” dan “menerapkan prinsip kehati-hatian” dengan realitas finansial internal dewan ini menunjukkan adanya disorientasi prioritas.

Hal ini dapat menimbulkan pertanyaan dari masyarakat mengenai komitmen dewan terhadap kesejahteraan publik secara keseluruhan. Penghasilan legislatif yang tinggi, meskipun tidak secara langsung menyebabkan defisit, menjadi simbol dari kesenjangan prioritas yang dapat memengaruhi kepercayaan masyarakat.

Catatan Kesenjangan yang Akan Menimbulkan Masalah

Kesenjangan Finansial ; Terdapat jurang yang lebar antara penghasilan anggota dewan yang tinggi dan kondisi ekonomi mayoritas warga.

Kesenjangan Kinerja ; Ada ketidakselarasan antara capaian formal yang positif (seperti opini WTP dan penyelesaian Perda) dengan kritik publik yang masif dan masalah internal yang mengganggu efektivitas kerja.

Kesenjangan Fiskal: Alokasi anggaran untuk remunerasi dewan merupakan beban tetap yang substansial dan kurang proporsional jika dibandingkan dengan pendapatan daerah yang belum optimal dan kondisi defisit anggaran yang terjadi.

Secara kolektif, kesenjangan ini berpotensi menurunkan legitimasi dan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif. Remunerasi yang tinggi, meskipun sah secara hukum, tidak secara otomatis menjamin kinerja yang setimpal atau meningkatkan kepercayaan publik jika tidak diimbangi dengan transparansi, akuntabilitas, dan empati substansial terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang diwakili. Isu ini juga menggarisbawahi tantangan yang lebih besar dalam reformasi birokrasi dan akuntabilitas publik secara umum.

Pemerintah daerah dan DPRD perlu meninjau ulang sistem tunjangan yang berlaku. Jangan hanya berfokus pada pemangkasan, disarankan untuk mereformasi struktur tunjangan agar sebagian dari remunerasi tersebut berbasis kinerja yang terukur. Indikator kinerja ini dapat mencakup tingkat kehadiran rapat, penyelesaian produk hukum yang berkualitas, atau indeks kepuasan masyarakat terhadap layanan legislatif.

Untuk membangun kembali kepercayaan publik, DPRD harus proaktif dalam meningkatkan transparansi. Ini dapat dilakukan dengan mewajibkan publikasi laporan kinerja yang terperinci dan mudah diakses, serta merinci komponen-komponen penghasilan secara jelas untuk mengatasi inkonsistensi data yang ada di ruang publik. Diperlukan pula mekanisme partisipasi publik yang lebih luas dalam proses legislasi dan penganggaran. Kolaborasi antara semua pihak ini akan mendorong tata kelola pemerintahan yang lebih akuntabel, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Penulis: Muhammad Arief Albani

Tulisan sebelumnyaBahtsul Masail PWNU Jateng Digelar di Ponpes Attaujieh, Bertepatan dengan Haul Ke-32 KH. Hisyam Zuhdie
Tulisan berikutnyaKwaran Ajibarang Gelar Scouting Skill, 800 Peserta Siaga Antusias Ikuti Kegiatan

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini