Oleh: Nura Khabita *
BELAKANGAN ini internal NU baik warga simpatisan maupun kader NU sedang menghadapi berbagai polemik yang mengakibatkan disintegrasi. Disintegrasi tersebut disebabkan oleh berbagai sebab antara lain: perbedaan pandangan politik, sanad keilmuan, jejaring kelompok, status di masyarakat, dan sebagainya. Entah sampai kapan sepertinya belum bisa dipastikan disintegrasi ini akan terus berlangsung.
Terkait dengan semakin jelasnya gema perubahan peta nasab di kalangan ulama. Di mana ketokohan ulama ini memegang peranan penting dalam pergerakan umat. Internal NU sendiri terkait perubahan ini ada yang menggolongkan dirinya menjadi mutakhorijin, mukibin, dan pihak ketiga sebagai pengamat saja pastinya juga ada.
Belum lagi terkait dengan masalah politik, yang sudah jelas masyarakat NU (nahdliyyin) terfragmentasi dengan pilihannya masing-masing. Partai kesukaan masing-masing, calon presiden, calon legislatif calon bupati, calon gubernurnya masing-masing. Hal yang umumnya terjadi adalah mengaitkan pilihan politik dengan sanad keilmuan sehingga bisa dipetakan pergerakan politiknya akan condong mengikuti ketokohan dari sanad ilmunya.
Melihat polemik seperti ini sebagai warga NU seharusnya memiliki keprihatinan karena NU yang begitu besar kemudian terpecah-pecah dikarenakan tersusupi tanpa sadar sifat dan sikap ‘radikalisme dan fanatisme’ yang membuat seseorang menjadi tak bisa mengukur ketakdziman, kepatuhan, ketaatan, penghormatan secara proporsional sebagaimana mestinya.
Tidak lumrahnya adalah menjadikan gerakan pengkaderan sebagai gerakan penentu suara untuk kepentingan parpol atau calon tertentu dengan alasan penentu Nasib NU ke depan. Dan ini jelas bertentangan dengan Khittah NU 1926.
Tentunya dalam konteks Nahdliyyin perlu mengingat kembali nilai-nilai yang mendasari ajaran aswaja itu sendiri. Keberlanjutan pengamalan nilai-nilai aswaja lah yang dapat menentukan keberlangsungan Nasib NU di masa yang akan datang sebagai jam’iyyah yang rahmatan lil ‘alamiin.
Bukan hanya dalam kegiatan-kegiatan seremonial pengkaderan atau pelatihan saja, namun perlu ditekankan bahwa nilai-nilai itu diresapi sebagai landasan berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari.
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan terbesar di Indonesia. NU didirikan oleh Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari dengan tujuan memelihara ajaran ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) dan tetap menjaga pilar negara : Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Ajaran Aswaja An-Nahdliyyah memiliki nilai-nilai : tawazun (seimbang), tawassuth (moderat), tasamuh (toleransi), I’tidal (berkeadilan), dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
Berdasarkan nilai-nilai dalam aswaja tersebut, berarti warga NU diharapkan menjadi warga Masyarakat yang bersikap moderat yang menjunjung tinggi serta mengimplementasikan nilai-nilai aswaja dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan diharapkan pula kerangka berfikir warga dan kader NU didasarkan pada nilai-nilai tersebut.
Tujuan utamanya adalah mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan di tengah-tengah era perubahan yang sangat cepat. Sehingga warga dan kader NU menjadi pribadi yang fleksibel, tidak fanatik dan tidak ‘kagetan’ saat dihadapkan pada perbedaan/ keberagaman.
Kader dan warga NU tentunya harus berusaha sebisa mungkin mengimplementasikan nilai-nilai aswaja dalam kehidupan sehari-hari, sebagai kerangka berpikir dan landasan bersikap supaya nilai-nilai aswasa menjadi karakter yang melekat dalam kepribadian, bukan hanya menjadi hafalan atau pengetahuan saja.
Namun, lebih penting lagi membumikan nilai-nilai aswaja dalam perilaku sehari hari, kepada diri sendiri, keluarga, orang-orang terdekat dan masyarakat luas.
Sebagai contoh penerapan nilai tawazun (seimbang), membangun kepribadian yang seimbang. Seimbang dalam melihat positif dan negatif, kelebihan dan kekurangan, merangkul keduanya tanpa menghakimi, baik pada diri sendiri maupun kepada orang lain. Seimbang dalam melihat suatu permasalahan. Seimbang pula dalam menyikapinya. Karena tak ada manusia yang selamanya berada dalam titik positif maupun negatif, semesta bekerja dalam tarian keseimbangan.
Nilai Tawassuth (moderat), menyadari sepenuhnya bahwa manusia memiliki posisi yang sejajar dengan setiap manusia di manapun, manusia memiliki kehendak masing-masing dalam berpandangan terhadap suatu hal dan setiap manusia berhak jujur dan berhak menjalankan pilihannya, tanpa pemaksaan atau pengaruh dari siapapun untuk mengikuti kata hatinya yang paling dalam.
Menjadi moderat dalam kehidupan heterogen merupakan keharusan dan bukan lagi pilihan.
Nilai aswaja yang selanjutnya yaitu tasamuh (toleransi). Toleransi dapat diterapkan dengan menghargai, menerima perbedaan di antara individu maupun kelompok dalam hal keyakinan, pendapat atau kebebasan berpikir, dapat menahan diri dan bersikap sabar untuk menjaga kedamaian diri sendiri dan orang lain.
Tidak merasa paling benar sehingga jika tidak mudah menjadikan perbedaan menjadi masalah. Dapat menerima kenyataan bahwa kehidupan yang diciptakan Tuhan telah sempurna dengan segala perbedaan dan menghindarkan dari konflik.
I’tidal (berkeadilan) merupakan nilai yang amat penting diimplementasikan sebagai karakter pribadi. I’tidal dalam gerakan shalat diartikan tegak lurus. Dalam kehidupan sehari-hari seseorang hendaknya dapat menegakkan keadilan, memposisikan diri di tengah-tengah ketika menghadapi suatu permasalahan.
Seseorang yang menerapkan nilai I’tidal dapat memandang segala sesuatu secara adil, tidak condong sebelah, tanpa kepentingan pribadi, sehingga dapat berperilaku baik dan menjauhi aniaya terhadap sesama.
Dengan adil seorang juga menjadi bijaksana, melihat tanpa kebencian atau kecintaan yang berlebihan. Segala hal dipandang dengan proporsional dan obyektif. Berusaha memahami segala sesuatu dari sudut pandang berbeda dan lebih luas.
Terakhir, amar ma’ruf nahi munkar adalah mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Dalam hal ini segala sesuatu yang dilarang agama seharusnya dapat dicegah, dan mendorong pada perbuatan yang diperintahkan Allah swt dan rasulNya melalui ajaran agama.
Bukan hanya kepada orang lain namun yang pertama adalah kepada diri sendiri, disampaikan kepada orang lain melalui tutur kata yang baik, sikap bijaksana sehingga tujuan amar maruf nahi munkar itu sendiri dapat tercapai. Sehingga dapat terwujud predikat manusia yang bertaqwa.
Sebagai manusia biasa yang tidak selamanya akan hidup di dunia, sudahkan kita sebagai kader NU merefleksi diri kita, dalam menanamkan nilai-nilai aswaja sebagai karakter pribadi kita untuk diwujudkan dalam membangun peradaban ummat yang baik (mabadi khoiro ummah)? Terlepas dari kemelakatan terhadap jabatan maupun status kita di Masyarakat.
Marilah kita sebagai kader NU mulai memanusiakan diri sendiri dan orang lain dengan nilai-nilai aswaja, tanpa memandang posisi, jabatan, maupun status. Menjadi pribadi yang berkualitas yang selamat, bahagia dan rahmatan lil’alamin serta bisa menerapkan esensi bukan sekedar mempertahankan reputasi apalagi kepentingan pribadi.*
*Nura Khabita, Pendidik SMP Ma’arif NU 1 Cilongok.
Mantap dan menginspurasi