Sebagai respon atas penerimaan konsesi tambang oleh PBNU, PC ISNU Banyumas mengadakan diskusi publik bertajuk Tata Kelola dan Politik Lingkungan Nahdlatul Ulama.
Imam Santosa, Profesor Sosiologi Lingkungan Universitas Jenderal Soedirman, didaulat menjadi salah satu narasumber pada diskusi yang diadakan di Sekretariat PC ISNU Banyumas.
Imam membuka diskusi dengan mengutip pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekayaan alam seharusnya dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat.
Pasal ini bertentangan dengan fakta bahwa sebagian besar pengelola kekayaan alam berupa perusahaan ekstraksi sumber daya alam adalah pihak swasta.
Fakta ini diperparah dengan situasi di sekitar wilayah ekstraksi yang tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas kehidupan masyarakat.
Beberapa tahun ini kita disuguhi fakta dan tragedi di seputar wilayah ekstraksi seperti banjir, tanah longsor, dan konflik lahan.
Aktifitas ekstraksi juga rawan mencemari sumber air dan tanah tempat mata pencaharian warga.
Bahkan sebagian warga terpaksa kehilangan mata pencaharian karena lahan mereka sudah tidak bisa ditanami.
Baca juga:Â Dosen Ilmu Lingkungan UNU Purwokerto: Wilayah Pertambangan Rentan Konflik Sosial dan Pencemaran
Berdasarkan penelitian oleh banyak ahli sosiologi lingkungan, ekstraksi sumber daya alam tidak membawa dampak signifikan terhadap masyarakat sekitar.
Hal ini terjadi karena aliran keuntungan terakumulasi oleh perusahaan pengelola yang itu hanya dimiliki oleh kelompok pemodal.
Fenomena yang lebih sering muncul adalah masyarakat sekitar menerima dampak buruk dari aktifitas ekstraksi.
Masyarakat kerap terpapar limbah yang disebabkan oleh aktifitas penambangan, pengolahan, dan penggunaan bahan tambang.
Infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit adalah hal yang sering dialami masyarakat sekitar tambang.
Bahkan limbah dari batubara yang berupa plumbum (Pb) menjadi penyebab beberapa penyakit kronis akut.
Sebuah penelitian juga mendapati bahwa plumbum berdampak bagi penurunan tingkat kecerdasan anak.
Hal ini harus menjadi refleksi bagi kita bersama, khususnya elit PBNU, untuk mempertimbangkan kembali penerimaan konsesi tambang.
Jangan sampai apa yang menjadi tujuan untuk kemaslahatan organisasi dan jam’iyah harus mengorbankan kehidupan masyarakat sekitar tambang yang bisa jadi juga bagian dari nahdliyin jelata.
Akan lebih bijaksana jika PBNU bisa mendorong optimasi energi terbarukan sebagaimana yang didengungkan oleh masyarakat global.
Jangan sampai PBNU jatuh terjerembab dan berkontribusi dalam lingkaran setan kerusakan lingkungan.