GADIS ini masih sangat muda. Umurnya baru lima belas tahun. Teman- teman lain yang seusia, masih manja dalam belaian kasih sayang orang tuanya. Namun perempuan yang satu ini sudah berpengalaman melanglang buana dalam belantara kehidupan yang sangat bebas.
Debu jalanan, halte bus, trotoar, sopir truk, ngamen, tidur seenaknya, makan apa adanya, alkohol, obat-obatan, pergaulan laki-laki dan perempuan, adalah bagian kehidupan yang tak asing lagi baginya.
Suatu siang, ia bersama tujuh temannya, terkena razia dari Dinas Sosial Kabupaten Banyumas. Kemudian diantar ke Balai Rehabilitasi NAPZA milik Kementerian Sosial di lereng gunung Slamet sebelah selatan. Kehidupan barupun dimulai. Pembinaan dalam empat bulan ke depan adalah kegiatan yang harus ia laksanakan dengan disiplin ketat.
Saat jadwal pembinaan rohani, aku mendampinginya. Gadis itu hafal banyak surat-surat pendek Al Qur’an dengan bacaan yang baik. Ilmu Tajwid-nya lumayan. Dan ternyata ia pernah sekolah di Madrasah Ibtidaiyah (MI) sampai kelas lima.
Ba’da subuh itu, kami berdua ngobrol banyak. Wajahnya sudah bersih, tidak seperti pertama kali datang. Debu-debu jalanan yang menutupi raut mukanya, kian menghilang. Wajah perempuannya makin kentara, karena ritme kehidupan yang normal ia jalani di Panti tersebut.
“Kenapa kamu hidup sampai begitu lama di jalanan?”, tanyaku di sela-sela udara subuh pegunungan yang menggigit.
“Orang tuaku cerai saat aku kelas tiga Madrasah, Pak. Aku hidup bersama nenek dengan segala keterbatasan dan kekurangan. Bapak dan ibuku hidup sendiri-sendiri, ujarnya. Aku sangat merindukan belaian kasih kedua orang tuaku, seperti teman-teman yang lain. Namun….itu semua tak kunjung datang. Pada akhirnya, aku menemukan belaian kasih dan persahabatan yang begitu kuat, justru dengan kawan-kawanku di jalanan.”
Ia juga bertutur, saat galau tiba, ketika rindu orang-orang yang ia cintai tak kunjung datang, saat mencari kasih sayang bagaikan mencari jarum di hamparan pasir, maka obat-obatan laknat lah yang menjadi penenang sementara baginya.
“Ini semua kulakukan, hanya untuk mencari ketenangan, walaupun hanya sementara, Pak,” katanya lagi.
Aku hanya bisa diam, mendengarkan dan mendo’akan, semoga setelah rehabilitasi di Panti ini, ia bisa kembali ke keluarganya lagi, dan segera menemukan belaian kasih dari orang-orang terdekatnya, sebagai obat penenang untuk selamanya. (*)
Baturraden, Juni 2021
Sus Woyo
Penulis bergiat di Komunitas Sastra Pinggiran (KOPI) dan Literasi Blakdhen Gumelar. Menulis buku Menembus Batas Logika, Nyanyian Cinta dari Negeri Seberang dan Bercermin pada Pandemi. Saat ini diamanahi sebagai Ketua Tanfidziyah NU desa Ketenger, Baturraden
Mantabbbbb