Menyongsong Ketua Umum PBNU 2021-2026

Ketua Umum PBNU di Muktamar

Wacana calon Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mulai banyak dimunculkan. Tidak bisa dihindari bahwa Ketum PBNU punya daya tawar bergengsi bagi siapapun, dan bisa merubah peta politik juga.

Bagaimanapun juga, ketua PBNU selain bisa menjadi partner setia pemimpin negeri ini, juga juga bisa menjamin stabilitas politik negeri ini. Paling tidak menjadi penyeimbang berbagai kelompok.

Mereka yang memunculkan kandidat calon Ketua Umum PBNU juga memiliki pertimbangan dan alasan yang beragam, tergantung pola berpikir dan background dari pengusung itu.

Kami amati, para kyai ataupun pengurus cabang NU di setiap Kabupaten yang akan memilih Ketum PBNU, memiliki beberapa corak pilihan berbeda;

Pertama; ada kecenderungan tetap mempertahankan Kyai Said sebagai Ketum, hal ini karena Kyai Said sendiri masih merasa ingin mengabdi kepada NU melalui panggung puncak kepemimpinan NU.

Mereka yang memilih Kyai Said, mengharapkan NU sebagaimana saat pilpres 2019, dimana massa NU bisa ditarik ke gelanggang politik praktis. Keadaan ini memang ada yang diuntungkan tapi juga ada yang dirugikan.

Kedua; ada yang menginginkan perubahan ke generasi yang lebih muda, akan tetapi kelompok ini juga tidak luput dari bau sedap politik, contohnya Cak Imin (Gus Muhaimin Iskandar). Namun kelompok kedua ini juga bisa berpotensi melanggengkan garis politik praktis yang bisa membuat NU tidak semakin kondusif, karena saat ini, beliau masih Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa.

Ketiga; adanya perubahan dari Kyai Said ke Kyai lainnya, yang memiliki gaya berbeda namun tetap sama dalam orientasi dan manajemen organisasinya. Sebagaimana Kyai Marzuki Mustamar, yang dimunculkan dalam media masa, karena kami amati tokoh ini juga terlibat mendalam dalam kontestasi pilpres 2019, sehingga beliau dianggap tidak akan jauh berbeda dengan pendahulunya (Ky. Said Agil Siraj). Beliau juga belum menyampaikan visi misi NU ke depan, bagaimana arah organisasi ini menuju organisasi yang modern dan hebat.

Keempat; Kelompok yang menghendaki adanya perubahan atau pemurnian NU dari sedapnya politik praktis dan menghendaki NU betul-betul sebagai organisasi kemasyarakatan yang telah khittah secara paripurna dari politik, sebagaimana kelompok Gus Aam (Kyai Sholachul Aam Wahib Wahab), cucu dari Kyai Wahab Hasbulloh (salah satu pendiri NU).

Baca Juga : Jelang Muktamar PWNU Jateng Rapatkan Barisan

Kelima; Kelompok ini adalah kelompok kalangan akademisi NU, yang mereka belum mendapat tempat di jajaran pengurus harian PBNU, karena masih adanya rumor bahwa Ketum PBNU harus seorang Kyai, sehingga barisan ini, lebih memilih diam atau mereka akan dijadikan pengurus lembaga yang secara garis besar tidak terlalu signifikan dalam perubahan NU menuju organisasi modern.

Kelompok kelima ini, menginginkan NU sebagai organisasi modern dengan pengelolaan modern pula, sehingga bisa mengejar ketertinggalan NU dalam pengelolaan dan manajemen organisasinya serta pengembangan dalam bidang sumber daya manusianya. Sayangnya kelompok ini masih belum mendapat tempat di hati para pengurus pemilih Ketua.

Bagi saya, kelompok kelima ini, bisa menjadi alternatif, karena NU memang membutuhkan para akademisi handal yang terukur melalui dedikasi dan pengalaman mereka dalam berorganisasi, baik organisasi kemasyarakatan atau organisasi lingkungan pendidikan.

Para tokoh NU dari kalangan akademisi baik Profesor ataupun Doktor tidak kalah jumlahnya dengan organisasi lainnya, sebagaimana para mantan menteri diantaranya adalah Prof. Natsir (mantan menristekdikti yang juga seorang Kyai penghafal Alfiyah), Prof. M. Nuh, Prof. Ali Masykur Musa (mantan ketua umum Ikatan Sarjana NU atau ISNU) dan lain sebagainya.

Tokoh-tokoh akademisi murni inilah, yang bila mereka berada di puncak kepemimpinan NU, kemungkinan bisa diharapkan akan merubah manajemen pengelolaan NU menuju organisasi modern yang tangguh. Karena pengalaman mereka yang bukan hanya sebagai ilmuwan namun juga organisatoris yang mumpuni serta pengelolaan organisasi NU yang lebih terukur dan sistematis dari hulu ke hilir. Untuk mengelola potensi kekuatan kemandirian ekonomi dan tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politik yang sempit.

Namun kekuatan ini belum bisa termanfaatkan dengan baik oleh NU sendiri, mengapa demikian? Padahal NU membutuhkan kepemimpinan yang profesional (untuk Tanfidziyah-nya) dalam hal ini adalah seorang Ketua Umum PBNU, sebagai pelaksana atau badan eksekutif untuk menjalankan tujuan organisasi sesuai dengan tujuan dan konstitusi bersama.

Maka saya sebagai warga NU mengharap dari para pemilih Calon Ketum PBNU yang mewakili warga NU agar dipikirkan dengan seksama calon Ketum yang mampu membawa NU sebagai organisasi yang kuat, tangguh,modern, serta membawa NU sebagai organisasi yang berjuang dan berdakwah untuk Aswaja An-Nahdliyah dan pengembangan SDM anggota serta kemakmurannya.

Hal ini tidak harus terfokus bahwa calon Ketum adalah harus seorang Kyai, yang lebih penting adalah mereka yang telah memiliki track record yang istimewa atau pengalaman diluar atau didalam sebagai seorang organisatoris yang mumpuni.

Kalau memang diperlukan para calon wajib menyampaikan visi dan misi sebelum adanya pemilihan calon Ketum yang telah siap untuk mengendalikan NU seluruh Indonesia.

Demikian semoga bermanfaat.

*) Dosen Aswaja NU di Universitas Nahdlatul Ulama Purwokerto

Tulisan sebelumnyaJaga Kesehatan Siswa, MIN 3 Banyumas Adakan Penjaringan Kesehatan
Tulisan berikutnyaLantunan Sholawat Iringi Pelantikan IPNU IPPNU Gumelar Kidul

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini