Menjaga Al Quran Kanti Tresna

Sebuah Biografi Abuya Muhammad Thoha Alawy al-Hafidz

Melihat sosoknya begitu berdaya. Auranya sangat berwibawa. Tubuhnya besar, sorot matanya tajam penuh makna. Langkahnya tegap, suaranya berbobot dalam. Sekali ngendika, yang mendengar terdiam. Semua itu ada pada sosok alim mulia, Abuya Muhammad Thoha Alawy al-Hafidz, Al Hajj Pengasuh Pondok Pesantren Ath-Thohiriyah Karangsalam Kidul, Kedungbanteng.

Sosok yang begitu magnetik mancar dari tubuhnya. Seperti menyihir yang ada di sekitar. Lembaran mushaf al-Quran menyatu dalam jiwa dan raga. Sangat mempesona, membuat yang melihat merunduk tanpa kata.

Abuya, sosok yang tidak akan selesai dituliskan. Sederhana dalam keseharian. Terjaga laku tingkahnya. Bersih, bersih hati juga ucapan. Lembut, lembut tingkahnya juga halus budinya. Mungkin berlebihan saat menyanjung, tapi ini kenyataan. Abuya, manusia zuhud, tidak silau materi pun jabatan dunia. Setidaknya, itulah yang saya tangkap dari Abuya. Saya tidak mampu lagi menggambarkan. Sebab keindahan juga kemuliaan sosoknya.

Lahir di Ngrimbu, Rejasari, Karangawen, Demak, 67 tahun yang lalu. Mbah Kakung, panggilan tresna dari cucu-cucunya. Panggilan yang Njawani, sekaligus sebagai simbol menghargai budaya Nusantara. Walaupun pernah tinggal di Tanah Suci cukup lama. Ini artinya, Abuya adalah sosok yang terbuka, tidak saklek, namun tegas juga bernas.

Menilik track recordnya, Abuya, sosok yang cinta dengan ilmu. Bagaimana tidak, sejak kecil sudah tertarik nyantri. Sejak kecil sudah bisa iri dengan kebaikan. Iri yang unik, tapi sekaligus iri yang baik.

Kesadaran yang tumbuh dengan sendirinya tentang kecintaan terhadap ilmu, sungguh teladan yang layak ditanam bagi generasi sekarang.

Dikisahkan, saat kecil, Abuya iri dengan teman di kampungnya yang sudah nyantri. Saat usia SD, Abuya kecil nekad menuju stasiun Semarang, untuk perjalanan menuju Surabaya. Dalam benak dan pikiran Abuya, adalah Pesantren Tebuireng, Jombang dan Pesantren Tremas, Pacitan.

Tentu, sebagaimana kelakuan anak kecil, sama sekali tidak berpikiran soal bekal. Tidak memikirkan apa yang akan terjadi kemudian saat perjalanan. Dalam benak pikirannya, hanya Pesantren dambaan, Pesantren tujuan. Ini menjadi bukti nyata katresnan Abuya terhadap keilmuan.

Namun, sesampainya di Surabaya, Abuya kecil kebingungan. Tekad yang membara, kalah dengan bekal dan pengalaman yang dimilikinya. Bagaimanapun, bepergian butuh bekal, juga pengalaman. Saat itu, praktis, Abuya kecil belum memiliki keduanya. Akhirnya, mengurungkan niatnya dan kembali menyusuri jalur kereta menuju Semarang.

Tekad kuat mondok Abuya kecil akhirnya diketahui oleh Bapaknya, Alm. Jahudi bin Badi. Akhirnya tekad mencari ilmu, mendalami agama di Pesantren terwujud saat itu. Abuya kecil begitu senang. Oleh Almarhum Ayahnya dimasukkan Pesantren Futuhiyyah Mranggen, Demak asuhan KH. Muslih bin Abdurrahman dan KH. Muradi bin Abdurrahman.

Keterbatasan ekonomi, memaksa Abuya kecil tidak bisa menamatkan jenjang Aliyah. Pada saat itu, Abuya kecil memutuskan untuk ngaji khusus al-Quran. Setidaknya, niat inilah yang menjadi titik awal kecintaan terhadap al-Quran, sekaligus keberadaan Pesantren Ath-Thohiriyyah, Parakanonje, Karangsalam Kidul, Kedungbangteng, Banyumas yang diasuhnya.

Awalnya Abuya mengaji al-Quran dengan KH. Abdul Wahid di kampung halamannya, Ngrimbu, Rejasari, Demak. Setelah hatam ngaji ala Kampung, Abuya memutuskan untuk khusus ngaji al-Quran ke Kudus, tepatnya ngaji kepada KH. Arwani Amin Kajeksan, Kudus, KH. Hisyam Janggalan, Kudus, juga KH. Abdul Wahab Bendan, Kudus.

Belum sampai hafalannya khatam, Abuya pindah ngajinya. Saat itu kembali ke Semarang, kali ini dengan tujuan yang jelas, melanjutkan ngaji al-Quran kepada KH. Abdullah Umar Kauman, Semarang, kisaran tahun 1972-1973. Satu tahun di bawah bimbingan KH. Abdullah Umar Al Hafidz, -saat itu sebagai juri MTQ Nasional-, Abuya dapat mengkhatamkan hafalan al-Quran.

Pada waktu itu, Abuya tercatat sebagai salah satu santri pertama KH. Abdullah Umar Al Hafidz. Selain ngaji dengan KH. Abdullah Umar Al Hafidz, Abuya juga tabarrukan mengaji al-Quran dengan KH. Turmudzi Taslim Glondong, Kauman, Semarang.

Selesai khatam hafalan al-Quran, Abuya melanjutkan kelananya menuju Pesantren Jawa Timur, tujuannya ngaji Kitab Kuning, tepatnya kepada KH. Jamaluddin Batokan, Kediri, KH. Masyhuri, Petok, Kediri. Selain itu, tabarrukan dengan KH. Mahrus Ali, KH. Marzuqi, KH. Ridwan, Lirboyo Kediri.

Kurang lebih dua tahun, dari 1974-1976 nyantri di Kediri, Abuya memiliki niat, melanjutkan ngaji di Makkah. Akhirnya, keinginan tersebut terwujud pada tahun 1978. Pada tahun tersebut, Abuya menunaikan ibadah umrah pertamanya.

Kesempatan ini digunakan Abuya untuk ngaji al-Quran dengan sungguh-sungguh. Kecintaan terhadap al-Quran semakin terus tumbuh. Tercatat, kurang lebih sembilan tahun, dari 1978-1986, Abuya di Tanah Suci. Berguru untuk ngaji Kitab Fiqh dan Hadits kepada Syaikh Ismail bin Utsman Al Yamani, Abuya Sayyid Muhammad Al Maliki Al Hasani, Syaikh Abdullah al-Lahji, dan Syaikh Yasin Al Fadani, Syaikh Ali Said Al Yamani.

Abuya juga mengaji al-Quran secara langsung dengan guru Qurannya, Syaikh Ali Jabin Al Misri, Syaikh As’ad Ibrahim Al Makki, Syaikh Yasin Al Falembani, Syaikh Muhammad Nur Saif, Dubai, Syaikh Idris Al Cireboni.

Merupakan jalan kehidupan yang tentu diridhai oleh Gusti Allah, saat bisa mengaji di Makkah Al Mukarromah bersama guru-guru yang mumpuni.

Abuya ngendika: “Kowe njaga Quran, Quran njagani kowe”. Sungguh pangandikan yang benar dan nyata. Sebagaimana Abuya selama ini menjaga al-Quran, maka, al-Quran juga menjaganya. Memandangi wajahnya, sungguh menyejukkan. Memandangi wajahnya sungguh menyegarkan. Jelas tergambar pancaran al-Quran dari Abuya Muhammad Thoha Alawy al-Hafidz, al-Hajj.

M. Sa’dullah
Pengajar di PP. Ath-Thohiriyah, Pengurus PC LBM NU Banyumas dan CEO Samawi

Tulisan sebelumnyaIni Dia, 3 Program Andalan IMNU
Tulisan berikutnyaIkut KB itu Bukan Mencegah Kelahiran, tapi Mengatur Jaraknya

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini