“Agama dan Nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan.
Nasionalisme adalah bagian dari Agama dan keduanya saling menguatkan”
(Hadhratussyaikh Hasyim Asy’ari – Rais Akbar Nahdlatul Ulama)
***
NU DALAM KEHIDUPAN BERNEGARA
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, bahwa Nahdlatul Ulama adalah organisasi yang berdiri berdasar kesamaan pemikiran para Ulama dan Nahdlatul Ulama begitu sangat ingin “mengumpulkan” semua elemen di Nusantara untuk bersatu padu dalam mewujudkan kebutuhan-kebutuhannya dalam konteks al-ukhuwah.
Dengan kesadaran akan kebutuhan persatuan/persaudaraan itulah Nahdlatul Ulama berupaya memberikan semangat Nasionalisme pada ruh organisasinya.
Upaya memahamkan bahwa Nahdlatul Ulama berdiri bukanlah untuk kepentingan Bangsa lain, melainkan untuk kepentingan perjuangan Bangsa Indonesia secara khusus dan untuk Agama Islam secara umum.
Nahdlatul Ulama sejak awal berdirinya telah nyata menunjukkan dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari “Anak Nusantara” yang beragama Islam namun bisa berdiri dan maju bersama “Anak Nusantara” lainnya yang bukan muslim. Bukan hanya berhasil menunjukkan ciri ke-Nusantara-an nya, Nahdlatul Ulama juga menunjukkan bahwa NU dapat diandalkan untuk menjadi yang terdepan dalam menjalankan peran Amar Ma’ruf Nahi Munkar secara umum.
Sebagai organisasi yang tumbuh di Nusantara, NU turut berjuang memberikan kontribusi pemikiran serta aktif dalam kontribusi fisik. Dari segi kontribusi pemikiran di era perjuangan, NU memulai dari proses awal terbentuknya Negara ini. Rumusan Dasar Negara, strategi diplomasi serta penguatan-penguatan lini masyarakat dipikirkan NU dengan serius.
Perjuangan fisik di era kemerdekaan juga diwarnai oleh hadirnya para Ulama NU beserta jamaahnya di tengah-tengah medan pertempuran. Tidak kurang-kurang bukti sejarah yang menceritakan serta menggambarkan bagaimana para Ulama NU beserta jamaahnya turut berdarah-darah di tengah pertempuran fisik.
Tak kurang-kurang nama tokoh Ulama serta pemuda NU yang menjadi garda terdepan dalam perundingan, dalam membakar semangat pejuang serta dalam pertempuran “face to face”. Jika nama-nama tokoh pejuang didata dan diminta untuk dikelompokkan menurut latar belakang organisasinya, maka Anggota NU lah yang akan paling banyak mewarnai daftar tersebut.
Sebut saja penyusunan Teks Proklamasi, Penyusunan Dasar Negara (pancasila), peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang menggemparkan Dunia, pemberantasan DI/TII serta PKI dan banyak lagi peristiwa penting di Negara ini yang digerakkan oleh Nahdlatul Ulama melalui para Ulama dan Jamaahnya.
Namun jauh sebelum itu, “embrio” Nahdlatul Ulama telah menancapkan kiprahnya untuk kemaslahatan Tanah Air ini. Era “Kebangkitan Nasional” tahun 1908 adalah awal munculnya “embrio” organisasi ini melalui kiprah panjang perjuangan tak kenal lelah para pendirinya beserta elemen Bangsa lainnya.
Respon positif Ulama NU melihat pergerakan nasional yang begitu masif, terlihat dari didirikannya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada Tahun 1916 di Surabaya yang dimotori oleh KH. Wahab Chasbullah. Kemudian disusul dua tahun setelahnya yakni pada tahun 1918 beliau kembali mendirikan perkumpulan bagi para intelektual pesantren dengan mendirikan Taswirul Afkar yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran). Kedua wadah tersebut merupakan respon positif pencanangan “Kebangkitan Nasional” yang kemudian menjadi awal yang kuat bagi terbentuknya Nahdlatul Ulama dengan tidak meninggalkan semangat awal pergerakan untuk Indonesia.
Tidak hanya pergerakan di bidang pemikiran/pendidikan serta semangat kebangsaan yang dibangun oleh para penggagas Nahdlatul Ulama. Di kalangan saudagar, terbentuk juga sebuah wadah ekonomi kerakyatan untuk menopang perekonomian. Wadah perekonomian tersebut dinamakan Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan/Pergerakan Kaum Saudagar) yang nyatanya sangat “bangkit” dan dapat menggerakkan perjuangan Bangsa ini.
Inilah “Luar Biasa” nya NU selanjutnya, yang semenjak awal memang telah dipersiapkan segala infrastrukturnya.
Tak ada organisasi yang digerakkan tanpa ilmu, dan itu hanya bisa diperoleh jika di dalamnya ada orang-orang berilmu. Orang-orang berilmu pun tak cukup bisa menjalankan sebuah organisasi jika jiwa-jiwa mereka tidak meiliki “ghirah” (semangat) yang tinggi untuk memperbaiki situasi kekinian yang sedang berlangsung. Semangat dan Ilmu pun belum cukup dapat menggerakkan organisasi jika tak terdukung modal dan gerakan ekonomi berkesinambungan bagi organisasi, pengurus dan jamaah/anggota yang ada di dalamnya.
NU ADA DI MANA-MANA
Tidak ada yang terlewatkan dari jangkauan Nahdlatul Ulama dalam kiprahnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Dalam hal berjuang dan berkhidmah pada Negara ini, maka haruslah paham tentang kebutuhan masyarakat yang ada di dalamnya. Untuk dapat memahami dan melayani masyarakat dalam Negara ini, maka di setiap “gang” dan “jalan tikus” di Negara ini, haruslah ada yang menjaganya.
NU menunjukkan fungsi penjagaan wilayah Negara ini dengan baik. Terbukti dengan bentuk struktur organisasinya yang dimulai dari tingkat terbawah di masyarakat hingga teratas.
Struktur NU dimulai dari tingkat terkecil di setiap Desa/Kelurahan, yakni kumpulan RT/RW bahkan setingkat Jamaah Musholla/Masjid. Struktur ini terwakili oleh Pengurus Anak Ranting (PAR). Hal ini memungkinkan setiap urusan-urusan masyarakat di dalam sebuah Desa/Kelurahan yang berpencar-pencar karena luasnya Desa/Kelurahan dapat tetap berkumpul dan saling mengurusi satu dan lainnya.
Pengurus Anak Ranting (PAR) yang terbentuk di setiap RT/RW dan atau Masjid/Musholla, kemudian terwakili lagi di tingkat yang lebih besar yakni Desa/Kelurahan dengan terbentuknya Pengurus Ranting NU (PR NU).
Keterwakilan Desa/Kelurahan melalui PR NU di setiap Kecamatan, kemudian membentuk perwakilan yang mengurusi tingkatan yang lebih tinggi yakni setingkat Kecamatan, dengan membentuk Majelis Wakil Cabang NU (MWC NU).
Majelis Wakil Cabang NU di setiap Kabupaten kemudian membentuk perwakilannya di setiap Kabupaten di Negara ini dengan membentuk Pengurus Cabang NU (PCNU). Kehadiran PCNU merupakan representatif masyarakat mulai dari tingkat “grumbul”, RT/RW bahkan Masjid dan Musholla di wilayah Administratif se-Kabupaten/Kota dapat terjangkau dan terlayani dengan baik.
Di tingkat yang lebih tinggi setelah terbentuknya PCNU, ada Pengurus Wilayah NU (PWNU) yang merupakan representasi dari masyarakat “grumbul”, Desa/Kelurahan, Kecamatan dan Kabupaten.
Kemudian di tingkat tertinggi, NU memiliki Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yang merupakan representasi fungsi pelayanan Jamaah NU dan masyarakat umum di tingkat pusat atau tingkat kenegaraan.
Struktur di atas barulah tingkat kepengurusan organisasi yang mengambil fungsi ke dalam, sebagai pelaksana/penggerak organisasi. Untuk urusan pelayanan secara spesifik di masyarakat, NU terbilang lengkap dalam mengurusi semua lini yang ada di masyarakat. Terbukti dengan dibentuknya Lembaga-Lembaga yang berada di setiap tingkatan kepengurusan.
Hampir semua dinamika kehidupan masyarakat, terlembagakan di dalam Nahdlatul Ulama. Mulai dari Pendidikan, Ekonomi, Kesehatan, Kepemudaan, Kewanitaan, Dakwah dan semua kebutuhan warganya terlembagakan dengan lengkap.
Itulah yang (mungkin) menguatkan NU di setiap masanya, hingga tampak tak tergoyahkan di-“serang” dari atas maupun bawah.
NU ADALAH DUNIA DAN AKHIRAT
Jika ada organisasi yang dalam proses ber-organisasinya berjalan seperti dua sisi mata uang yang meski berbeda namun berada dalam satu tubuh, maka itulah Nahdlatul Ulama.
Pada bagian awal sudah disampaikan bahwa Jam’iyyah Nahdlatul Ulama adalah Jam’iyyah Dakwah Diniyyah wa Ijtima’iyyah (organisasi dakwah keagamaan dan sosial kemasyarakatan). Organisasi yang menjalankan dua fungsi sekaligus, yakni sebagai organisasi yang mengurusi hal-hal bersifat duniawi seperti organisasi massa pada umumnya, namun juga mengarahkan anggotanya untuk dapat meraih akhirat sejalan dengan fungsi dunianya. Ibarat meraih buah kelapa di pucuk pohon yang tinggi dengan cara memanjatnya, namun tidak melukai tubuh/batang kelapa dengan membuat lubang pijakan.
Nahdlatul Ulama adalah organisasi dunia dan akhirat yang berjalan bersamaan dan saling mendukung kedua fungsi secara bersamaan. Nahdlatul Ulama berstruktur ganda dan saling berdampingan. Dalam struktur NU terdapat pembedaan antara urusan organisasi yang mengurusi fungsi organisasi kemasyarakatan dan fungsi organisasi keagamaan.
Adanya Tanfidziyah dan Syuriah yang berjalan berdampingan merupakan keunikan NU yang tidak ditemui di organisasi massa lainnya. Padahal jika diamati, kedua fungsi struktur itu sepertinya berbeda. Berbeda fungsi tugas dan kelasnya, namun berada dalam satu struktur yang tidak terpisah. Hal ini terlihat dari setiap surat-surat resmi yang dikeluarkan oleh NU. Dalam setiap surat menyurat, tandatangan Tanfidziyah dan Syuriah selalu berdampingan dan tidak dibuat hirarki atas-bawah.
Ini membuktikan bahwa Nahdlatul Ulama tidak hanya fokus pada urusan keduniawian dan mengesampingkan urusan akhirat. Begitu sebaliknya, bahwa NU tidak semata-mata fokus pada urusan akhirat dan tidak mempertimbangkan kemaslahatan dunia.
Inilah “Luar Biasa” nya NU selanjutnya, yang dalam hal menjalankan organisasi selalu melihat dua sisi maslahat. Maslahat dunia dan maslahat akhirat yang menjadikan NU selalu tampil menjadi yang ter-“unik” dalam perjalanan organisasinya.
Khusnudzon saya selanjutnya dalam melihat Nahdlatul Ulama adalah, NU kuat dan tegak berdiri serta berjalan di tengah badai dari masa ke masa karena di dalamnya ada dunia dan akhirat, serta ada Kalimat Allah SWT dan Rasulullah SAW di setiap langkahnya. NU dilandasi Tata Laksana Organisasi (AD/ART) yang dibuka dengan “MUQADIMAH QONUN ASASI”.
Muqadimah Qonun Asasi Nahdlatul Ulama berisi Ayat-Ayat Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi Muhammad SAW.
Inilah “Luar Biasa” nya NU selanjutnya, dimana NU dengan total dan tidak main-main dalam mengikutsertakan Allah SWT serta Rasulullah Muhammad SAW dalam nafas organisasi.
Kata saya : “jika NU adalah rumah, dan ada Allah SWT serta Nabi Muhammad SAW di dalamnya, mana ada makhluk yang berani dengan sengaja mendekati untuk berniat merusak rumah itu”.
Ini adalah pandangan saya sebagai Kader Penggerak Nahdlatul Ulama dan Pengurus NU serta Anak Nusantara yang melihat Nahdlatul Ulama dari luar sebagai “awwam” dan dari dalam sebagai Kader NU.
Saya tidak bisa dan tidak pantas mendo’akan agar perjalanan NU bisa selalu baik-baik saja, karena NU sejak awal berdirinya sudah sangat baik-baik saj.
Saya tidak bisa dan tidak pantas mendo’akan agar NU menjadi organisasi besar dan kuat, karena NU sejak awal berdirinya sudah merupakan organisasi besar yang kuat dan kokoh.
Saya hanya bisa berharap dalam do’a, agar saya diberi kesempatan mengabdikan diri saya untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Agama Islam melalui Nahdlatul Ulama.