Pagi itu, orang nomor satu di desa perbatasan itu pusing tujuh keliling karena burung kesayangannya lepas dari sangkarnya. Bagaimana tidak hingga jelang sore, burung itupun tak kunjung terkejar dan justru bertengger di dahan pohon. Berbagai upaya untuk menurunkan dan menangkapnyapun tak kunjung berbuah hasil, sebelum akhirnya….
Ya, Tanpa wanita (isteri pendamping), graha (rumah), turangga (kuda; kendaraan), curiga (keris; pengaman, pekerjaan) dan kukila (burung; hobi), seorang lelaki Jawa tak akan sempurna. Begitulah mungkin yang masih diyakini sebagian masyarakat. Maka kelima hal tersebut menjadi hal yang wajib diraih oleh lelaki sebagai bagian penentu seberapa tinggi harga dirinya.
Kehilangan salah satu dari kelima penentu kesempurnaan itu, membuat seorang lelaki berkurang harkatnya. Apalagi bagi mereka yang mempunyai kedudukan, posisi di tengah masyarakat. Makanya ketika kehilangan burung peliharaan kesayangan, bisa membuat orang tersebut pusing tujuh keliling.
Seperti itupun yang terjadi pada suatu pagi di desa perbatasan yang digegerkan lepasnya burung kesayangan Pak Lurah. Bagaimana tak geger karena burung milik Pak Lurah itu merupakan burung kesayangan yang tak ternilai harganya. Ada kabar kalau burung itu sempat akan ditukar dengan mobil, namun Pak Lurah bahkan menolak dan memarahi orang yang menawar untuk menukar. Yah betapa sayangnya Pak Lurah terhadap burungnya itu.
Makanya ketika entah bagaimana cerita awalnya burung itu lepas, maka Pak Lurahpun gundah gulana. Betapa sayangnya, Pak Lurahpun merasa kehilangan ketika burung itu lepas. Maka segala cara dilaksanakan oleh Pak Lurah untuk menangkapnya kembali burung itu.
Anak buah Pak Lurahpun dikerahkan untuk menangkap burung itu. Mulai mengejar membawakan sangkar burung dan menaburkan makanan burung dilaksanakan. Kejar mengejar dilaksanakan dari sudut kampung ke sudut lainnya. Namun tetap saja si burung tak kunjung turun mulai dari atap rumah hingga dahan pohon tinggi. Sementara suara merdunya seakan meledek sang pemiliknya dan pengejarnya.
Dari pagi hingga sore upaya untuk menurunkan burung itu terbilang nihil. Selama seharian penuh sang burung bertengger di satu tempat, tak jauh dari rumah Pak Lurah, namun ia tak kunjung kembali. Burungpun enggan turun meski telah diberikan makanan sejak tadi pagi. Pak Lurah beserta anak buahnya pun mengerahkan segala cara untuk itu.
Di tengah keputusasaan para pencari burung itu kemudian melintas sang Habib, di lokasi tersebut. Ia menyapa Pak Lurah dan anak buahnya yang sedari pagi telah seperti kehilangan gairah karena lepasnya sang burung kesayangan tersebut.
“Kenapa Pak Lurah, apa burungnya belum kembali,” tanya Habib kepada Pak Lurah.
“Belum Bib, itu masih di atas sedari pagi hanya bolak balik pindah ke pohon ini tetapi belum juga turun,” jelasnya.
“Masa iya, mana pakannya?” tanya Sang Habib.
Maka kemudian ditaburkannya pakan burung itu di tanah. Sambi melempar pakan ke tanah, sang habib memandang ke atas pohon tempat di mana sang burung bertengger sedari pagi.
Baca Juga : Tentang Abah dan Pertanyaannya
Tak berapa lama kemudian, burung itupun turun. Dan entah kenapa seperti jinak, burung itupun memakan pakan itu dan dengan mudah ditangkap, tepatnya diambilnya oleh tangan sang habib. Melihat itu, Pak Lurah dan orang di sekelilingnya hanya saling berpandangan. Di antara mereka ada yang saling berbisik.
“Do’anya apa ya, supaya burung itu mau turun dengan mudah?”
“Coba tanya pada Habib?”
“Ah, aku tak berani. Malu,”
Maka di kemudian hari, ketika ada peristiwa burung lepas atau hilang, mereka akan ingat pada Sang Habib. Mereka menantikan seorang seperti Sang Habib atau orang lain yang punya keistimewaan itu. Tetapi mereka lupa pelajaran hakikat kehilangan. Siapa saja yang merasa memiliki sesuatu, maka ia akan merasakan kehilangan sesuatu. Semakin ia merasa memiliki, semakin ia akan merasa kehilangan.
***
Usai kejadian itulah, Pak Lurah menjadi semakin dekat dengan Sang Habib. Lalu terdengar kabar kemudian bahwa orang nomor satu di desa perbatasan dua kabupaten itu turut berperan serta dalam pembangunan madrasah aliyah di kompleks pesantren sang habib. Kedekatan ulama dan umaro ini patut perlu diteladani. Sayang cerita bagus ini seperti tenggelam, atau mungkin sengaja disembunyikan. Ya, sengaja menyembunyika kebaikan untuk kebaikan.
Namun yang pasti, sikap Pak Lurah yang dengan sukacita memberikan jariyahnya telah menampik anggapan kalau orang yang berbeda ormas keagamaan akan sulit membantu yang lain. Bahwa cinta sang habib kepada sesama manusia tanpa pandang status sosial telah mengatasi segalanya. Urusan cinta kepada kemanusiaan dan alam tentulah mengatasi atribut keduniawian, apalagi hal itu disandarkan pada ke-ukhrowi-an.
Baca Juga : Kiai Nekat dengan Sebelas Santri
Soal tindakan baik, haruslah diwujudkan dengan baik dan nyata. Biarlah soal sirr, niat dan motivasi tindakan itu urusan personal dengan dirinya sendiri dengan Gusti Alloh. Sementara kepada orang lain, seseorang sudah wajibnya untuk berbaik sangka. Apalagi secara kasat mata, orang lain telah berbuat baik.*