Pada suatu waktu di akhir tahun 1997, KH Yusuf Azhary (Mbah Yusuf) bersama dengan istrinya Nyai Hj Umi Kultsum berkunjung ke Kota Malang, Jawa Timur. Kedatangan ulama asal Dusun Karangcengis, Desa Lesmana Kecamatan Ajibarang Banyumas itu bertujuan untuk takziyah, karena waktu itu ada salah satu sodaranya yang di tinggal Malang meninggal dunia.
Di moment itulah, Muhammad Ghufron Najib melihat wajah Mbah Yusuf untuk yang pertama kalinya, begitu pula mungkin sebaliknya. Usai menyalaminya, Ghufron lantas pergi, tidak ikut ngobrol dengan beliau, hanya bapaknya saja dan beberapa orang tua yang menemani Mbah Yusuf.
“Itu anak mu?” tanya Mbah Yusuf kepada Husen Zain sambil melihat Ghufron yang berlalu dari balik kaca jendela.
“Iya itu anak saya, dia mondok di tempatnya Kiai Bashori,” jawab Husen Zain, sedikit menjelaskan.
“Kira-kira mau tidak jika saya ajak ke Banyumas?” lanjut Mbah Yusuf menawarkan kepada Husen agar putranya itu ikut bersamanya ke Banyumas.
“Wah, saya tidak tahu. Coba nanti saya tanyakan dulu ke Ghufron,” jawab Husen Zein.
Ajakan dari Mbah Yusuf itu kemudian disampaikan kepada Ghufron. Ghufron yang waktu itu baru berumur 25 tahun hanya diam saja. Hatinya merasa bingung karena ia belum pernah tahu Banyumas itu seperti apa dan Banyumas itu dimana.
Selain itu, ia juga belum kenal dengan Mbah Yusuf, sosoknya seperti apa? keilmuannya bagaimana? Kenapa harus ke Banyumas? jika demikian berarti ia harus pindah guru ngaji.
Ia pun berfikir, jika memang harus pindah guru ngaji, maka guru ngajinya itu ilmunya harus di atas dengan guru ngaji sebelumnya, atau minimal selevel dengan guru ngajinya sekarang.
Ghufron pun menolak tawaran Mbah Yusuf dengan alasan demikian. Meskipun sebenarnya, ada satu alasan yang sangat mendasar bagi Ghufron, yaitu tentang hati dan perasaan yang tak ingin ditinggal pergi.
“Tidak mau, karena belum tahu Banyumas dan belum tahu juga tentang Mbah Yusuf,” jawab Ghufron kepada ayahnya.
Baca Juga : KH Yusuf Azhary, Kiai Al-Quran dari Ajibarang
**********
Malam yang hening di Kota Batu, desir angin berhembus diantara balutan kabut beku. Pada celah-celah desiran angin itu, sayup sayup terdengar suara seorang laki-laki sedang membaca Al Quran, suaranya terdengar begitu indah dan menawan, memecah balutan kabut-kabut beku, menghangatkan hati yang sedang galau.
Ghufron yang mendengar suara itu, penasaran dengan sosok yang sedang membaca Al Quran. Ia lalu bangkit meninggalkan kopi baru saja ia seduh untuk mencari tahu sosok misterius pelantun ayat-ayat Tuhan itu.
Ghufron seketika takjub ketika ia tahu bahwa sosok pelantun ayat-ayat Tuhan itu adalah Mbah Yusuf, seorang kiai yang tempo hari mengajaknya untuk ikut bersamanya ke Banyumas.
Dari peristiwa itu pun lantas mengubah cara pandang Ghurfon kepada Mbah Yusuf. Ajakan yang sebelumnya ia tolak, akhirnya diterimanya. Namun sebelum itu ia sudah rempugan dulu dengan ayahnya sekaligus meminta ijin ikut ke Banyumas.
“Terserah sampeyan, kalau mau ikut ke Banyumas ya silahkan,” jawab ayahnya.
Meski sebetulnya terasa berat bagi Ghufron untuk meninggalkan kota kelahirannya itu, karena Ya atau Tidak jujur saja, ada hati yang harus rela ditinggal pergi.
Namun dengan mengucap Bismillah dan berbekal tekad yang bulat untuk nderek Mbah Yusuf, pada hari yang sudah ditentukan akhirnya Ghufron pun hijrah dari Malang ke Banyumas. Ia berangkat bersama Mbah Yusuf dan Nyai Umi Kulstum naik Bus dari terminal Malang ke terminal Purwokerto.
Pekerjaanya sebagai guru di salah satu madrasah yang ada di Malang ia tinggalkan begitu saja demi suatu cita-cita dan tujuan yang mulia, yaitu berlajar ilmu Al Quran kepada seorang Kiai Al Quran dari Ajibarang.(*)