Kentong Pusaka Ditabuh, Budaya dan UMKM Panusupan Bangkit

Kentong Pusaka Ditabuh, Budaya dan UMKM Panusupan Bangkit

CILONGOK, nubanyumas.com – Siang itu, langit di atas Lapangan Desa Panusupan sedikit mendung, seolah memberi naungan bagi ratusan warga yang mulai memadati arena Festival Budaya dan Sedekah Bumi 2025. Namun bukan awan yang menjadi pusat perhatian, melainkan suara “tung… tung… tung…” yang menggema dari sebuah kentong kayu tua.

Kentong itu tak sembarangan. Ia bukan sekadar alat pemanggil warga di masa lalu, melainkan pusaka desa yang disakralkan. Konon usianya telah melampaui satu abad, diwariskan dari generasi ke generasi. Dan hari itu, Senin (7/7/2025), kentong pusaka kembali ditabuh, bukan untuk peringatan adanya bahaya, melainkan sebagai penanda dimulainya Bazar Produk Halal UMKM Desa Panusupan.

Yang memukulnya adalah Camat Cilongok, Susanti Tri Pamuji. Dengan pakaian resmi dan senyum ramah, ia menabuhnya dengan gembira. Seisi lapangan pun bertepuk tangan.

“Ini bukan sekadar bazar, tapi ruang bagi warga untuk memperkenalkan hasil kreativitas dan kearifan lokal yang luar biasa,” kata Susanti usai meninjau beberapa stand bazar yang sudah mulai ramai dikunjungi.

Ada sekitar 60-an stand yang berjajar di sisi lapangan. Di atas meja-meja sederhana, tersaji aneka panganan lokal seperti getuk, jenang, peyek, keripik pisang, sampai kopi bubuk racikan rumahan. Di pojok lain, ibu-ibu menjajakan batik cap, kerajinan bambu, serta sabun herbal buatan sendiri. Semua produk berlabel “halal” dan “buatan warga”.

Festival Budaya dan Sedekah Bumi yang digelar 7–12 Juli 2025 ini tak hanya menjadi ajang pelestarian tradisi, tetapi juga pesta ekonomi rakyat. Warga tak hanya datang untuk menonton kirab budaya, tapi juga berbelanja produk-produk lokal.

Ketua panitia, Noviaji, tampak sibuk menjawab pertanyaan jurnalis, panitia, hingga pelaku UMKM yang mendaftar mendadak. Di sela kesibukannya, ia sempat bercerita soal kentong pusaka.

“Kentong ini sakral. Sebelum digunakan, dimandikan dulu dengan air dari tujuh sumber mata air. Dulu kentong ini dipukul saat ada kabar penting atau panggilan mendesak dari kepala desa,” jelasnya sore itu.

Ia lalu tersenyum, mengingat kebiasaan lama. “Dulu begitu bunyi kentong terdengar, semua warga langsung datang ke balai desa. Sekarang, meski sudah ada WhatsApp, banyak yang masih telat datang pas ada undangan kumpulan,” lanjut Aji, sapaan akrabnya sambil tertawa kecil.

Aji ingin bazar ini bukan yang terakhir, tapi menjadi awal dari gerakan ekonomi desa yang berkelanjutan. Ia berharap para pelaku UMKM di Panusupan bisa semakin percaya diri, tak sekadar menjual produk di festival, tapi menembus pasar yang lebih luas.

“Mudah-mudahan dagangan mereka laris, dan UMKM bisa jadi tulang punggung ekonomi Panusupan,” ucapnya.

Sementara matahari mulai condong ke barat, suara kentong mungkin sudah hilang ditelan keramian festival. Di Panusupan, sore itu, kentong tak hanya membunyikan masa lalu, tapi juga masa depan.(*)

Penulis : Khafid S

Tulisan sebelumnyaAwal Cerita : Toko Buku Gramedia – Pesantren At Taujieh Al Islamy 2 Andalusia
Tulisan berikutnyaMI Ma’arif NU 01 Pandansari Kenalkan Siswa pada Sejarah dan Teknologi di Yogyakarta

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini