Definisi takwa dalam literatur-literatur Islam adalah mengerjakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya.
Dari definisi ini, kemudian dikempokkan lah ibadah menjadi dua kategori, yaitu; ibadah yang berwujud mengerjakan perintah dan ibadah yang berwujud meninggalkan larangan.
Ibadah yang berwujud mengerjakan perintah ini kemudian terbagi menjadi dua, yaitu wajib (harus dikerjakan) dan sunnah (dianjurkan dikerjakan).
Ibadah yang berwujud meninggalkan larangan, juga terbagi menjadi dua, yaitu haram (harus ditinggalkan) dan makruh (dianjurkan ditinggalkan).
Dari sini, lalu muncul pertanyaan, kapankah seseorang dianggap telah menunaikan ibadah yang berwujud melaksakan perintah-Nya (wajib/sunnah) dan kapankah seseorang dianggap telah menunaikan ibadah yang berwujud meninggalkan larangan-Nya (haram/makruh)?
Secara lahiriyah, seseorang dianggap telah menunaikan ibadah yang berupa melaksanakan perintah-Nya adalah jika secara nyata-nyata ia telah mengerjakan perintah-Nya tersebut.
Seperti ibadah shalat, maka seseorang dihitung sudah mengerjakan shalat, jika secara nyata ia telah (berhasil) shalat.
Adapun mengenai ibadah yang berupa meninggalkan larangan-Nya, maka seseorang dianggap telah menunaikann, jika secara kenyataan ia tidak melakukan yang dilarang-Nya tersebut.
Sekalipun untuk itu, ia tidak meniatkannya terlebih dahulu. Dengan ini, bisa dikatakan bahwa dibanding ibadah yang berupa melaksanakan perintah, ibadah yang berupa meninggalkan larangan jauh lebih banyak dan jauh lebih mudah.
Bagaimana tidak? Asalkan seseorang secara nyata-nyata tidak melakukan maksiat, maka entah ia dalam keadaan apa atau sedang melakukan apa, semua itu dihitung ibadah.
Karena tercapainya ibadah berupa meninggalkan larangan adalah cukup dengan tidak melakukannya.
Sekalipun yang demikian itu, tidak harus di saat yang bersamaan ia sedang melaksanakan ibadah yang berupa melaksanakan perintah-Nya.
Dengan kata lain, seseorang tidak harus dengan melaksanakan perintah-Nya untuk bisa disebut telah meninggalkan larangan-Nya, karena sekali lagi meninggalkan larangan dianggap sudah berhasil, hanya dengan tidak melakukan larangan tersebut.
Seseorang bisa saja duduk-duduk di teras, atau ngobrol-ngobrol, atau tidur (an), atau pun yang lainnya, hal itu sudah dianggap beribadah meninggalkan larangan-Nya.
Karena dengan duduk-duduk di teras, dengan ngobrol-ngobrol, dengan tidur (an), ataupun dengan aktivitas lainnya, nyata-nyata telah menjadikan seseorang tersebut tidak melakukan maksiat.
Baca juga:Â Jadi Orang Islam Tidak Harus Jadi Orang Arab
Dari sini, sungguh betapa mewahnya menjadi umat Islam, semua-muanya menjadi bernilai ibadah.
Jika ia mengerjakan perintah-Nya, maka yang demikian itu menjadi ibadah baginya, dan jika ia tidak sedang mengerjakan perintah-Nya, asalkan ketika tidak sedang melaksanakan perintah-Nya tersebut, ia tidak melakukan maksiat, maka itu semua juga dinilai ibadah baginya.
Rabbana A’inna ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni i‘badatika!
Wallahu A’lam Bish Shawwab!
Penulis: Dr. Munawir, S.Th.I, M.Si., dosen Ilmu Tafsir Hadits UIN Saifuddin Zuhri dan pengurus LBM PCNU Banyumas 2023-2028