Pada suatu hari ketika Kanjeng Nabi sedang memberi ujaran dan wejangan (dalam bahasa kita, semacam pengajian) kepada para sahabatnya di teras masjid.
Kemudian lewat seorang pemuda yang dengan cueknya berlalu begitu saja tanpa mempedulikan pengajiannya Kanjeng Nabi.
Melihat hal ini, beberapa sahabat yang dikenal ekstrim yang hadir di majlis pengajian Kanjeng Nabi tersebut tampak marah seraya mengomentari pemuda tersebut.
Barangkali kalau boleh dibahasakan, komentar mereka adalah:
“Sial betul pemuda itu, ada pengajiannya Kanjeng Nabi kok dengan seenaknya lewat begitu saja, tidak mau berhenti apalagi menyempatkan diri untuk ikut mengaji bersama Kanjeng Nabi, celakalah dia!”
Mendengar komentar negatif para sahabatnya ini menyangkut pemuda yang tidak ikut pengajian tadi, Kanjeng Nabi tidak menegur sang pemuda, justru Kanjeng Nabi menegur para sahabatnya.
Dalam bahasa bebasnya, Kanjeng Nabi seakan berkata:
“Janganlah kalian berkata seperti itu! Pemuda tadi bisa saja (sedang berangkat) bekerja untuk menjaga kehormatan dirinya supaya tidak menjadi beban orang lain atau untuk menafkahi keluarganya atau orang tuanya.”
Bukankah bekerja untuk menafkahi dirinya sendiri dan atau keluarganya adalah juga sunnahku, dan Allah mencintai orang mukmin yang bekerja.
Baca juga:Â LBM NU Banyumas Bahas Hukum Infak Masjid Untuk Pemasangan Wifi dan Taman
Perihal sikap Kanjeng Nabi yang tidak menegur sang pemuda yang tidak ikut pengajian, padahal Beliau sendiri yang mengisi pengajian tersebut, maka dapat dipahami bahwa kebaikan bagi umatnya Kanjeng Nabi itu tidak tunggal (seragam) tapi plural (beragam).
Ikut pengajian karena itu merupakan bentuk dari mencari ilmu tentu adalah kebaikan.
Akan tetapi yang tidak bisa ikut pengajian, karena memiliki urusan pekerjaan atau karena ada urusan keluarga dan rumah tangga, maka itu juga kebaikan.
Bahkan, bisa jadi kebaikannya lebih tinggi dari yang pengajian, karena kita yang sedang pengajian hakikatnya masih mencari ilmu.
Sedangkan mereka yang tidak ikut pengajian karena melaksanakan kebaikan yang lain adalah sedang mengamalkan ilmu.
Masih mencari ilmu dengan yang sedang mengamalkan ilmu tentu nilainya berbeda.
Kebaikan Itu Tidak Hanya Menghadiri Majelis Ta’lim
Dari kejadian tersebut, Kanjeng Nabi ingin membuka cakrawala pemikiran para sahabatnya bahwa kebaikan itu beragam sekali (tidak seragam).
Bahwa sunnah Nabi itu tidak hanya menghadiri majelis ta’lim, bahwa bekerja mencari nafkah, mengurus urusan anak-anak dan keluarga.
Melaksanakan tugas kantor atau lembaga, dan yang lain (asalkan itu tidak maksiat) adalah juga sunnahnya Kanjeng Nabi.
Kehidupan ini butuh keseimbangan. Kehidupan ini tentu tidak bisa berjalan kalau semua orang di satu waktu mengerjakan kebaikan yang sama/seragam.
Silakan bagi yang longgar ikut lah pengajian, di sisi lain dipersilakan pula bagi mereka yang punya tanggung jawab lain untuk menunaikan tanggung jawabnya tersebut.
Sekali lagi, semua-muanya asalkan kebaikan adalah ajarannya Kanjeng Nabi.
Dengan ini semua, kiranya tidak diperkenankan bagi kita (umatn Kanjeng Nabi), untuk menilai orang lain (umat Kanjeng Nabi lainnya) sebagai kurang baik, hanya karena orang lain tersebut tidak ikut kebaikan yang sedang kita lakukan.
Baca juga:Â Beda Corak Ilmu Pesantren dan Perguruan Tinggi
Karena bisa jadi mereka yang secara lahiriyyah tidak mengikuti kebaikan yang sedang kita lakukan adalah juga sedang melakukan kebaikan yang lainnya.
Sikap yang diajarkan Kanjeng Nabi adalah bersyukur dan saling memuliakan.
Bersyukur karena kita telah ditakdir mengerjakan satu kebaikan, dan memuliakan karena mereka juga sedang ditakdir melakukan kebaikan yang lain.
Allahumma inna nas’aluka minal Khairi kullihi!
Wallahu A’lam Bish Shawwab!
Penulis: Dr. Munawir, S.Th.I, M.Si., dosen Ilmu Tafsir Hadits UIN Saifuddin Zuhri dan pengurus LBM PCNU Banyumas 2023-2028