Kang Car dan NU ‘Sejati’

Kang Car dan NU Sejati
NU Sejati

HUJAN BULAN JUNI masih saja turun hingga malam. Ya terlalu malam. Namun Kang Car masih terus saja menerobosnya. Seekor bebek miliknya masih saja belum ketemu.

Cahaya senternya redup, namun tak menghalanginya mencari ternak bebek satu-satunya itu. Ia terus menerobos kebun, persawahan hingga kebun dekat pekarangan-pekarangan rumah. Setiap ada semak atau teritis rumah tetangga, ia arahkan sorot lampu senternya.

Sayang, hingga empat jam mencarinya, pencarian itu masih nihil. Tak ada jejak kaki bebek ataupun suara bebek. Kang Car memandang langit. Kerjap langit memperlihatkan wajahnya menjadi warna perak. Ia menarik nafas panjang. Ia berjalan gontai menuju arah pulang.

Car di kenal warga setempat sebagai orang yang biasa keliling kampung. Di sela pekerjaan serabutannya, ia dipercaya warga untuk menarik iuranΒ  RT hingga iuran organisasi agama. Mungkin iuran yang diperoleh Kang Car untuk kas RT atau kas organisasi memang tak seberapa. Apalagi kalau jumlahnya dibandingkan dengan kucuran dana alokasi khusus ataupun dana aspirasi dari wakil rakyat yang beratus juta itu. Tapi Kang Car nampaknya tak memikirkan itu.

“Gelem teman Kang. Apa enggane langka wong liya sing gelem. Jajal wong liya kon ngrewangi narik. Aja rika baen?” kata Yu Tur, isterinya malam itu saat melihat basah kuyup suaminya yang tanpa hasil mencari bebeknya.Β  Rupanya sambil mencari bebek peliharaanya, Kang Car juga nyambiΒ narik iuran atau sumbangan bulanan untuk RT dan ormas yang diikutinya.

Sebagai manusia biasa Kang Car tetaplah pernah mengeluh. Apalagi kalau sudah mendengar sang isteriΒ ngomel. Usai berkeliling lingkungan mencari bebek dan sesampai di rumah, ia mengguyur badannya. Usai berganti kaos, ya tepatnya kaos pemberian salah satu tim sukses partai sewaktu Pilihan Sang Dewan Terhormat dan ups… sarung juga, ia mulai menyalakan rokok lintingannya.

Sambil menghembuskan asap rokok, ia menerawang ke dinding ruang tamu sempitnya. Tergantung di dinding anyaman bambu itu lempeng logam berisi gambar logo ormas hingga tulisan ayat Kursi warisan bapaknya.Β  Sambil memandang itu, Kang Car hanya tersenyum.

Kenapa hanya ia saja yang selalu dipercaya, untuk tak menyebut diperintah untuk menarik sumbangan RT atau ormas wasiyat bapaknya. Meskipun mengeluh, tapi entah mengapa, ia tetap saja melakoni perbuatan yang seringkali dipandang sebelah mata oleh orang lain.

“Dadi apa baen, sing penting kowe kudu dadi wong sing apik. Sing manfangat maring masyarakat. Senajan ora dedeleng,” suara almarhum sang bapak yang terkenal sebagai personel ‘band terbangan’ yang terkenal di masa lampau seperti terdengar di telinganya.

Meski dengan sedikit mberengut, sang isteri tercinta, Yu Tur menyajikan juga secangkir kopi instan berkat tahlilan rumah sebelah. Kang Car tersenyum melihat isterinya yang berbadan gempal itu berlalu. Entah mengapa, menurut pandangan orang, ia memang terbilang orang biasa untuk tak menyebut miskin. Tapi tetap saja, sang isteri ‘berbobot’ juga.

Baca Juga : Kang Car Mencari Bebek Sewaktu Hujan Lebat Malam Ini

“Susah ya tetap lemu ya Tur. Berarti melarat ningen ora tau susah ya Tur, mulane dadi lemu baen,” kata Kang Car sambil mencolek daster isterinya sebelum berlalu ke belakang.

Mbuh,” jawab sang isteri sambil berlalu. Namun di belakang, Kang Car tetap memastikan sang isteri tetap tersenyum. Bagaimanapun ia tetap meyakiniΒ wong lanang gedhe goroheΒ  itu penting. Bukankah membahagiakan isteri juga merupakan nafkah batin.

Jarum jam dinding dengan bentuk masjid warisan mertuanya menunjuk pada angka 11. Hujan perlahan mereda, betul-betul dengan cepat mereda tak seperti saat Kang Car mencari bebek peliharaannya. Dua rokok lintingan telah habis dihisap, tetap mata Kang Car masih saja tetap melek.Β 

Wek wek wek wek. Tiba-tiba suara itu terdengar sayup-sayup oleh telinga Kang Car. Ya, sambil mengikatkan sarungnya, Kang Car membuka daun pintunya. Kalau memang masih rejeki, bebek memang tak akan ke mana-mana.

Jauh dari desa tempat Kang Car mulai tertidur lelap usai mengandangkan bebek satu-satunya, diskusi soal dinamika organisasi hingga gerakan kultural keagamaan masih saja berlangsung di sebuah rumah markas mahasiswa aktivis pergera’an. Tapi hingga alarm ponsel pintar membunyikan adzan subuh, mereka tak kunjung menemui definisi, kategori, tolok ukur soal kesejatian.

“Jadi apakah, siapakah dan dimanakah yang dinamakan orang NU sejati itu?” jelas Ojan, salah satu mahasiswa aktivis pergera’an yang tak lain adalah anak sulung dari Kang Car yang beruntung mendapatkan beasiswa bagi mahasiswa berprestasi dari keluarga miskin.

(Susanto-)

Tulisan sebelumnyaSejarah Halaqah Ulama Banyumas Tahun 1928
Tulisan berikutnyaHukum Syi’iran (Puji-pujian) di Masjid

3 KOMENTAR

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini