SERANGAN Israel Terhadap Palestina telah menyedot perhatian masyarakat dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Aksi demonstrasi muncul di berbagai tempat mengutuk serangan Israel dan meminta PBB untuk menengahi konflik tersebut. Sebuah permintaan yang sia – sia karena tentu kita tahu PBB ada di pihak siapa?.
Masyarakat Indonesia tidak mau kalah dalam beraksi membela Palestina. Penggalangan dana secara masif dilakukan oleh lembaga – lembaga yang selalu membawa bendera Palestina dalam setiap kegiatan mereka.
Bahkan ketika itu acara internal mereka sendiri, bendera Palestina tidak pernah absen bersanding dengan logo lembaga. Sekilas tampak lembaga ini lebih seperti berasal dari Palestina alih-alih berasal dari Indonesia.
Penggalangan dana ini pun disambut dengan masif oleh masyarakat Indonesia atas dasar solidaritas sesama Muslim. Meski tidak pernah ada informasi yang dibagikan ke publik mengenai berapa jumlah dana yang terkumpul, kepada siapa mereka menyalurkan dana dan bagaimana mereka menyalurkan dana.
Setidaknya kita perlu mengapresiasi hal ini, karena kita masih bisa melihat bahwa solidaritas sesama muslim ternyata masih ada. Namun solidaritas sesama Muslim ini seharusnya tidak hanya untuk Palestina. Ada juga konflik Arab Saudi – Yaman yang sangat jarang dibahas di media, kemudian ada juga Suriah, Lebanon, Libya, suku Kurdi dan etnis Rohingya.
Solidaritas sesama Muslim pun seharusnya menjangkau saudara kita komunitas Ahmadiyah dan Syiah yang terusir dari daerahnya sendiri. Mereka mengalami persekusi dan pembatasan untuk melakukan aktifitas sehari – hari dan peribadatan, bukankah ini juga membutuhkan perhatian dari sesama Muslim.
Aksi solidaritas memang perlu untuk selalu dirawat nyala apinya, agar kita selalu memiliki empati terhadap permasalahan sosial. Tentu empati sosial tidak melulu dilandasi atas kesamaan agama, namun juga nilai moral, aturan hukum, dan kemanusiaan.
Sebagaimana yang baru – baru ini meramaikan perbincangan di linimasa mengenai 75 pegawai senior KPK yang tidak lolos seleksi TWK, Tes Wawasan Kebangsaan. Tidak lolos TWK pada seleksi ASN itu hal yang wajar, namun jika daftar pertanyaan TWK itu sifatnya terlalu subjektif dan personal maka ini patut dipertanyakan.
Ketidak lolosan 75 pegawai KPK ini berujung pada permintaan untuk melepaskan kasus besar yang sedang mereka tangani. Tentu ini mengundang respon dari masyarakat luas karena ada indikasi pelemahan KPK secara terstruktur oleh pimpinan KPK sendiri.
Hal ini mengundang respon dari beberapa mantan pimpinan KPK seperti Abraham Samad, Bibit Riyanto. Ada pula komentar dari tokoh masyarakat seperti Alissa Wahid (Koordinator Gusdurian), Ulil Abshar Abdalla (Cendekiawan Muslim), dan Haris Azhar (Aktivis HAM).
Bahkan LBH Muhammadiyah siap untuk melakukan advokasi terhadap 75 pegawai KPK yang rentan untuk dinonaktifkan. Meski kemudian muncul respon dari Presiden mengenai polemik ini, mengeluarkan instruksi agar pengkondisian 75 pegawai KPK tersebut harus sesuai dengan komitmen pemberantasan korupsi.
Munculnya respon Presiden ini menunjukkan bahwa media sosial mampu mengamplifikasi suara publik. Didorong dengan media mainstream dan suara tokoh nasional, sebuah permasalahan bisa diupayakan untuk menjadi perbincangan nasional dan menarik perhatian banyak orang.
Namun hal ini tampaknya sulit dilakukan terkait permasalahan kemanusiaan di Papua. Saya memperhatikan bahwa perbincangan mengenai konflik kemanusiaan di Papua ini masih didominasi oleh sekelompok aktivis HAM saja.
Permasalahan Papua belum mampu menjadi isu nasional bersama, tampaknya sisi kemanusiaan belum menjadi wilayah perbincangan yang signifikan. Pemberitaan mengenai konflik kemanusiaan di Papua masih didominasi oleh pendekatan militeristik dari pemerintah pusat.
Hal ini diperparah dengan labelisasi terhadap kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua oleh Menkopolhukam Mahfud MD sebagai teroris. Labelisasi ini berujung pada instruksi untuk memperkuat operasi militer TNI-Polri di wilayah Papua.
Gubernur Papua, Lukas Enembe, mengatakan bahwa pelabelan ini memicu stigma negatif terhadap masyarakat Papua yang ada di perantauan. Dikutip dari CNN, Lukas menghimbau bahwa pelabelan teroris harus melalui kajian komprehensif dengan memperhatikan dampak sosial, ekonomi, dan hukum.
Lukas berharap bahwa pendekatan keamanan di Papua dilakukan secara lebih humanis dan mengedepankan pertukaran gagasan. Hal ini mengingatkan kita pada apa yang telah dilakukan oleh Gus Dur saat menjabat menjadi Presiden keempat RI.
Gus Dur mengedepankan dialog dengan para tokoh Organisasi Papua Merdeka saat itu. Gus Dur menemui semua perwakilan tokoh Papua, mendengarkan keinginan mereka dengan seksama dan memberikan jawaban yang solutif bagi masyarakat Papua dan pemerintah.
Salah satunya adalah mengganti nama Irian Jaya dengan Papua, hal ini dilakukan Gus Dur untuk mencegah kriminalisasi terhadap pihak yang menyebut kata “Papua” dalam diskusi mereka.
Gus Dur bahkan memperbolehkan bendera bintang kejora untuk berkibar, asal posisinya ada di bawah bendera Indonesia. Bendera bintang kejora bagi Gus Dur merupakan simbol kultural rakyat Papua, maka harus mendapatkan tempat di ruang publik Papua. Gus Dur juga membantu pembiayaan pelaksanaan Kongres Rakyat Papua.
Apa yang dilakukan Gus Dur merupakan contoh bagi kita semua, bahwa konflik kekerasan tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan. Jika tembakan senjata dilawan dengan senjata, tentu ini akan menciptakan lingkaran setan kekerasan yang tiada berujung.
Begitu pula dengan aksi solidaritas dan empati kemanusiaan. Hendaknya tidak hanya muncul dalam satu ikatan tertentu, misalnya agama. Namun permasalahan apapun yang tidak sesuai dengan norma, hukum, dan nurani kita sebagai manusia hendaknya menjadi keresehan bersama bagi kita semua.
“Senjata membunuh manusia dengan sekejap, sedangkan Korupsi dan ketidakadilan membunuh manusia dengan perlahan”.
Alfian Ihsan
Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Unsoed Purwokerto, Pegiat Forum Persaudaraan Lintas Iman Banyumas, ikut ‘rewang’ di Ikatan Sarjana NU (ISNU) Banyumas.