ROBINGAH sore itu tidak tenang saat arisan RT. Bukan karena kerumunan, bukan pula karena peraturan ketat lingkungan terkait pembatasan kegiatan masyarakat. Namun karena ada hal yang selama ini sangat menyakitkan dirinya, saat bertemu perempuan-peremuan lain.
Ibu tiga anak itu merasa sakit sekali setiap berkerumun dengan teman-temannya. Ada saja kalimat yang menusuk hatinya, dan memporak porandakan pikirannya.
Sebenarnya hal biasa, bahwa setiap bertemu, pasti mereka saling ngobrol, saling berbagi informasi penting, diskusi tentang lingkungan dan tak ketinggalan bercerita tentang kesuksesan anak masing-masing.
“Alhamdulillah, sekarang anak saya sudah diterima jadi PNS di kementerian kesehatan….” kata seorang ibu disela-sela pertemuan RT tersebut.
Ibu yang satu juga menimpali. “Anak saya lulus dengan predikat Cumlaude. Sudah ada perusahaan yang siap menampung, setelah wisuda nanti. IP nya 4 terus….”
Tak mau kalah dengan dua ibu tadi, istri salah satu pengurus RT juga berkisah tentang anaknya. “Anak saya sekarang sibuk sekali di tempat kerja. Ia sangat penting di antara pegawai-pegawai yang lain. Banyak pegawai yang sudah tua, sedang hanya dia yang ahli IT. Dia pulangnya sore terus…”
Robingah hanya bisa mendengarkan teman-temannya bercerita tentang anak-anaknya. Kisah-kisah tentang buah hatinya yang sukses dalam pendidikan dan dalam pekerjaan.
Perempuan itu tak mampu berbicara apapun. Ia merasa anaknya tidak mempunyai prestasi apapun yang perlu diceritakan kepada ibu-ibu peserta arisan tersebut. Ia merasa malu sendiri. Ia merasa telinganya ditusuk-tusuk dan ingin segera menyumbatnya dengan jari telunjuknya.
Pada ahirnya Robingah keluar. Ia pamit dari forum tersebut. Hatinya belum sembuh dengan kisah-kisah sukses anak-anak mereka. Saat melangkah di pintu pun, ia masih mendengar sayup-sayup ibu yang lain bercerita tentang anaknya yang lulusan STAN, dan baru dimutasi dari Jakarta ke Cilacap. “Anak saya dari SD sudah kelihatan pintar, rajin dan pandai mengaji.”
Robingah seperti terhuyung-huyung mendengar itu semua. Ia merasa anaknya adalah paling bodoh dan tidak bernasib baik.
Baca Juga : Badut Badut Bangsa
Keluar dari forum RT itu, ia mampir ke rumah saudaranya. Sebelum bertemu tuan rumah, dan berbicara apapun, ia sudah disuguhi gambar-gambar anak-anak saudaranya. Ada foto yang terpampang di dinding sebelah kanan tempat ia duduk. Ada juga yang di depan persis di atas televisi. Ruang tamu saudaranya penuh dengan foto-foto kesuksesan.
Sungguh, sekalipun tidak bicara dan mengeluarkan kata-kata, ternyata foto-foto di dinding itu mewakili ribuan kata-kata. Pesan dari foto-foto tersebut adalah sama dengan apa yang dikatakan ibu-ibu di forum RT tadi. Foto-foto dan dokumentasi tentang kesuksesan anak-anak penghuni rumah itu.
Ada foto kebanggaan anak saudaranya yang baru diwisuda dari kepolisian. Disebelahnya, ada lagi foto salah satu anaknya yang sedang berdiri dengan salah satu menteri kabinet Gotong Royong.
Robingah makin nelangsa. Kembali ia mengingat anaknya. Anaknya yang tidak sesukses anak-anak ibu yang lain. Rupanya hari ini Alloh Swt, menunjukan pada dia, bahwa mereka sukses, ia tidak sukses.
Ia tak lama di rumah saudaranya. Hatinya yang resah, membawanya ia pulang. Ia pun mengadukan kejadian itu kepada suaminya. Sang suami menjawab enteng, “Ikhtiar kita tinggal do’a. Siapa tahu Alloh mengubah takdir kami dan anak-anak kami…”.
Robingah lesu. Kenyataan hidup ini sangat pahit. Namun Alloh Swt maha berkehendak. Perempuan itu tak menjawab kata-kata suaminya (*)
Baturradden, Agustus 2021
[…] Baca Juga : Ikhtiar Kita Tinggal Doa […]