SAAT upacara pemakaman ulama kharismatik KH. Muhammad Ridwan Sururi, manusia tumpah ruah di depan Pondok Pesantren An Nur, Kedunglemah, Kedungbanteng, Banyumas.
Kehadiran wakil dari pemerintahan kabupaten, anggota dewan, ulama, habaib, tokoh masyarakat, alumni pesantren, santri, dan masyarakat pada umumnya, menunjukan bahwa beliau adalah Kyai Besar yang dicintai masyarakat, dan bukan orang sembarangan.
Ucapan belasungkawa lewat karangan bunga yang datang dari berbagai kalangan, menunjukan bahwa beliau mempunyai kontribusi besar kepada umat, lebih khusus lagi bagi warga NU di daerah Banyumas dan sekitarnya.
Saat do’a-do’a dipanjatkan, dan tadzkiroh disampaikan, semua yang hadir khusuk mendengarkan dan mengikuti dengan baik. Banyak yang meneteskan air mata, merasa kehilangan sosok ulama sepuh yang tidak pernah mengenal lelah dalam berdakwah.
Ada banyak hal yang tentunya tidak dilupakan oleh masyarakat tentang Kyai yang satu ini. Diantaranya adalah, ceramahnya yang enak di dengar disertai humor-humor segar, selalu memakai iket sebagai penutup kepala dimanapun beliau berada, bertempat tinggal di rumah gedheg yang sederhana dan hal-hal lain yang tidak bisa disebutkan semua disini.
Mendengar ceramah beliau yang renyah dan menghibur, tentu beliau sangat memahami, bahwa ada lapisan masyarakat di negeri ini yang membutuhkan pemahaman Islam dengan cara yang lemah lembut dan bukan menakut-nakuti, apalagi gampang mengkafirkan orang.
Ada juga beberapa pesan dan nilai-nilai luhur yang beliau sampaikan dengan tidak menggunakan kata-kata, namun bisa menjadi pelajaran besar bagi kita semua, yaitu iket yang senantiasa beliau kenakan, dan rumah gedheg sederhana yang dijadikan beliau sebagai tempat tinggal.
Iket, adalah salah satu penutup kepala khas yang ada di pulau Jawa, khususnya di Banyumas. Saat banyak sorban dan jubah mulai marak menjadi bagian dari pakaian muslim di tengah-tengah masyarakat, beliau masih bisa mempertahankan budaya sebagai bagian dari kehidupan sosial keagamaan kita. Dan seolah beliau ingin menunjukan bahwa tidak semua produk budaya nusantara itu bertabrakan dengan syariat Islam.
Rumah gedheg, sepertinya sang Kyai ingin berbicara bahwa hidup sederhana itu penting, disaat orang berlomba menampakan kesuksesan duniawi dengan tampilan fisik belaka. Pasti bukan karena beliau tidak mampu menggantinya dengan tembok semen. Bukan pula karena tak ada kepedulian dari orang-orang yang mampu, atau tak tersentuh program RTLH, namun pesan tanpa kata dari beliau, adalah contoh yang perlu kita ikuti.
Iket dan rumah gedheg sederhana, menjadi Tarbiyah penting bagi kita semua. Pesan tentang nilai budaya luhur dan nilai-nilai perilaku kehidupan masa kini yang semakin jauh dari Qona’ah (hidup sederhana), dan semakin dekat dengan perilaku hedonis (mengedepankan keduniaan).
Selamat jalan Kyai, rahmat Alloh senantiasa memayungi….. (*)
*) Penulis adalah Ketua Tanfidziyah NU Ranting Ketenger, Baturraden, Banyumas
[…] Baca Juga : Iket dan Rumah Gedheg Kyai Ridwan Sururi […]