Hukum Mengikuti Tarekat dan Implikasinya setelah Baiat
Mengikuti salah satu tarekat (thoriqoh) sebagai sebuah institusi seperti Syadziliyah, Qadiriyah, dan Naqsabandiyah telah menjadi tren keagamaan tersendiri bagi sebagian masyarakat Indonesia. Bahkan kerap terdengar dari kalangan penganutnya bahwa mengikuti tarekat adalah wajib.
Pernyataan ini tentu saja menakutkan bagi masyarakat awam yang belum mengikuti tarekat, sebab mereka berarti melakukan dosa secara terus menerus lantaran belum bergabung bersama tarekat. Pada saat yang sama, mereka juga merasa belum mampu untuk istiqamah selalu mengamalkan wirid-wiridnya. Di pihak lain, sebagian masyarakat Muslim yang lain justru menganggap amaliah tarekat bertentangan dengan agama.
Berangkat dari permasalahan ini, LBM NU Banyumas mengangkatnya sebagai salah satu permasalahan yang harus disikapi secara fikih dalam forum bahtsul masail, selain juga dua masalah lain berupa pemindahan jenazah dan puasa. Acara triwulan-an ini diadakan di PP. Darunnajah Pliken, Kembaran asuhan KH. Slamet Subakhi pada Sabtu (19/3).
Selain dihadiri oleh KH. Ahmad Hadidul Fahmi, Lc selaku ketua LBM NU Banyumas dan anggota-anggotanya, acara ini juga dihadiri oleh tokoh-tokoh penting di jajaran PCNU Banyumas, seperti Rois Suriyah NU Banyumas KH. Mughni Labib, M.Ag, Katib Suriyah Dr. Ansori, dan Ketua Tanfidziyah H. Sabar Munanto, M.Pd.I Turut hadir pula Pengasuh PP Al-Amin Purwokerto KH. Ibnu Mukti, M.Pd. Forum ini menjadi semakin meriah sebab kehadiran para delegasi dari MWC NU dan pesantren-pesantren di Banyumas.
Permasalahan tarekat ini kemudian dipecah menjadi dua pertanyaan, yaitu 1) Apa hukum mengikuti salah satu tarekat sebagaimana digambarkan di atas? Apa hukum mengamalkan wirid-wiridnya setelah seseorang melakukan baiat tarekat?
Baca Juga : Hukum Memakamkan Jenazah di Tanah Pribadi
Hukum Mengikuti Salah Satu Tarekat
Tim LBM NU Banyumas menemukan dua nukilan pokok untuk menyikapi pertanyaan pertama. Yang pertama adalah nukilan dari kitab Lawafih al-Anwar fi Thabaqat al-Akhyar karya al-Sya’roni (1/3),
(مُقَدِّمَةٌ) فِيْ بَيَانِ أَنَّ طَرِيْقَ الْقَوْمِ مُشَيَّدَةٌ بِالْكِتَابِ، وَالسُّنَّةِ، وَأَنَّهَا مَبْنِيَّةٌ عَلَى سُلُوْكِ أَخْلَاقِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْأَصْفِيَاءِ، وَبَيَانِ أَنَّهَا لَا تَكُوْنُ مَذْمُوْمَةً، إِلَّا إِنْ خَالَفَتْ صَرِيْحَ الْقُرْآنِ أَوِ السُّنَّةِ أَو الْإِجْمَاعِ لَا غَيْرُ، وَأَمَّا إِذَا لَمْ تُخَالِفْ، فَغَايَةُ الْكَلَامِ أَنَّهُ فَهْمٌ أُوْتِيْهِ رَجُلٌ مُسْلِمٌ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَعْمَلْ بِهِ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
“Pendahuluan dalam menjelaskan bahwa thariq (jalan menuju Allah) dari kaum itu diikatkan pada kitab dan sunah dan sesungguhnya ia dibangun berdasarkan pengamalan akhlak para nabi dan orang-orang suci dan penjelasan bahwa ia tidaklah tercela kecuali jika bertentangan dengan penjelasan yang terang dari al-Qur’an, sunah, atau ijmak, tidak selainnya. Adapun ketika ia tidak bertentangan (dengan tiga hal tadi), maka puncak kalam adalah bahwa ia adalah pemahaman yang diberikan pada seorang Muslim. Maka, barang siapa ingin (mengamalkan), maka amalkanlah, dan barang siapa yang ingin (meninggalkan), maka ia meninggalkannya.”
Kalimat yang bergaris bawah menunjukan bahwa mengikuti tarekat adalah boleh sebab al-Sya’rani memberikan pilihan untuk mengamalkan atau meninggalkannya.
Nukilan kedua diambil dari al-Fuyudat al-Rabbaniyyah (6-7).
فَاِنْ كَانَ الدُّخُوْلُ فِى الطَّرِيْقَةِ هُوَ التَّعَلُّمُ بِتَزْكِيَةِ النَّفْسِ عَنِ الرَّذَاءِلِ وَتَحْلِيَتِهَا بِالْمَحَامِدِ فَفَرْضُ عَيْنٍ. وَاِنْ كَانَ الْمُرَادُ بِهِ هُوَ الدُّخُوْلُ فِى الطَّرِيْقَةِ الْمُعْتَبَرَةِ المْخْصُوْصَةِ بِالذِّكْر واَلْاَوْرَادِ فَمِنْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهَ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Maka, jika (yang dikehendaki) masuk di dalam tarekat adalah belajar mensucikan hati dari akhlak-akhlak yang hina dan menghiasinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji maka hukumnya fardu/wajib ain. Namun, jika yang dikehendaki dengan masuk ini adalah masuk dalam tarekat muktabar yang terkhusus dengan zikir dan wirid-wirid, maka itu termasuk sunah Rasulullah Saw.
Berdasarkan dua ibarah di atas, Tim LBM menemukan bahwa hukum asal dari mengikuti salah satu tarekat adalah boleh. Namun, hukum asal ini bisa berubah sebab perbedaan tujuan yang ingin dicapai. Jika tujuannya adalah tazkiyah al-nafs (pensucian hati), maka hukumnya adalah wajib ain, sedangkan jika tujuannya adalah mengamalkan zikir dan wirid maka hukumnya adalah sunah.
Sebagian peserta LBM keberatan dengan hukum wajib ain ini. Mereka berpendapat bahwa tujuan tazkiyah al-nafs tidak selalu harus dicapai melalui salah satu tarekat tertentu atau yang disebut sebagai thariqah khashshah (tarekat khusus yang terlembagakan dan memiliki imam dan mursyid), namun bisa juga digapai melalui thariqah ‘ammah (jalan menuju Allah secara umum), seperti mengikuti pengajian, zikir, mujahadah, belajar ilmu-ilmu agama dan lain-lain. Sebab posisi tarekat sendiri adalah wasilah, bukan tujuan, sedangkan tujuan bisa dicapai melalui berbagai macam wasilah. Pendapat ini disandarkan pada kutipan dari kitab Dirasah fi Fiqh Maqashid al-Syari’ah karya Yusuf al-Qaradhawi (174).
أَنَّ مِنْهَا أَيْ الشَّرِيْعَةِ مَا يُقَرَّرُ الْمَبْدَأَ الْمَطْلُوْبَ وَهُوَ الْمَقْصُوْدُ لِلشَّارِعِ وَلَا يُعَيِّنُ لَهُ وَسِيْلَةً لِتَحْقِيْقِهِ لِأَنَّ الْوَسِيْلَةَ قَبِيْلَةٌ لِلتَّغْيِيْرِ وَالْإِخْتِلَافِ بِاخْتِلَافِ الْأَزْمِنَةِ وَالْأَمْكِنَةِ وَالْأَعْرَافِ وَالظُّرُوْفِ الْإِجْتِمَاعِيَّةِ وَالْإِقْتِصَادِيَةِ وَالسِّيَاسِيَّةِ وَلِهَذَا نَرَى الشَّارِعَ فِيْ هَذَا الْمَقَامِ يَتْرُكُ الْمُكَلَّفِيْنَ أَحْرَاْرًا فِيمَا يَخْتَارُ لِأَنْفُسِهِمْ مِنْ وَسَائِلَ مُلَائِمَةٍ وَلَا يُقَيِّدُهُمْ بِوَسِيْلَةٍ مُعَيَّنَةٍ
Sesungguhnya di dalam syariat Islam terdapat sesuatu yang ditetapkan sebagai dasar yang dicari, yaitu adalah tujuan dari Pembuat Syariat (Allah). Allah tidak menentukan suatu wasilah untuk mewujudkan tujuannya. Sebab, wasilah bisa berubah karena perubahan dan perbedaan dalam zaman, tempat, budaya, seting sosial, ekonomi, dan politik. Oleh karena itu, Aku melihat bahwa Pembuat Syariat dalam permasalahan ini meninggalkan para mukalaf sebagai orang-orang yang bebas dalam apa yang mereka pilih untuk diri mereka dari wasilah-wasilah yang relevan dan tidak mengikat mereka dengan satu wasilah tertentu.
Atas dasar ini, Tim LBM melihat hukum wajib mengikuti tarekat dari perspektif klasifikasi hukum wajib yang lain berupa dikotomi wajib mu’ayyah (kewajiban yang mengharuskan mukalaf melakukan satu hal tertentu) dan wajib mukhayyar (kewajiban yang memberi keleluasan bagi mukalaf untuk memilih salah satu di antara beberapa hal). Dengan demikian, hukum mengikuti salah satu tarekat adalah wajib mukhayyar ketika tujuannya adalah tazkiyah al-nafs, sebab tujuan ini bisa dicapai dengan wasilah-wasilah lain.
Baca Juga : Hukum Fidyah Puasa Menggunakan Makanan Siap Saji
Hukum Mengamalkan Wirid Setelah Baiat
Lantas, apa hukum mengamalkan wirid dari tarekat setelah seseorang sudah berbaiat kepada mursyid? Jawabannya adalah wajib sebab baiat/janji setia itu harus dipenuhi. Dengan demikian, meninggalkan mengamalkan adalah haram (berdosa). Jawaban ini merujuk pada kitab al-Fuyudat al-Rabbaniyyah (6-7).
أَمَّا الْعَمَلُ بِهَا بَعْدَ الْمُبَايَعَةِ فَوَاجِبٌ لِوَفَاءِ الْعَهْدِ.
“Adapun mengamalkan wirid-wirid tarekat setelah baiat adalah wajib sebab termasuk dalam permasalahan menepati janji.”
Jawaban ini juga didukung keterarang dari kitab Ruh al-Bayan (9/21) karya Ismail al-Istanbuli yang mengatakan,
الْمُبَايِعُوْنَ ثَلَاثَةٌ الرُّسُلُ وَالشُّيُوْخُ الْوَرَثَةُ وَالسَّلَاطِيْنُ وَالْمُبَايِعُ فِي هَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةِ عَلَى الْحَقِيْقَةِ وَاحِدٌ وَهُوَ اللهُ تَعَالَى وَهَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةُ شُهُوْدُ اللهِ تَعَالَى عَلَى بَيْعَةِ هَؤُلَاءِ الْاَتْبَاعِ وَعَلَى هَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةِ شُرُوْطٌ يَجْمَعُهَا الْقِيَامُ بِأَمْرِ اللهِ وَعَلَى الْاَتْبَاعِ الَّذِيْنَ بَايَعُوْهُمْ شُرُوْطٌ يَجْمَعُهَا الْمُتَابَعَةُ فِيْمَا أُمِرُوْا بِهِ فَأَمَّا الرُّسُلُ وَالشُّيُوْخُ فَلَا يَأْمُرُوْنَ بِمَعْصِيَةٍ أَصْلًا فَاِنَّ الرُّسُلُ مَعْصُوْمُوْنَ مِنْ هَذَا وَالشُّيُوْخُ مَحْفُوْظُوْنَ وَأمَا السَّلَاطِيْنُ فَمَنْ لَحِقَ مِنْهُمْ بِالشُّيُوْخِ كَانْ مَحْفُوْظًا وَلا َكَانَ مَخْذُوْلًا وَمَعَ هَذَا فَلَا ُيُطَاعُ فِيْ مَعْصِيَةٍ وَالْبَيْعَةُ لَازِمَةٌ حَتَى يَلْقَوْا اللهَ تَعَالَى
“Orang-orang yang membaiat itu ada tiga, yaitu para rasul/utusan, para guru yang mewarisi (ilmu rasul), dan para sultan, Yang membaiat dalam tiga orang ini pada hakikatnya adalah satu, yaitu Allah. Mereka bertiga adalah saksi-saksi Allah atas baiat para pengikut. Tiga orang saksi ini harus memenuhi syarat-syarat yang terkumpul dalam pekerjaan ‘menegakan perintah Allah’. Sementara para pengikut (yang berbaiat) harus memenuhi beberapa syarat yang terkumpul dalam pekerjaan ‘patuh pada apa yang diperintahkan’. Para utusan dan para guru tidak memerintahkan kemaksiatan sama sekali, karena para utusan merupakan orang-orang yang maksum di sini, sementara para guru adalah orang-orang yang terjaga. Para sultan merupakan orang yang sama dengan para guru yang terjaga dan tidak terhinakan. Atas dasar ini, tidak ada kepatuhan dalam maksiat. Baiat mengikat sampai para pengikut bertemu Allah.”
Baca Juga : Apa itu Binary Option? Bagamana Hukumnya Dalam Islam?
Kesimpulan
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa hukum asal mengikuti salah satu tarekat adalah boleh. Namun, ketika tujuan mengikutinya adalah untuk tazkiyah al-nafs maka hukumnya adalah wajib mukhayyar. Seseorang bisa memilih thariqah khashshah atau thariqah ‘ammah, namun jika tujuannya adalah untuk mengamalkan wirid-wirid, maka hukumnya adalah sunah. Kendati demikian, ketika seseorang sudah berbaiat pada mursyid tarekat tertentu, maka hukum mengamalkan wiridnya menjadi wajib, sebab baiat termasuk kategori janji yang harus ditepati.
Penulis : Akhmad Sulaiman, M.Pd
Anggota LBM NU Banyumas dan Pendidik di Pesantren Al-Ikhsan Beji, Kedungbanteng
Ketika seseorang ikut baiat sebuah tarekat tanpa mengetahui syarat atau riyadhoh tarekat tersebut, dan baru mengetahui nya setelah baiat, ternyata syarat atau riyadhoh nya terlalu berat baginya yg awam. Misal harus puasa 40 hari,sedang dia puasa Ramadhan yg 30 hari saja masih bolong. Apakah dia berdosa jika meninggalkan tarekat tersebut????