SEBELAS tahun sudah Presiden Joko Widodo menetapkan setiap tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Tentu ada banyak latar belakang sejarah yang mendorong penetapan Hari Santri tersebut. Hal ini merupakan simbolis negara dalam memberikan peran lebih terhadap Santri. Ada ruh, semangat dan nilai-nilai yang ingin terus dijaga dan ditanamkan.
Santri merupakan sosok pembaharu, santri tidak hanya sebatas penjaga tradisi, pada faktanya santri mampu merespon modernisasi dan globalisasi, mampu beradaptasi di setiap situasi dan kondisi. Kemampuan inilah yg membuat santri tidak hanya dimaknai sebagai orang yang mondok di pesantren saja.
K. H. Ma’ruf Amin pernah menegaskan bahwa santri bukan hanya peruntukan bagi orang yg mondok di pesantren saja dan identik dengan ngaji kitab kuning, namun santri adalah orang orang yang ikut dan patuh pada kiai.
Ada pergeseran paradigma terhadap makna santri itu sendiri, khususnya makna santri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, peran dan pengakuan santri kini lebih besar dan lebih meluas. Tidak hanya sebatas ngaji dan tinggal di pesantren saja.
Interpretasi makna santri juga pernah dikemukakan oleh K.H. Said Aqil Siradj. Santri itu jelas, adalah umat yg menerima ajaran islam dari para kiai, melakukan dakwah seperti halnya yg dilakukan oleh para walisongo, santri menyebarkannya dengan menghormati budaya, berakhlakul karimah kecuali budaya yg bertentangan dengan islam.
Jika kita amati interpretasi dari kedua makna santri diatas, maka ada pengkategorian makna santri. Pertama, santri yang memang tinggal dan belajar islam di pesantren. Kedua, santri yang belajar dan berdakwah islam dari para kiai tapi tidak di pesantren.
Tentu ada banyak kalangan yang masuk sebagai kategori santri yang kedua (tidak di pesantren). PMII salah satunya, organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ini jelas masuk sebagai kategori santri. Dimulai dari sejarah, PMII didirikan oleh para ulama NU yang jelas ke-santrian mereka. Nilai-nilai dan semangat dakwah islam yang dipegang juga merupakan pengejawantahan dari para kiai di pondok pesantren.
Bahkan, metode-metode kaderisasi yg diterapkan di PMII selaras dengan tradisi santri yang ada berlaku di pesantren. Tidak hanya itu rutinitas seperti tahlil, yasiinan dan ziarah sudah cukup menunjukan bahwa kader/anggota PMII adalah santri.
PMII merupakan wadah bagi manusia yang ingin berkembang dan belajar, seperti halnya pesantren adalah wadah bagi orang² yg ingin belajar islam. Akan sangat sulit untuk mengatakan bahwa PMII bukan santri, bahkan bisa dikatakan PMII merupakan sebuah pondok pesantren tanpa bangunan.
Namun hal itu nampaknya kurang disadari oleh banyak anggota/kader PMII hari ini. Semangat dan ruh santri hampir terkikis di tubuh PMII Purwokerto. Sederhana saja, sudah jarang agenda-agenda kajian islam bersama para kiai atau ustadz di pesantren.
Hampir tidak ada pemandangan kader PMII sowan’ untuk sharing ke para kiai baik yg di pesantren ataupun tidak. Aktivitas kegiatan lebih banyak dilaksanakan di ruang publik daripada di pondok pesantren.
Terlepas dari PMII yang hampir jauh dari pesantren atau pesantren yang sudah enggan menerima bahkan tidak mengenal PMII karena banyak hal. Maka, sebagai bentuk Refleksi Hari Santri Nasional 2022, demi mengembalikan kesamaan ruh dan semangat sebagai santri-mahasiswa-kader NU. Mari PMII kita Kembali ke Pesantren, pada hakikatnya PMII adalah santri.
Fahrul Rozik
Ketua PC PMII Purwokerto