Haji Selain Pakai Visa Haji, Sah Tapi Haram!

Kiai Mukhlisin Hasbullah, berada paling kiri, membacakan deskripsi masalah dalam forum bahstul masail. Di sebelahnya adalah Ustaz Agus Sunaryo, M.S.I, sekjen LBM PCNU Banyumas, KH Ahmad Hadidul Fahmi, Lc., M.H, Ketua LBM PCNU Banyumas, Dr. Ibnu Asadudin, M.Pd, Kepala Kantor Kemenag Banyuma, dan KH Mughni Labib, Rois Syuriyah PCNU Banyumas

Purwokerto (09/06/2024).
Baru-baru ini, Hai’ah Kibar al-Ulama Arab Saudi mengeluarkan fatwa yang melarang jamaah haji dengan menggunakan selain visa haji. Hal tersebut didasarkan pada dua pertimbangan utama, yaitu: untuk meminimalisir terjadinya hal-hal yang dapat merugikan jamaah, dan untuk menjamin pelaksanaan ibadah haji yang tertib secara administratif, aman, dan nyaman.

Para jamaah yang melanggar aturan tersebut dinilai telah berdosa sebab tidak taat kepada pemerintah. Berkaitan dengan ini, Kementerian Agama Republik Indonesia memberikan penegasan bahwa pada tahun 2024 hanya jamaah yang menggunakan visa haji saja yang dapat menunaikan ibadah haji.

Berangkat dari permasalahan ini, LBM PCNU Banyumas menyelenggarakan forum bahstul masail yang dihelat di Pondok Pesantren Daarul Muttaqin, Klapagading, Wangon, Banyumas pada 7 Juni 2024. Salah satu tujuannya adalah berusaha untuk merespon problem ini.

Forum yang dihadiri oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Dr. Ibnu Asaduddin, S.Ag. M.Pd., Rois Syuriah PCNU Banyumas KH. Mughni Labib, M.Ag., Ketua LBM PCNU Banyumas KH Ahmad Hadidul Fahmi, Lc., M.H., beserta para pengurus LBM PCNU Banyumas, dan perwakilan dari MWC-MWC di kabupaten banyumas ini berusaha untuk menjawab pertanyaan 1) apa status visa dalam konteks fikih haji? 2) apakah menunaikah haji dengan selain visa haji dapat berimplikasi dosa bagi para pelakunya? 3) apa hukumnya melaksanakan haji dengan selain visa haji?

Status Visa dalam Konteks Fikih Haji

Visa merupakan bagian dari aturan-aturan baru yang telah ditetapkan dalam hubungan internasional dunia modern. Dalam diskursus liletatur fikih klasik, visa belum dibicarakan karena belum ada persoalan ini. Namun dalam diskurus fikih kontemporer, visa dimasukan ke dalam bagian dari istitha’ah (mampu berhaji) yang menjadi syarat wajib haji (syarat orang berkewajiban haji, bukan syarat yang mengabsahkan haji) sebagaimana apa yang dijelaskan dalam kitab Fadhl Rabb al-Bariyyah fi Syarh al-Durar al-Bahiyyah (236),

«فضل رب البرية في شرح الدرر البهية» (ص236 بترقيم الشاملة آليا):

«الشرط الرابع: الاستطاعة، ودليلها ما تقدم من قول الله تبارك وتعالى: {من استطاع إليه سبيلاً}، والمقصود بالاستطاعة، توفر الأسباب التي تُمَّكنه من أداء فريضة الحجِّ، ويدخل في ذلك: المال والصحة.وتأشيرة ‌الحج فإنها تعتبر من ضمن الاستطاعة»

Syarat keempat adalah istitha’ah (mampu). Dalilnya adalah firman Allah yang telah lalu, yakni ‘barang siapa mampu ke jalan baitullah’. Yang dimaksud mampu di sini adalah terpenuhinya sebab-sebab yang memungkinkan orang menunaikan kewajiban haji, yakni harta (biaya), kesehatan, dan visa haji. Ketiganya diperhitungkan sebagai bagian dari sifat mampu.

Status Berdosa bagi Orang yang Berhaji menggunakan Selain Visa Haji

Visa haji (resmi) terwujud dalam visa reguler yang diperuntukan bagi jamaah haji (umum), haji plus, dan panitia PPIH (Panitia Penyelenggara Ibadah Haji) dan visa mujammalah yang diperuntukan untuk jamaah haji furoda. Selain visa-visa ini bukanlah visa resmi haji. Visa-visa resmi ini berimplikasi pada pemberian tasrih haji (rekomendasi bagi seseorang untuk dapat melaksanakan ibadah haji).

Adapun visa-visa selain ini, seperti visa syakhsiyah (visa yang dikeluarkan oleh perorangan atau tokoh dari Arab Saudi), visa ‘umal (pekerja), visa ziarah (kunjungan), dan lain-lain tidak menjamin pemberian tasrih haji. Seseorang yang melaksanakan haji tanpa tasrih adalah ilegal dan diberi sanksi. Dalam kabar terakhir, ditemukan bahwa 37 jamaah haji yang asal Indonesia dideportasi sebab tidak menggunakan visa resmi.

Menyikapi hal ini, forum bahstul masail mendudukan permasalahan visa ke dalam isu kepatuhan terhadap pemerintah. Pengarang kitab Bughyah al-Mustarsyidin, Sayyid ‘Abdurrahman Ba’alawi mengatakan,

بغية المسترشدين (1/189)

والحاصل أنه تجب طاعة الإمام فيما أمر به ظاهراً وباطناً مما ليس بحرام أو مكروه، فالواجب يتأكد، والمندوب يجب وكذا المباح إن كان فيه مصلحة

Kesimpulannya adalah bahwa kepatuhan pada imam adalah wajib baik secara lahir maupun batin dalam apa yang ia perintahkan selagi apa yang ia perintahkan bukan hal yang haram atau makruh. (Dengan perintah imam ini), sesuatu yang wajib menjadi kukuh kewajibannya dan yang sunah menjadi wajib. Hal yang mubah juga menjadi wajib ketika di dalamnya terdapat kemaslahatan umum.

Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah Arab Saudi dalam membatasi kuota haji melalui pembatasan pengeluaran visa haji dipandang sebagai upaya pelestarian kemaslahatan umum. Andai orang-orang yang menunaikan haji tidak dibatasi dan tidak diatur, maka hal ini bisa menimbulkan pembludagan orang-orang di tanah haram yang dapat mengancam keselamatan jiwa jamaah haji.

Dengan demikian, patuh pada aturan pembatasan haji melalui kebijakan pengeluaran visa haji ini wajib diikuti. Impilasinya, orang-orang yang tidak patuh dengan aturan pemerintah ini berdosa.

Hukum Haji dengan Selain Visa Haji

Melihat pada penjelasan-penjelasan di atas, haji dengan selain visa haji tidak bisa dibenarkan sebab melanggar peraturan pemerintah, baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah Arab Saudi. Selain itu, orang-orang yang berhaji dengan selain visa haji dinilai sebagai orang yang ghosob, yakni orang yang mengghosob fasilitas-fasilitas yang semestinya hanya diperoleh oleh orang-orang yang masuk dalam kuota haji seperti fasilitas kelebaran ruang jalan dari safwa ke marwah, kelebaran masjidil haram untuk towaf, tenda di Arafah, dan fasilitas-fasilitas umum lain.

Dalam mendudukan kasus ghosob ini, para ulama berbeda pendapat. Imam Abu Hanifah, imam Malik, dan imam al-Syafi’i memandang ghosob sebagai amr gair lazim (perkara yang tidak terikat secara langsung dengan haji). Dengan demikian, selagi syarat sah, rukun, dan wajib hajinya terpenuhi, maka hajinya tetap sah namun pekerjaan ini haram sebab termasuk maksiat. Sementara itu, imam Ahmad justru menganggap hajinya orang yang ghasab tidak sah sama sekali.

رحمة الأمة في اختلاف الأئمة (97)

من غصب مالا فحج به أو دابة فحج عليها صح حجه وإن كان عاصيا عند أبي حنيفة ومالك والشافعي وعن أحمد أنه لا يجزئه

“Barang siapa mengghosob suatu harta, lalu ia haji dengan harta tersebut, atau mengghosob kendaraan, kemudian ia haji dengan kendaraan itu, maka hajinya sah walaupun ia dihukumi maksiat menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam al-Syafi’i. Dari pendapat imam Ahmad, hajinya tidak mencukupi/tidak sah.”

 Forum bahstul masail sendiri lebih contoh pada pendapat imam Abu Hanifah, imam Malik, dan imam al-Syafi’i yang mengatakan bahwa pelaksanaan haji dengan selain visa haji itu sah, namun haram dan berdosa.

Penutup
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa visa haji berkaitan dengan dua hukum. Di satu sisi, visa haji merupakan bagian dari istitha’ah (sifat mampu) yang merupakan salah satu syarat wajib haji, namun di sisi lain visa haji juga merupakan bagian dari peraturan pemerintah untuk menjamin kemaslahatan jiwa jamaah haji dan menjaga hak-hak mereka untuk dapat melaksanakan haji dengan nyaman.

Dengan pertimbangan ini, pelaksanaan ibadah haji dengan selain visa haji sama sekali tidak direkomendasikan karena hanya akan menjadi pekerjaan sia-sia, berdosa, dan menimbulkan kemadaratan.

Dr. Akhmad Sulaiman
Wakil Sekretaris LBM PCNU Banyumas, Dosen UNU Purwokerto

Tulisan sebelumnyaIslam dan Selera Kita Tentang Islam
Tulisan berikutnyaBolehkah Puasa Arafah Tidak Bersamaan Wukuf di Arafah?

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini