Duh! Janda Hamil Sebab Zina, Nikah pada Masa Idah.. Bagaimana Pandangan Fiqh?

MASYARAKAT kerap kali awam terhadap aturan-aturan mapan dalam agama. Keawaman ini kerap menyebabkan mereka menerjang aturan-aturan agama tanpa mereka sadari. Seperti dalam kasus misalnya, seorang perempuan yang hamil sebab berzina kemudian menikah dengan lelaki yang menghamilinya. Namun kemudian, wanita ini diceraikan oleh suaminya.

Belum sampai melahirkan anaknya, wanita ini kemudian menikah dengan lelaki lain.
Kasus ini kemudian menyisakan pertanyaan berupa “Bagaimana perhitungan masa idah perempuan tersebut?” Jika perhitungan idah menggunakan kelahiraan anaknya, perhitungan ini akan memunculkan sanggahan misalnya “idah tidak bisa diakhiri dengan kelahiran, sebab kehamilan telah ada sebelum akad nikah”.

Namun jika idah dihukumi dengan tiga kali suci dari haid, idah tersebut akan terasa aneh mengingat wanita tersebut nyata-nyata sedang hamil. Penentuan masa idah ini juga berpengaruh terhadap pertanyaan berikutnya berupa “Bagaimana hukum pernikahan dengan suami keduanya?”

Dua pertanyaan ini kemudian berusaha dijawab dalam forum bahstul masail yang diselenggarakan oleh LBM PCNU Banyumas. Forum Bahstul Masail diselenggarakan di PP al-Ittihad Pasir Kidul Purwokerto Barat. Forum ini dihadiri oleh Rois Suriyah KH. Mughni Labib, M.Ag, Katib Suriyah Dr. KH. Anshori, M.Ag., Ketua LBM KH. Hadidul Fahmi, Lc beserta para anggotanya, KH Nurul Huda dari PP al-Falah Sumpiuh, Prof. Dr. Ridwan, M.Ag dari UIN Purwokerto, dan delegasi-delegasi dari pesantren dan MWC NU di Kabupaten Banyumas.

Ini merupakan forum bahstul masail triwulan-an terakhir dari kepengurusan PCNU Banyumas periode 2017-2022.

Status Nasab Anak dalam Kandungan
Mengetahui status nasab anak sebab zina yang mana ibunya dinikahi oleh lelaki yang menghamilinya akan menjadi signifikan dalam penentuan perhitungan masa idah perempuan yang dibahas di sini. Sebab, status nasab dari anak ini akan menentukan apakah perhitungan idah menggunakan kelahiran atau tiga kali suci dari haid.

Dalam kacamata fikih, nasab anak dinisbatkan kepada ayahnya jika kelahiran anak terjadi dalam batas minimal masa kehamilan yaitu enam bulan plus dua momen waktu (waktu akad nikah dan waktu kemungkinan melakukan jimak) dan batas maksimal masa hamil yaitu empat tahun, terlepas dari apakah anak itu merupakan hasil dari hubungan biologis yang sah secara agama atau dari zina.

Ibnu Ziyad dalam Gayah Takhlis al-Murad (242) memberikan penjelasan dalam fatwanya sebagai berikut.
(مسألة) نكح حاملا من الزنا فأتت بولد لزمان إمكانه بأن ولدت لستة أشهر ولحظتين من عقده وإمكان وطئه لحقه
“(Masalah) seorang lelaki menikahi wanita hamil dari zina, kemudian dia melahirkan anak pada waktu yang memungkinkannya (memungkinkan berkumpul) dengan gambaran wanita tersebut melahirkan setelah waktu enam bulan dan dua momen waktu yakni akad nikah dan kemungkinan melakukan jimak, maka anak tersebut dinisbatkan kepada lelaki tersebut.”

Berkaitan dengan batas lama waktu hamil, Syaikh al-Syirbini dalam al-Iqna fi Hall Alfadz Abi Syuja’ (1/99) mengatakan,
(وَأَقل) زمن (الْحمل سِتَّة أشهر) ولحظتان لَحْظَة للْوَطْء ولحظة للوضع من إِمْكَان اجْتِمَاعهمَا بعد عقد النِّكَاح (وَأَكْثَره) أَي زمن الْحمل (أَربع سِنِين وغالبه تِسْعَة أشهر) للاستقراء كَمَا أخبر بِوُقُوعِهِ الشَّافِعِي
“Batas minimal dari waktu kehamilan adalah enam bulan dan dua momen waktu yakni waktu untuk jimak dan waktu untuk melahirkan dari kemungkinan kumpulnya suami dan istri setelah akad nikah. Adapun batas maksimal dari kehamilan adalah empat tahun sedangkan umumnya adalah sembilan bulan berdasarkan penelitian (pengumpulan data) seperti apa yang Imam al-Syafi’i beritakan terjadinya. ” (al-Iqna fi Hill Alfadz Abi Syuja’)

Sebagai catatan, watak fikih adalah menggantungkan hukum pada sesuatu yang bersifat dzahir (empiris/bisa ditangkap oleh indera). Oleh sebab itu, penisbatan nasab anak tidak digantungkan pada kejadian pembuahan sperma ayah terhadap ovum ibu sebab proses ini bersifat samar (khafiyy) atau tidak bisa ditangkap oleh indera, tetapi digantungkan pada akan pernikahan yang bersifat empiris (dzahir). Dalam Ilm Ushul al-Fiqh, Abdul Wahhab Khalaf menjelaskan,
أن تكون وصفا ظاهرا. ومعنى ظهوره أن يكون محسا يدرك بحاسة من الحواس الظاهرة…ولهذا لا يصح التعليل بأمر خفي لا يدرك بحاسة ظاهرة لأنه لا يمكن التحقق من وجوده وعدمه فلا يعلل ثبوت النسب بحصول نطفة الزوج في رحم زوجته, بل يعلل بمظنته الظاهرة وهي عقد الزواج الصحيح
“Ilat harus berupa sifat yang zahir. Makna dari zahir adalah bahwa sifat yang dijadikan ilat bisa ditangkap oleh salah satu dari indera-indera yang dzahir… Oleh sebab itu, penggantungan hukum pada perkara yang samar yang mana tidak bisa ditangkap oleh indera yang dzahir tidak sah sebab memastikan keberadaan dan ketidakberadaannya tidak memungkinkan. Maka, tetapnya nasab tidak digantungkan pada pembuahan sperma suami di dalam rahim istri, tetapi ia digantungkan pada tempat sangkaan yang bersifat zahir dari adanya proses tersebut yaitu akad nikah yang sah.”

Pengaruh Status Nasab Anak terhadap Ketentuan Idah

Berdasarkan keterangan-keterangan yang telah dijelaskan di atas, forum bahstul masail menyimpulkan bahwa jika anak dari perempuan tersebut lahir enam bulan plus dua momen waktu setelah akad nikah, maka perhitungan idah perempuan ini menggunakan kelahiran anak sebab nasab anak dapat dinisbatkan kepada ayahnya. Akan tetapi jika kelahiran anak kurang dari enam bulan plus dua momen waktu, maka perhitungan idah tidak bisa menggunakan kelahiran. Sebab nasab anak tidak bisa dinisbatkan kepada ayahnya. Oleh sebab itu, perhitungan idah menggunakan tiga kali suci.
Kesimpulan ini diperkuat dengan keterangan Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Tausyi ‘ala Ibn Qasim (353).
(وإن كانت) أي المعتدة عن المفارقة في الحياة (حائلا) أو حاملا بحمل غير منسوب لصاحب العدة (وهي من ذوات) القرء (أي صواحب الحيض) بأن كانت تحيض ولو مرة ولم تبلغ سن اليأس (فعدتها ثلاث قروء وهي الأطهار…)
“Dan jika wanita yang idah dari perceraian dalam hidup (maksudnya ditalak, pen) itu hamil dengan kandungan yang tidak dinisbatkan kepada orang yang memiliki idah (mantan suami, pen), sedangkan wanita ini termasukan orang yang beridah dengan hitungan suci (maksud berdasarkan hitungan suci ini adalah sebagai lawan dari hitungan bulan dari perempuan yang tidak haid, pen) yakni wanita-wanita yang haid dengan gambaran dia pernah haid walaupun sekali dan dia belum sampai usia menopause, maka idahnya adalah tiga kali suci.”

Namun sebagai catatan, dua ketentuan ini berlaku jika di dalam pernikahan, suami dan istri telah berjimak. Jika ternyata suami dan istri tersebut tidak berjimak selama pernikahannya, maka sebagaimana ketentuan umum fikih, perempuan tersebut tidak memiliki masa idah.

Hukum Pernikahan Saat Janda Masih Hamil
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas dan mempertimbangkan bahwa keadaan perempuan saat dinikahi oleh suami kedua dalam keadaan hamil, forum bahstul masail menyimpulkan bahwa hukum pernikahan perempuan dengan suami kedua tidak sah baik perhitungan idah perempuan menggunakan kelahiran maupun menggunakan tiga kali suci dari haid. Jika perhitungan idah perempuan tersebut menggunakan kelahiran (jika nasab anaknya dinisbatkan kepada suami pertamanya), maka pernikahan tidak sah sebab nyata-nyata perempuan masih dalam keadaan hamil. Namun jika idah perempuan menggunakan perhitungan tiga kali suci dari haid, maka masa idah perempuan lebih lama lagi sebab perempuan ini tidak haid kecuali setelah dia melahirkan dan nifas.

Tulisan sebelumnyaKader Kampus UNU Purwokerto Harus Jadi Pioner Gerakan PMII
Tulisan berikutnyaGebyar Sholawat, Meriahkan HSN dan Maulid Nabi Fatayat NU Cilongok

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini