SEBUAH kabupaten atau kota madya sewajarnya hanya memiliki satu pengurus cabang (PC) dari organisasi. Namun ternyata, kabupaten tertentu memiliki dua PC. PC yang satu dinamai dengan nama kabupaten sedangkan PC yang kedua dinamai dengan nama kecamatan tertentu yang mana masing-masing dari kedua PC tersebut menaungi beberapa pengurus kecamatan.
Jika ditinjau dari AD/ART organisasi, keberadaan PC cabang di dalam satu kabupaten ternyata boleh. Akan tetapi, keberadaan dua PC ini terkadang menimbulkan beberapa permasalahan dalam koordinasi baik koordinasi ke atas dengan pengurus wilayah seperti misalnya PC yang menggunakan nama kecamatan kerap terlewat oleh pengurus wilayah (PW), maupun koordinasi ke bawah seperti misalnya anggota-anggota kepengurusan kecamatan berpindah naungan dari PC yang satu ke PC yang lain.
Ada upaya dari PC yang menggunakan nama kabupaten untuk menyatukan organisasi guna menghindari masalah-masalah di atas. Ini tentu saja tawaran yang bisa melegakan PC yang dengan nama kecamatan. Akan tetapi, PC kedua ini menolak dengan argumen bahwa mereka berkomitmen untuk tidak bersatu sebab memegang wasiat dari tokoh agama kharismatik dari kecamatan tersebut.
Permasalahan di atas diangkat oleh LBM PCNU Banyumas dengan berangkat dari pertanyaan “Bagaimana fikih menghukumi wasiat seperti dalam deskripsi di atas? Apakah harus dilaksanakan atau boleh diabaikan?”
Selain mengangkat wasiat mengenai pemisahan organisasi, forum bahstul masail ini juga mengangkat masalah pelaksanaan sebagian rukun-rukun haji oleh orang lain, permasalahan ganja sebagai obat, idah wanita hamil sebab berzina, dan pendirian masjid beda ormas dalam satu desa.
Forum Bahstul Masail yang diselenggarakan di PP al-Ittihad Pasir Kidul Purwokerto Barat ini dihadiri oleh Rois Suriyah KH. Mughni Labib, M.Ag, Katib Suriyah Dr. KH. Anshori, M.Ag., Ketua LBM KH. Hadidul Fahmi, Lc beserta para anggotanya, KH Nurul Huda dari PP al-Falah Sumpiuh, Prof. Dr. Ridwan, M.Ag dari UIN Purwokerto, dan delegasi-delegasi dari pesantren dan MWC NU di Kabupaten Banyumas. Ini merupakan forum bahstul masail triwulan-an terakhir dari kepengurusan PCNU Banyumas periode 2017-2022.
Ketentuan Wasiat dalam Fikih
Para peserta bahstul masail berusaha mencari penjelasan-penjelasan fikih mengenai wasiat. Mereka menemukan bahwa jika ditinjau dari definisi kebahasaan, apa yang disampaikan oleh tokoh agama kharismatik tersebut termasuk wasiat sebab makna asal dari wasiat sendiri adalah menyampaikan, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Zainudin al-Malibari dalam Fath al-Muin (423).
هي لغة الإيصال: من وصى الشيء بكذا وصله به لان الموصي وصل خير دنياه بخير عقباه.
“Wasiat secara bahasa berarti menyampaikan. Orang yang berwasiat sesuatu agar ‘begini’ berarti dia menyampaikan sesuatu agar begini. Sebab, orang yang berwasiat menyampaikan kebaikan dunia dan kebaikan akhiratnya.”
Akan tetapi, wasiat dalam definisi fikih bermakna lebih sempit lagi. Menurut al-Malibari, wasiat secara fikih berarti mendermakan hak yang disandarkan untuk waktu setelah mati.
وشرعا تبرع بحق مضاف لما بعد الموت
“Adapun wasiat secara syarak berarti mendermakan hak yang disandarkan untuk waktu setelah mati.”
Lebih jauh, ketentuan-ketentuan wasiat membatasi sesuatu yang diwasiatkan harus berupa harta atau sesuatu yang boleh dimiliki sebagaimana imam al-Qafal al-Kabir jelaskan dalam Mahasin al-Syari’ah fi Furu’ al-Syafi’iyyah (511),
مما يدخل في جملة العطايا ما يقع بعد الموت وهو ما يصي به المرأ لغيره من مال أو شيء يجوز تملكه
“Termasuk dari kelompok pemberian adalah sesuatu yang terjadi setelah kematian. Ini maksudnya adalah sesuatu yang seseorang wasiatkan pada orang lain berupa harta atau sesuatu yang boleh dimiliki”
Berdasarkan keterangan-keterangan ini, wasiat mengenai pemisahan organisasi tidaklah termasuk wasiat dalam kacamata fikih mengingat organisasi bukanlah harta atau sesuatu yang boleh dimiliki. Organisasi tidak dimiliki oleh siapapun dan bahkan keberadaan kepengurusannya pun tidak bersifat permanen. Dengan demikian, wasiat mengenai pemisalahan organisasi boleh dikerjakan dan boleh pula tidak dikerjakan.
Penutup
Kutipan-kutipan di atas telah menunjukan bahwa apa yang mungkin selama ini kita anggap sebagai wasiat dalam kacamata fikih tidak selalu disebut sebagai wasiat. Apa yang disebut wasiat oleh PC kedua merupakan wasiat secara etimologi (bahasa) saja, bukan wasiat secara terminologi fikih. Wasiat etimologi ini dalam bahasa kita lebih tepat disebut sebagai pesan, petuah, atau welingan.
Dengan demikian welingan dari tokoh agama kharistamatik sebenarnya boleh untuk dilaksanakan dan boleh pula untuk diabaikan. Dalam hal ini, pelaksanaan atau pengabaian akan welingan tersebut harus menimbang secara serius mengenai kemaslahatan dari keberlangsungan organisasi. Mungkin saja, welingan dari tokoh agama kharismatik tersebut memiliki kemaslahatan pada masanya. Namun, seiring dengan bergantinya ruang dan waktu, nilai kemaslahatan dari welingan bisa ditinjau kembali.
Dr. Akhmad Sulaiman, Anggota LBM PCNU Banyumas dan dosen ilmu-ilmu keislaman di Fakultas Agama Islam UNU Purwokerto