Sesampainya di Dusun Karangcengis, Lesamana Ajibarang, Banyumas Ghufron tampak bingung sekaligus kaget melihat kondisi pesantren barunya itu. Ia heran karena tidak ada satupun santri yang mukim di pondok tersebut, hanya ada kamar-kamar santri yang kosong, dan sisa-sisa bekas peninggalan para santri sebelumnya.
“Katanya Mbah Yusuf ngajak saya mondok, tapi kok tidak ada santrinya, tidak ada temanya,” kata Ghufron dalam hatinya.
Rasa kecewa pun diam-diam muncul dalam hati Ghufron, karena apa yang ia harapkan berbanding terbalik dengan kenyataan. Tapi kekecewaan itu tak bisa ia ungkapkan, hanya bisa ia pendam dalam-dalam dan ia sembunyikan dari Mbah Yusuf. Ghufron pun akhirnya hanya bisa pasrah dengan keadaan dan menerima statusnya sebagai satu-satunya santri Mbah Yusuf yang mukim waktu itu.
Begitulah kira-kira kondisi pesantren Tahfidzul Quran Al Azhary yang diasuh oleh KH Yusuf Azhary (Mbah Yusuf) pada akhir tahun 1997-an, tepatnya ketika Ghufron yang jauh-jauh datang dari Malang menginjakan kaki pertama kalinya di pesantren tersebut.
Saat itu, kondisi Dusun Karangcengis, Lesmana belum seperti sekarang, rumah-rumah warga masih jarang dan pagar-pagar hidup masih banyak berdiri memenuhi kanan kiri jalan menuju pesantren Tahfidzul Quran.
Baca Juga : Lantunan Al Quran Pemecah Keheningan
Tapi meski demikian, perlahan-lahan Ghufron akhirnya memahami satu hal yang mungkin tak akan pernah dialami oleh santri-santri Mbah Yusuf yang lainya, yakni karena dalam kesendiriannya itu Ghufron akhirnya bisa menjadi semakin dekat dengan kiai dan keluarganya.
Kesendirian Ghufron selama menjadi santri satu-satunya Mbah Yusuf itu berlangsung selama sembilan bulan. Hanya berdua saja antara Ghufron dan Mbah Yusuf melakukan banyak sekali aktivitas, tak hanya melakukan aktivitas layaknya seorang guru dan murid, tapi juga aktivitas seprti dalam sebuah keluarga.
**********
Karena Mbah Yusuf sebelumnya sudah tahu jika Ghufron bisa berbahasa Arab maka dalam setiap percakapannya dengan Ghufron, Mbah Yusuf selalu menggunakan bahasa Arab. Entah kehidupan sehari-hari, sampai ketika ngaji, Mbah Yusuf memakai bahasa Arab dalam menjelaskannya.
Suatu ketika saat jadwal ngaji kitab Tafsir Jalallain, Mbah Yusuf menjelaskannya ayat yang sedang dikaji memakai bahasa Arab dengan sangat lancar dan fasih. Ghufron yang sebenarnya kemampuan bahsa Arabnya masih sangat jauh dari kata pandai itu akhinya hanya bisa manggut-manggut, hingga akhir pengajian selesai.