PERBEDAAN TANPA KEKERASAN. Begitulah bunyi stiker hitam putih yang saya masih temui di rumah orang tua. Stiker ini bagi sebagian orang pasti sangat istimewa terutama bagi mereka aktivis pelajar Nahdlatul Ulama di tahun 2001. Stiker itu menjadi penanda adanya seremonial pergantian pengurus cabang IPNU IPPNU Banyumas.
Sekali lagi saya yakin di tahun 2001, stiker masihlah sangat istimewa. Bagaimana tidak, akses untuk membuat stiker tentulah tak semudah seperti sekarang ini. Istimewanya lagi stiker ini bahkan mencapai ke desa-desa yang notabene belumlah tersentuh intens oleh organisasi pelajar Nahdliyin waktu itu. Aktivis IPNU IPPNU waktu itu di desa pastilah masih bisa dihitung dengan jari.
Saya masih ingat, mengenal aktivis pelajar Nahdliyin ini ya dari kegiatan tarling, tarawih keliling. Pemandangan para aktivis yang hebat berambut gondrong ganteng pinter ndalil dan ceramah agama begitulah gambaran saya di waktu kecil ketika melihat kehadiran tiga orang pemuda aktivis Ormas bintang sembilan ini.
Kembali ke stiker hitam putih yang berpesan tegas ini, bisa dibaca tak semata apa yang ditulis. Kalau mengacu pada teori semiotika ahli linguistik Perancis, Ferdinand de Sausure, sebuah stiker yang mungkin jadi alat untuk menarik iuran warga bisa dilihat sebagai penanda dan petanda.
Perbedaan tanpa kekerasan bisa dilihat sepintas sebagai penanda simbol tema suatu kegiatan. Namun sebagai petanda, tulisan dalam stiker ini bisa jadi mempunyai pesan mendalam. Di dalamnya ada konsep mental, ideologis yang menjadi pesan, elan vital sebuah organisasi di masa tiga tahun reformasi berjalan.
Ya, tanpa teoripun, pesan yang disampaikan dalam stiker itu sungguh universal. Di mana tiga kata yang tertulis putih tebal itu, menegaskan adanya kondisi riil tentang adanya sunatullah, kenyataan berupa PERBEDAAN. Selanjutnya penegasan soal ‘das sollen‘ yang seharusnya dilakukan yaitu TANPA KEKERASAN.
PTK hendaknya akan terus diingat oleh para pembaca stiker. Bagaimana hidup tidak selalu dilihat dalam konsep dua warna hitam putih sebagai metafor benar salah, menang kalah saja. Sebuah stiker sederhana dengan font ARIAL ini menunjukkan harapan akan generasi muda untuk terus mencita-citakan Islam yang ramah terhadap perbedaan. Bisa ditelisik lagi bagaimana konteks historis geopolitik dan sosial keagamaan di tingkat lokal, regional, nasional dan internasional waktu itu hingga lahir teks seperti dalam stiker ini.
Memandang perbedaan dengan benar salah adalah sesuatu yang fatal, karena selanjutnya efek dari pandangan ini sebagian besar akan berakhir pada klaim kebenaran dan parahnya bisa berakhir dengan ‘takfiri‘.
Perlu dikaji secara mendalam lagi, ketika ada seorang ustadz datang ke gereja menghadiri peresmian gereja. Apakah fenomena ini ‘fair‘ cukup dibahas dengan bahasan fiqh saja? Lalu apakah pandangan fiqh ini hanya sewarna saja? Jangan sampai PERBEDAAN tafsir beragama ini justru membawa pada KEKERASAN, termasuk di media sosial saat ini.
Saatnya ditunggu generasi muda NU bisa memberikan pandangan tentang persoalan ini. Bukankah anak-anak IPNU IPPNU hingga Ansor Banser sering datang menghadiri undangan dan mengamankan umat lain yang beribadah?
Mari kita buka kembali referensi fatwa ulama terdahulu hingga sekarang terhadap persoalan ini? Jangan sampai kita termasuk pelaku tindakan irasional, di mana kita melakukan tapi tak menyadarinya.
Sudah sejauh mana kita generasi muda kembali menghidupkan dan menghadiri Bahtsul Masail ataupun forum-forim diskusi Ilmiah keagamaan? Atau jangan-jangan kita hanya menjadi generasi rebahan dengan nafas pendek, berpikir permukaan sehingga ketika berpikir mendalam kita hanya hanyut tenggelam tanpa sadar. Semoga tidak!
Sekarang adalah era perbedaan tanpa sticker
stiker yang mengantarkan njenegan jadi ketua, perlu dilestarikan hehe..