Andaikan Aku Seorang Gus

Andai Aku Seorang Gus
Andai Aku Seorang Gus

“Enggane bae aku iki Gus yo dek. Menawa abahmu bakal ngulihna awakmu rabi karo aku”

Ucap pemuda bernama Sholeh sembari menatap nanar undangan pernikahan berwarna hijau merah yang baru diterimanya.

Tatapannya penuh luka, matanya berkaca-kaca. Senada dengan hatinya yang mungkin sedang remuk tak bersisa laksana regginang yang jatuh dalam kolong meja.

Sholeh tidak bisa membayangkan kalau sang pujaan hati harus bersanding dengn orang lain yang dia tidak kenal asal usulnya.

Namun yang Sholeh tahu secara pasti, dia seorang Gus. Tepatnya Gus Abrar

Sholeh yang “hanya” anak dari seorang Kayim di desanya tentu tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan Gus Abrar.

Putra bungsu dari pengasuh pesantren al-Isti’mariyah yang  santrinya ribuan.

Alumninya juga tersohor menjadi orang alim serta cendekiawan.

Ada yang menjadi pendakwah terkenal, ASN, menteri, politikus, kepala daerah, tentara, influencer, hingga pengusaha tambang.

Pengalaman Sholeh mondok selama kurang lebih lima belas tahun tampaknya tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan gelar Magister dari Timur Tengah yang disandang Gus Abrar.

Walaupun dihadapan Sang Pencipta yang dilihat adalah derajat ketakwaannya, namun tampaknya dalam pandangan orang tua sang gadis pujaannya tidak seperti itu.

Karena pada kenyataannya orang tua tentu ingin yang terbaik (perspektif orang tua) bagi masa depannya anak gadisnya.

Lebih-lebih Sani (Khoirotun Hisan) gadis pujaannya juga sami’na wa atho’na dengan pilihan dari kedua orang tuanya.

Sendiko dawuh dengan apa saja yang didawuhkan orang tuanya. Walau tidak berkenan dengan hati nuraninya sendiri.

Alhasil Sani tidak berani memperjuangkan hubungannya dengan Sholeh.

Hal yang menimpa Sholeh diatas adalah fenomena yang sering terjadi di masyarakat. Terutama dalam masyarakat Islam tradisional.

Namun barangkali jarang diungkap dalam sosial media.

Sosok Gus tidak dapat dipungkiri mempunyai tempat tersendiri di lingkungan masyarakat.

Gus menjadi pilihan terdepan dan prioritas ketika orang tua sedang mencari calon menantu.

Karena dianggap manifestasi dari laki-laki soleh, pintar agama, terjamin masa depan hingga tidak perlu diragukan lagi bibit, bobot, dan bebetnya.

Nasabnya jelas dapat diverifikasi. Tidak usah ribut-ribut tes DNA tentunya. Privilige yang mereka punyai tidak sekedar isapan jempol belaka.

Berbeda dengan gelar Kyai yang didapat dari masyarakat luas, atas pengabdian dan dedikasinya, Gelar Gus cenderung spesial dan agak “susah” untuk didapat.

Karena tidak sekedar membutuhkan ilmu, dedikasi, dan legitimasi dari masyarakat.

Namun juga harus mempunyai nasab yang jelas serta dapat dipertanggungjawabkan. Yakni benar-benar anak dari seorang kyai.

Sehingga setinggi apapun ilmunya belum otomatis dapat dipanggil Gus apabila bukan dari trah kyai.

Sukar untuk menafikan  bahwa menjadi seorang Gus mempunyai beberapa kemudahan dalam menjalani kehidupan. Karena mempunyai daya tawar yang bisa dijual.

Mulai dari ilmu yang dimiliki, nasab keluarga yang dapat diverifikasi, hingga santri yang mempunyai rasa ta’dhim yang tinggi.

Menjadi seorang Gus juga diyakini sebagian orang dapat terjamin dalam hal ekonomi.

Sehingga tidak salah bila akhirnya seorang Gus menjadi menantu idaman, suami idaman hingga menjadi menjadi idola di kalangan masyarakat tertentu.

Bahkan tidak jarang seorang Gus mempunyai peran penting dalam memenangi sebuah kontestasi.

Bahasa mudahnya, ketika menjadi seorang Gus setidaknya setengah dari masalahmu telah selesai.

Tentu akan lebih mudah bagi seorang Gus dalam mencari pekerjaan, pengaruh, rekomendasi, memenangi kontenstasi, mendapatkan konsesi, attensi hingga mencari jodoh.

Sudah barang tentu Sholeh tidak harus patah hati dan merana ditinggal menikah pujaan hatinya ketika dia seorang Gus.

Gus Sholeh juga tidak harus menjadi pilihan ke sekian dalam hal menjadi menantu. Karena sudah barang tentu status Gus menjadikannya pertama dan utama.

Namun apakah menjadi seorang Gus semenyenangkan itu?

Pada kenyataan menyandang gelas Gus tidaklah seindah yang dipikirkan banyak orang. Atau semanis yang digambarkan dalam novel Hati Suhita.

Setidaknya sepertilah pengakuan seorang Gus yang pernah saya ajak ndopokan bareng. Orang jawa mengenal istilah urip kui sanang sinawang.

Banyak yang mengira menjadi seorang Gus menyenangkan. Namun realitanya seorang Gus sendiri ingin seperti kebanyakan orang pada umunya. Orang bisa tanpa gelar Gus.

Sebagai putra Kyai tidak jarang Gus selalu dibandingkan dengan Abahnya dalam banyak hal.

Mulai dari perangai, keilmuan, tampilan, omongan, kebijaksanaa hingga lainnya.

Sudah barang tentu ini menjadi beban tersendiri. Seorang Gus dituntut sempurna oleh lingkungan dan khalayak ramai.

Haram berbuat salah, lupa dan khilaf. Wajib bisa segalanya.

Mulai dari ngaji kitab kuning, ceramah, khutbah, mimpin tahlil, baca manaqib, penghulu dadakan, sambutan, nalkin mayit, mimpin sholawatan, pranoto adicoro, nyembur orang kesurupan hingga doain bayi yang hobinya menangis di malam hari.

Hal baik dan pencapaian mereka tidak terlalu diingat. Namun kesalahan sedikit saja yang dilakukan  akan menjadi bahan pergunjingan yang tidak ada ujungnya.

Seorang Gus juga seringkali tidak dapat menentukan jalan hidupnya sendiri.

Semua sudah diatur oleh kedua orang tuanya bahkan dari buyutnya.

Mereka punya tanggung jawab untuk meneruskan perjuangan dan warisan keluarga.

Diatas pundak mereka digantungkan maju dan berkembangnya sebuah pesantren.

Mereka harus mampu membina, dan membimbing santri agar dapat menjadi pribadi yang sholeh, arif, bijaksana, dan dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitar.

Terkait jodoh juga terkadang tidak bebas untuk memilih. Bahkan seringkali sudah ditentukan kelak nantinya mereka akan menikah dengan siapa.

Karena status mereka Gus sehingga jodoh akan dicari yang sekufu, setara. Jodoh mereka juga bukan sembarangan gadis.  Dicari  yang bibit, bobot, dan bebetnya jelas.

Harus sholihah, pintar, ahlaku karimah hingga seorang penghafal al-qur’an.

Orang tuanya harus jelas nasabnya tanpa keraguan. Karena tujuan ke depannya mengembangkan pesantren dan momong ratusan hingga ribuan santri.

Menjadi seorang Gus rentan pula terhadap godaan dan rayuan duniawi. Terutama ketika musim kontenstasi.

Dimana banyak partai politik membutuhkan figur yang dikenal masyarakat untuk mendongkrak suara.

Momen ini menjadikan seorang Gus tidak dapat fokus untuk dalam membesarkan pesantren dan momong segenap santri.

Apalagi ketika ada iming-iming bantuan untuk pesantren ketika bersedia mendukung dan memenangkan salah satu paslon.

Gus adalah manusia biasa.

Gelar yang disandangnya tidak serta merta menghilangkan nafsu dan keinginan alaminya sebagaimana manusia.

Dalam hati mereka rentan terjadi pergolakan antara fokus ngaji atau menjadi petugas haji.

Kadang bimbang  antara menjadi pengasuh pesantren atau ikut memperebutkan kursi parlemen.

Pikiran seorang Gus juga tidak steril untuk tidak ikut meramaikan jatah konsesi padahal tanggung jawab membina santri adalah harga mati.

Bisa saja dalam bawah sadarnya, Gus tersebut mempunyai impian menjadi seorang menteri hingga ketua partai politik.

Kehidupan seorang Gus memang kadang tidak mudah. Tapi percayalah dengan menjadi Gus kehidupanmu akan menjadi lebih cerah.

Penulis: Ibnu Amir Al-Hajj

Tulisan sebelumnyaRutinan Fatayat Banyumas di Pekuncen, Dihadiri Ribuan Kader
Tulisan berikutnyaBaksos Kesehatan ‘Deteksi Dini Kanker Serviks’, Fatayat Banyumas Periksa Pap Smear Gratis

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini