Catatan Pengalaman Pribadi*
Sabtu (23/1/2021) Saya dinyatakan sembuh dari Covid 19. Sebelumnya, sejak Kamis (14/1/2021) menjalani perawatan di RS Margono Purwokerto. Saat ini sedang menjalani isolasi mandiri (isoman) sampai Sabtu (6/2/2021). Tulisan ini berisi ‘jawaban’ atas pertanyaan teman-teman; bagaimana rasanya kena covid? Bagaimana rasanya dirawat di Margono? Koq bisa tertular, dari siapa, dari mana?
Tulisan ini diniatkan berbagi pengalaman. Semoga, bisa diambil hikmahnya oleh siapapun tanpa kecuali. Bisa menjaga diri tidak terpapar covid-19, atau bisa menjalani proses isolasi secara happy, ketika ditakdirkan positif. Sehingga, siapapun bisa menghadapi wabah dengan tenang dan melewatinya dengan baik.
Pertama, kita mulai dari pertanyaan, dari siapa tertular? Ini pertnyaan yang menarik dan ditunggu banyak orang. Tapi, tentu sulit, mendeteksi presisi dari siapa, dari mana. Mengingat, wabah saat ini sudah sedemikian merajalela. Tetapi, asluhu virus covid itu kan tidak terlihat, jadi repot dan tidak bisa dipastikan.
Tetapi, saya akan cerita hari-hari sebelum akhirnya saya terkonfirmasi positif. Dua bulan yang lalu, tepatnya 4 November 2020, istri saya terpapar Covid 19. Lantas pada 14 November 2020 dari hasil swab evaluasi dinyatakan negative atau sembuh. Hasil tracking 5 orang santri dinyatakan positif. Kelima santri dikarantina di rumah kami, sementara yang negative kami pulangkan.
Sedikit informasi, bahwa rumahku adalah pesantren dengan aktifitas dan frekuensi distribusi orang yang tinggi. Yang menarik, saat itu hasil swab saya negative. Meskipun jelas, ada kontak erat saya dengan istri dan santri positif. Bisa jadi, karena kondisi imun atau fisik saya yang bagus maka tidak terpapar. Tapi thesis ini hanya asumsi saya pribadi.
Babak baru dimulai, 5 Januari 2021 ketika saya merasa mulai ga enak badan. Saat itu saya mengantar anak ke Pondok Pesantren juga UNSIQ Wonosobo. Saat itu hujan lebat, keluar masuk mobil, sehingga baju basah. Kemudian pulang ke Sokaraja masih dalam kondisi hujan lebat dan AC menyala. Nyopir sambil menggigil kedinginan.
Sehari kemudian badan saya agak panas sampai dua hari, makan obat agak ringan dan merasa sembuh, hari Sabtu saya refreshing ke Pulau Nusakambangan Cilacap, njala dan mancing disana, karena senang sampai telat makan dan karena angin laut mungkin mulai batuk-batuk dan badan nggak enak. Pulang langsung minum obat flu dan tidur.
Hari berikutnya masih batuk demam namun penciuman dan perasa masih normal. Itulah yang saya tidak menyangka terpapar covid. Ditambah pada hari senin ke dokter, katanya sekarang lagi musim DB dan Cikungunya. Setealah diobati dokter bahkan diberi resep antibiotic dosis tinggi, namun demam dan batuk malah bertambah, nafsu makan juga menurun. Akhirnya karena semakin drop, khawatir DB, berangkatlah ke RS Margono. Saat itukah diswab, positif.
Dari pengalaman ini saya mengambil kesimpulan bahwa saya terkena covid ketika tubuh kurang Fit dan stamina kurang bagus. Juga ketika badan terasa tidak enak, harus istirahat total, jangan beraktifitas terlebih dahulu, karena istirahat itu meningkatkan imun. Dan inilah pentingnya mematuhi protokol kesehatan dengan 5 M. Memakai Masker, Mencuci Tangan, Menjaga Jarak, Menjauhi Kerumunan dan Mengurangi Mobilitas.
Pertanyaan Kedua, bagaimana rasanya terpapar covid. Tentunya beda kasus beda rasa. Ada yang OTG alias tidak merasakan apa-apa. Anak-anak yang masih muda seperti kelima santri kami, hanya pusing dan hilang rasa sebentar walau sebenarnya positif. Kalau Istri saya badan pegel, puyeng, demam kurang nafsu makan, tidak batuk dan tidak sesak napas selama 5 hari. Masuk RS diobati sehari ya merasa enak kembali, walau masih merasa lemas.
Atau ada juga yang parah, hingga berakhir meninggal dunia. Sedangkan gejala yang saya rasakan adalah demam dan batuk berat saja. Penciuman dan perasa normal. Ketika masuk IGD RS Margono bertambah diare dan batuk bertambah parah. Hari pertama dioksigen dan dengan oksigen bisa tidur. Sebelunya susah tidur karena batuk yang ngetril.
Hari kedua dan ketiga masih susah tidur. Jika tidur terlentang langsung batuk, ke kamar mandi langsung batuk. Tenaga masih sangat lemah, jalan beberapa meter sudah ngos-ngosan. Alhamdulillah hari keempat batuk reda dan mulailah pemulihan sampai hari kesebelas dinyatakan sembuh.
Pertanyaan ketiga, bagaimana rasanya diisolasi, dan apa saja kegiatannya? Bagi pasien yang dirawat dan hasil swab positif, maka mau tidak mau harus diisolasi minimal 10 hari. Untuk itu kita harus menata hati dan menikmati dengan ikhlas untuk menjalani isolasi tersebut. Semakin kita menolak dan tidak menerima keadaan justru akan merusak fisik kita yang berakibat penyembuhan lambat dan akan membuat isolasi semakin lama karena kondisi tidak cepat membaik.
Ketika saya diisolasi, hari kesatu-ketiga begitu berat. Untung saat itu ada Pak Edi pasien lama yang memotivasi dan memberi petunjuk bagaimana mengatasi batuk, yaitu dengan meminum air hangat. Pak Edi adalah pasien yang juga perawat ruang Covid yang akhirnya terpapar juga setelah bekerja 8 bulan merawat pasien covid. Alhamdulilla hari ke 4 sampai ke 11 kondisi membaik.
Adapun kegiatan selama isolasi, pukul 09.00-11.00 berjemur. Selain itu istirahat di ruang isolasi. Banyak cerita dan hikmah selama perawatan 11 hari di Margono. Sholat berjamaah, mengajak sholat jumat didalam ruangan yang mungkin sebelumnya tidak pernah diadakan sholat jum’at. Tentunya tidak jumatan juga tidak apa-apa karena kondisi sakit, namun dengan mengadakan sholat jumat menjadi pengalaman ruhani tersendiri. Memotivasi pasien supaya semangat. Ini penting saya sampaikan, karena banyak pasien yang belum menerima ketika dirinya terpapar covid.
Cerita lain yang berkesan adalah berkesempatan melayani Kyai Su’ada Adzkia (Rois Syuriah PCNU Cilacap). Sungguh kebahagiaan yang luar biasa. Disaat orang lain tidak boleh mendekat, tetapi sesama pasien ya tidak apa saling berdekatan dan berinteraksi. Dan beliau adalah sahabat ayah saya sejak kecil.
Kejadian lain adalah di saat saya mau pulang sempat mengejar pasien yang lari meninggalkan ruang isolasi, karena linglung, disinipun perawat tidak berani mendekat karena tidak memakai baju zirah. (Perawat memakai baju astronom itu jam-jam tertentu, yaitu ketika akan masuk ruang isolasi.) Tapi karena saya pasien ya boleh mendekat. Dan karena linglung dia masuk RS hanya memakai baju yang mungkin sudah beberapa hari tidak ganti, kena kencing dll jadi baunya begitu menggoda. Alhamdulillah bisa berbagi kaos dan celana.
Cerita lain ada pasien yang menurut saya kondisi sudah bagus, tapi sering mengeluh pusing tidak bisa tidur, tensi juga selalu tinggi. Saya sarankan supaya tidak banyak pikiran, dan cerita lain soal bisnis yang ditinggalkan karena harus isolasi. Dengan bekal status penyuluh agama, naluri untuk saling nasihat menasehati saya lakukan. Juga, berharganya ilmu hipnotis dari Drs Bagoes Hermono, M.M, C.I., NLP begitu bermanfaat. Saya bisa melakukan penyuluhan, juga bisa membantu orang tidur.
*) Faidus Sa.ad, S.Ag., M.S.I
Penyuluh Agama Islam Kab. Banyumas