Ngaji Misykatul Anwar malam tadi mengingatkan saya pada sebuah dialog pada film india berjudul Rab Ne Bana Di Jodi. Ketika itu sang perempuan bertanya kepada sang pria “Mengapa engkau mencintaiku?”
Kemudian sang pria menjawab dengan wajah sendunya “Karena aku melihat Tuhan di dalam dirimu?”
Bagi sebagian anak muda, kalimat tersebut nampak seperti kalimat rayuan gombal belaka, tapi siapa sangka kalimat itu ternyata menukil dari ajaran para sufi.
Salah satunya adalah penjelasan dari Al-Ghazali bahwa Tuhan adalah satu-satunya wujud, dan wujud selain Tuhan adalah derivasi atau turunan dari wujud Tuhan.
Segala wujud dari makhluk ciptaan Alllah seperti cahaya rembulan. Cahaya rembulan sebenarnya merupakan pantulan dari cahaya matahari.
Begitu pula wujudnya makhluk merupakan refleksi dari wujud Allah SWT Yang Maha Wujud. Setiap wujud dari makhluk itu seperti petunjuk kecil yang kemudian mengarah pada keberadaan wujud yang sejati.
Sehingga wujudnya makhluk ini bergantung pada wujud Allah SWT dan bersifat kontingensi, yaitu keadaan yang tidak pasti. Dalam bahasa arab disebut dengan wujud yang mumkin sedangkan Allah SWT merupakan satu-satunya, the one and only, wujud yang mutlaq.
Mengapa disebut tidak pasti, karena wujudnya makhluk ini bisa ada dan bisa jadi esok sudah tidak ada. Kematian merupakan contoh konkrit ketika wujud manusia yang sebelumnya masih tinggal di dunia, kemudian rohnya dipisahkan dari badannya sehingga dia tidak lagi mewujud dalam alam dunia.
Penjelasan Al-Ghazali mengenai hubungan antara wujud makhluk dengan wujud Allah SWT inilah yang oleh Ibnu Arabi diistilahkan dengan Wahdatul Wujud.
Wahdatul wujud merupakan konsepsi Ibnu Arabi yang menyatakan bahwa Allah SWT memanifestasi dalam keseluruhan makhluk ciptaanNYA, segala sesuatu merupakan pancaran dari DIA.
Dalam hal ini kita bisa melihat bahwa Al-Ghazali dan Ibnu Arabi mempunyai pandangan filosofis yang sama mengenai Tuhan dan makhlukNYA.
Kedua tokoh ini berangkat dari Hadits Qudsi yang terkenal di kalangan para sufi,
“Aku adalah harta simpanan yang tersembunyi, karena itu Aku rindu untuk diketahui. Maka aku ciptakan makhluk, sehingga melalui Aku kemudian mereka mengenal Aku”
Konsep Wahdatul Wujud ini secara luas seharusnya mampu membangun kesadaran dalam diri kita bahwa segala hal yang ada di dunia ini merupakan bagian dari Allah SWT.
Dalam istilah masyarakat Islam di Jawa, kita juga mengenal sebuah istilah Manunggaling Kawula Gusti. Banyak riwayat yang mengatakan bahwa salah satu penyebar Islam di tanah jawa yang paling terkenal dengan ajaran Manunggaling Kawula Gusti adalah Syekh Siti Jenar.
Saya mendapatkan kutipan ini dari buku Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar yang ditulis oleh Muhammad Sholikhin.
“Ora ana apa-apa kejaba mung sing wajib ana. Anane samubarang namung margo dianakake karo sing kudu ana. Mula ojo pisan-pisan pisah karo sing wajib Ana, manunggal kanti utuh.”
Tidak ada apapun di dunia ini kecuali yang wajib Ada. Semua ini ada karena diadakan dengan yang wajib Ada. Maka jangan sedikitpun berpisah dari yang wajib Ada, menyatu dengan utuh.
Ini merupakan satu contoh dari ajaran Manunggaling Kawula Gusti, Wahdatul Wujud yang sudah digubah dengan corak Islam-Jawa.
Corak pemikiran dengan kemiripan seperti ini sudah biasa ditemui di kalangan para Sufi, karena mereka fokus pada hal–hal yang bersifat ghaib dan melampaui hal–hal inderawi.
Namun kita yang masih dalam golongan awam ini jangan terus merasa rendah hati karena belum mampu menggapai hal–hal yang sifatnya rohani.
Kita bisa mengasah rohani kita dengan memulainya dari hal yang bersifat inderawi.
Misal jika kita meyakini bahwa semua wujud ini merupakan citraan dari wujud Allah SWT, maka ketika kita melihat gunung, pohon, hewan, air, api, emas, minyak,dan manusia muncul kesadaran bahwa semua hal tersebut merupakan pancaran cahaya Allah SWT.
Begitu pula dengan perbedaan diantara manusia seperti ras, suku, etnis, agama, budaya, semuanya itu berasal dari satu kesatuan wujud, yaitu Allah SWT. Menurut Ibnu Arabi, Allah SWT sendiri yang menghendaki perbedaan dengan cara menciptakan segala sesuatu dengan karakter, watak, dan wujud yang berbeda sejak awal.
Andai kesadaran alam bawah sadar kita memahami bawah setiap manusia merupakan wujud dari Allah SWT, tentu kita akan berpikir dua kali untuk menyakiti sesama manusia. Karena pada hakikatnya, yang kita sakiti itu bukan diri orang tersebut namun yang menciptakan, yaitu Allah SWT. (*)